Jumat, 09 September 2022

PERTOBATAN DIRI MEMBAWA SUKACITA DI SURGA

Minggu Biasa XXIV

Keluaran 32:7-14 | Mazmur 51:1-10 | 1 Timotius 1:12-17 | Lukas 15:1-10


Adakah di antara Saudara-saudari yang pernah kehilangan anak Saudara-saudari yang masih kecil? Mungkin saat main di taman, lalu dia pergi main ke tempat jauh; Atau ketika sedang jalan-jalan di mall, lalu ia mengambil jalan sendiri entah ke mana. Apa yang Saudara-saudari rasakan pada saat itu? Yang pasti ada perasaan panik dan bingung, lalu berusaha untuk mencarinya sampai ketemu. Namun, mungkin saja ada perasaan marah dan jengkel, entah kepada si anak karena merasa ia nakal, atau kepada diri sendiri karena merasa gagal mengawasi anak. Bagaimana perasaan Saudara-saudari ketika akhirnya anak Saudara-saudarai ketemu? Semarah dan sejengkel apa pun Anda, saya yakin ketika anak itu akhirnya ketemu, pasti ada perasaan sukacita, karena anak yang hilang itu akhirnya ditemukan. Ia aman kembali bersama kita.

Begitulah juga yang dirasakan Allah, ketika anak-Nya yang hilang akhirnya kembali. Entah itu kembali ke dalam relasi dengan-Nya, kembali ke dalam pesekutuan umat-Nya, atau bahkan bisa mengembangkan dirinya untuk kebaikan, dan menjadi berkat bagi orang lain. Sukacita. Itulah yang dirasakan Allah. Dalam bacaan Injil, Allah digambarakan sebagai seorang gembala yang kehilangan satu dombanya dan sebagai seorang perempuan yang kehilangan satu dirhamnya. Mereka terus mencari yang terhilang itu hingga ketemu, oleh karena yang hilang itu pun berharga, satu domba dari seratus dan satu dirham dari sepuluh. Allah digambarkan sebagai Allah yang mencari mereka yang terhilang. Mungkin “domba”-Nya ini memang hilang karena terpisah dari kawanan, atau bisa jadi ia menghilangkan diri sendiri. Domba yang nakal ini mungkin ingin bertindak seenaknya, dan menggalakan gembala serta kawanannya. Namun, senakal apa pun domba itu, Allah Sang Gembala yang baik, akan terus mencari hingga ketemu, dan bersukacita jika domba itu ditemukan.

Yesus mengungkapkan perumpaan tentang domba yang hilang dan dirham yang hilang ini dalam kesatuan “Trilogi Hilang” bersama kisah anak yang hilang. Ia ingin membuka pikiran orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, bahwa yang utama dari Allah adalah kasih, bukan hukum; Bahwa Allah yang penuh kasih itu bersukacita karena domba-Nya yang hilang ditemukan, bukan marah dan murka. Orang-prang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bersungut-sungut karena Yesus duduk makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa. Mereka berfokus pada orang-orang berdosa serta menghakimi dan mempersalahkan orang-orang berdosa itu. Mereka melupakan aspek yang utama, yakni Allah yang penuh kasih dan sukacita. Karena itu, Yesus mengemukakan perumpamaan yang bukan berfokus kepada “yang hilang”, melainkan pada Allah yang mengambil risiko, bahkan merengkuh kematian, untuk menemukan anak-anak-Nya yang terhilang. Allah yang penuh kasih, yang bersukacita ketika “yang hilang” itu ditemukan.

Satu hal lain yang juga luput dari pemahaman orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat adalah Allah berkenan memakai dan melibatkan siapa pun untuk mencari yang terhilang, bahkan orang bisa dan yang tidak dianggap dalam masyarakat. Yesus dalam perumpamaan-Nya dengan sengaja menggunakan dua tokoh yang sering kali disingkarkan dalam masyarakat. Dalam perumpamaan “Domba yang Hilang”, yang menjadi tokoh utamanya adalah gembala. Dalam perumpamaan “Dirham yang Hilang”, seorang perempuan yang menjadi tokoh utama. Gembala dan perempuan. Kita mengetahui bahwa gembala adalah orang-orang yang disepelekan, disingkirkan, bahkan tidak dipercaya oleh masyarakat Yahudi. Mereka dianggap najis dan diasingkan karena pekerjaan mereka. Perempuan pun adalah orang-orang yang dinomordukan, disepelekan, dan tidak dianggap dalam masyarakat. Namun, dalam diri merekalah Yesus menggambarkan diri Allah yang mencari sampai menemukan. Yesus seolah-olah mau berkata bahwa Allah hadir dalam diri mereka yang biasa, yang mungkin tidak diperhatikan, justeru untuk mencari yang terhilang, menolong yang susah, dan menghibur yang terluka. Allah mencari umat-Nya melalui orang-orang biasa.

Saudara-saudari, gereja adalah persekutuan orang-orang biasa, yang juga punya pergumulannya. Orang-orang yang mungkin dalam kesehariannya berjuang dalam pekerjaan, dalam keluarga, atau dalam kehidupan sosialnya di masyarakat. Mungkin kita ada di antaranya; Orang-orang yang terhilang, terluka, tersakiti, yang perlu ditemukan. Namun, Allah juga dapat memakai kita untuk mencari dan menemukan yang lain. Di rumah, di pekerjaan, di sekolah, di masyarakat, di gereja, Allah memakai kita untuk mencari sesama kita. Bayangkan jika gereja kita adalah persekutuan orang-orang yang bergumul dalam kehidupannya, tetapi yang juga dipakai Allah untuk mencari yang terhilang, membalut yang terluka, menghibur yang berduka, menolong yang susah, membela yang tertindas, menopang yang lemah, melayani yang sakit, miskin, dan telanjang. Kita menjadi persekutuan yang menghadirkan sukacita kerena semua pihak merasakan sentuhan cinta Allah. Bahkan, lebih dari itu, kita menjadi persekutuan yang membawa sukacita di surga. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar