Sabtu, 17 September 2022

Mulai dari Perkara-perkara Kecil

Lukas 16:1-13

Pada teks Injil minggu ini, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Bendahara itu mendapat tuduhan bahwa ia berlaku curang, dan sang tuan hendak memecatnya. Tentu, sebagai professional yang bekerja dengan mengandalkan pikiran, hidupnya akan hancur bila ia dipecat dan mempunyai reputasi buruk. Itulah sebabnya, ia bertindak cepat dengan melakukan rekayasa surat hutang dengan orang-orang yang memiliki perhitungan utang dengan sang tuan. Setelah yang dilakukannya selesai, sang tuan mengetahui itu semua. Bukannya marah, sang tuan justru memuji kecerdikan si bendahara.

Saudaraku sekalian, secara jujur, teks ini agak sulit untuk dipahami dengan cepat. Biasanya, hubungan sang tuan dan hamba akan merepresentasikan hubungan Allah dan manusia; Allah yang baik dan manusia yang berlaku jahat. Namun, kali ini tidak. Antara tuan, bendahara, dan orang-orang yang berhutang adalah orang-orang jahat yang menyepakati nilai-nilai kecurangan. William Barclay melihat ketiganya sebagai bajingan. Namun, cara sang tuan memuji bendahara itu perlu kita renungkan. Tidak mungkin, Yesus melontarkan sebuah perumpamaan tanpa maksud tertentu. Yesus berkata alam Lukas 16:8, “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.” Yesus secara tiba-tiba membandingkan antara anak-anak dunia dengan anak-anak terang setelah mengisahkan kecerdikan si bendahara. Berarti, Yesus mengangkat perumpamaan ini dengan maksud ingin menunjukkan bahwa anak-anak dunia ternyata lebih cerdik dalam menghadapi masalah ketimbang anak-anak dunia. Jika dibahasakan, mungkin Yesus hendak mengatakan, “yakali lu kalah ama anak-anak dunia, mustinya lu lebih hebat. Kan lu anak-anak terang”. Sekali lagi, Yesus sama sekali tidak membenarkan kecurangan bendahara itu, namun kegesitan bendahara dalam menemui masalah dan menanganinya dengan cepat hendaknya menjadi peringatan akan lambannya cara kerja anak-anak terang. Bukankah terkadang sebagai anak-anak terang, manusia cenderung menyalahkan semua yang dilakukan anak-anak dunia atas semua dosa dan kesalahan mereka, namun tanpa melakukan aksi nyata sebagai solusi atas kehidupan yang penuh pergumulan. Cepat memberi tudingan sambal duduk diam tanpa memberi solusi.

Hal itu ditegaskan Yesus melalui Lukas 16:9, “Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi.". Jelas, tidak mungkin Yesus menghendaki agar murid-muridNya hidup dalam cara mamon, namun mengerti cara kerja anak-anak dunia agar mereka sebagai anak-anak terang mampu memilih jalan yang sebaliknya, yakni menghindari kecurangan, korupsi, dll. Sehingga, perumpamaan itu akan memiliki bunyi demikian; kita sebagai ank-anak terang jangan mau kalah dengan anak-anak dunia. Harus gesit, tidak lemah karena waktu yang kepepet, namun dengan sebuah kesadaran ada hal yang harus dihindari, yakni kecurangan dan semua hal buruk lainnya.

Saudaraku sekalian, kita mendapati bahwa perumpamaan Yesus ternyata merupakan sebuah teguran bagi kita yang seringkali mendaku sebagai anak-anak terang, namun enggan memancarkan terang. Kita cenderung menikmati kenyamanan berbekal status sebagai anak-anak terang. Kita juga diajak untuk memiliki kerendahan hati untuk mau belajar dari siapapun dan apapun, bukan untuk mengadopsi cara-cara mereka, namun sebagai inspirasi untuk bisa berbuat lebih.

Ada kisah Robin Hood yang sangat terkenal, yakni seorang yang mencuri dari orang-orang kaya, dan membagikan hasil curian kepada orang-orang miskin. Tentu, kita tidak akan menyetujui pencurian, namun ada semangat membagi yang tidak bisa kita abaikan begitu saja. Apakah kita hanya akan menyalahkan si pencuri itu dan mengutukinya dengan segala ancaman hukuman? Itulah realitas kita, kita hanya menyalahkan, namun sedikit saja membagi harta yang kita punya selalu enggan dan banyak alasan. Mengacu pada perumpamaan di atas, semestinya kita malu karena kita tidak memiliki kemauan untuk membagi dan menolong yang membutuhkan.

Yesus melanjutkan dengan ayat yang sudah sangat kita kenal dengan baik mengenai kesetiaan kita akan perkara kecil dan besar. Lukas 16:10 mencatat "Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar.”. Tentu menjadi pertanyaan, kenapa Yesus melanjutkan perumpamaan di atas dengan perihal kesetiaan pada perkara kecil dan besar. Seringkali ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi untuk mencapai sebuah kesuksesan material atau pelayanan. Misalkan saja, ketika kita setia pada perkara (baca: gaji atau penghasilan) kecil, kita menekuninya, suatu ketika penghasilan akan bertambah, dan kita siap akan perkara (baca: gaji atau penghasilan) yang besar. Atau contoh lainnya; pelayanan kita di gereja akan semakin bertambah jika kita menekuni satu bidang pelayanan, maka akan ditambah kepercayaan untuk memegang bidang lain yang lebih besar. Namun, bagaimana jika kesetiaan pada perkara kecil dan besar ini kita kaitkan dengan perumpamaan di atas? Begini. Perumpamaan di atas mengajak siapapun untuk berani mengkoreksi diri, yang terkadang lamban dan nyaman dalam zonanya masing-masing. Ada ajakan untuk memiliki kerendahan hati, belajar dalam hal apapun, termasuk dari kesalahan orang lain. Si bendahara yang curang itu bukan untuk kita tiru kecurangannya, namun sikapnya untuk menghadapi masalah. Ketika ada persoalan menghantam, yaitu ancaman pemecatan, ia tak menyerah begitu saja. Bahkan dalam waktu yang mepet, dia berhasil melakukan sesuatu yang pada akhirnya mewujudkan pujian dari tuannya. Jelas, sikap gesit, ulet, dan cekatan yang dilakukan bendahara itu adalah detail-detail kecil di antara tindak kecurangan yang ada dalam seluruh tindakannya. Itulah perkara-perkara kecil yang bis akita cari dan temukan. Menemukan permata di tengah tumpukan sampah. Begitu kira-kira. Sehingga, setia pada perkara-perkara kecil adalah bentuk kerendahan hati untuk berani mencari dan menemukan nilai-nilai kebaikan yang terselubungi oleh nilai kejahatan. Nilai gesit dan efisien dari si bendahara, rasa empati dari Robin Hood, kejujuran Rahwana yang tidak melecehkan Sinta meski ia bisa, dan banyak hal lain. Keta orang, pengalaman adalah guru yang terbaik. Pengalaman itu bisa datang dari diri sendiri maupun orang lain. Pengalaman itu juga bukanlah sesuatu yang melulu kebaikan yang gagal diwujudkan, namun ada yang dari awal diniatkan jahat. Namun, dalam segala pengalaman itu, ada detail-detail yang bisa kita pelajari. Setialah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar