Lukas 16:1-13
Pada teks Injil minggu ini, Yesus mengisahkan sebuah perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Bendahara itu mendapat tuduhan bahwa ia berlaku curang, dan sang tuan hendak memecatnya. Tentu, sebagai professional yang bekerja dengan mengandalkan pikiran, hidupnya akan hancur bila ia dipecat dan mempunyai reputasi buruk. Itulah sebabnya, ia bertindak cepat dengan melakukan rekayasa surat hutang dengan orang-orang yang memiliki perhitungan utang dengan sang tuan. Setelah yang dilakukannya selesai, sang tuan mengetahui itu semua. Bukannya marah, sang tuan justru memuji kecerdikan si bendahara.
Saudaraku sekalian, secara jujur, teks
ini agak sulit untuk dipahami dengan cepat. Biasanya, hubungan sang tuan dan
hamba akan merepresentasikan hubungan Allah dan manusia; Allah yang baik dan
manusia yang berlaku jahat. Namun, kali ini tidak. Antara tuan, bendahara, dan
orang-orang yang berhutang adalah orang-orang jahat yang menyepakati
nilai-nilai kecurangan. William Barclay melihat ketiganya sebagai bajingan. Namun,
cara sang tuan memuji bendahara itu perlu kita renungkan. Tidak mungkin, Yesus
melontarkan sebuah perumpamaan tanpa maksud tertentu. Yesus berkata alam Lukas
16:8, “Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah
bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap
sesamanya dari pada anak-anak terang.” Yesus secara tiba-tiba membandingkan
antara anak-anak dunia dengan anak-anak terang setelah mengisahkan kecerdikan
si bendahara. Berarti, Yesus mengangkat perumpamaan ini dengan maksud ingin
menunjukkan bahwa anak-anak dunia ternyata lebih cerdik dalam menghadapi
masalah ketimbang anak-anak dunia. Jika dibahasakan, mungkin Yesus hendak
mengatakan, “yakali lu kalah ama anak-anak dunia, mustinya lu lebih hebat.
Kan lu anak-anak terang”. Sekali lagi, Yesus sama sekali tidak membenarkan
kecurangan bendahara itu, namun kegesitan bendahara dalam menemui masalah dan
menanganinya dengan cepat hendaknya menjadi peringatan akan lambannya cara
kerja anak-anak terang. Bukankah terkadang sebagai anak-anak terang, manusia
cenderung menyalahkan semua yang dilakukan anak-anak dunia atas semua dosa dan
kesalahan mereka, namun tanpa melakukan aksi nyata sebagai solusi atas
kehidupan yang penuh pergumulan. Cepat memberi tudingan sambal duduk diam tanpa
memberi solusi.
Hal itu ditegaskan Yesus melalui Lukas
16:9, “Dan Aku berkata kepadamu: Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan
Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu
diterima di dalam kemah abadi.". Jelas, tidak mungkin Yesus
menghendaki agar murid-muridNya hidup dalam cara mamon, namun mengerti cara
kerja anak-anak dunia agar mereka sebagai anak-anak terang mampu memilih jalan
yang sebaliknya, yakni menghindari kecurangan, korupsi, dll. Sehingga,
perumpamaan itu akan memiliki bunyi demikian; kita sebagai ank-anak terang
jangan mau kalah dengan anak-anak dunia. Harus gesit, tidak lemah karena waktu
yang kepepet, namun dengan sebuah kesadaran ada hal yang harus dihindari, yakni
kecurangan dan semua hal buruk lainnya.
Saudaraku sekalian, kita mendapati
bahwa perumpamaan Yesus ternyata merupakan sebuah teguran bagi kita yang
seringkali mendaku sebagai anak-anak terang, namun enggan memancarkan terang.
Kita cenderung menikmati kenyamanan berbekal status sebagai anak-anak terang. Kita
juga diajak untuk memiliki kerendahan hati untuk mau belajar dari siapapun dan
apapun, bukan untuk mengadopsi cara-cara mereka, namun sebagai inspirasi untuk
bisa berbuat lebih.
Ada kisah Robin Hood yang sangat
terkenal, yakni seorang yang mencuri dari orang-orang kaya, dan membagikan
hasil curian kepada orang-orang miskin. Tentu, kita tidak akan menyetujui
pencurian, namun ada semangat membagi yang tidak bisa kita abaikan begitu saja.
Apakah kita hanya akan menyalahkan si pencuri itu dan mengutukinya dengan
segala ancaman hukuman? Itulah realitas kita, kita hanya menyalahkan, namun
sedikit saja membagi harta yang kita punya selalu enggan dan banyak alasan. Mengacu
pada perumpamaan di atas, semestinya kita malu karena kita tidak memiliki
kemauan untuk membagi dan menolong yang membutuhkan.
Yesus melanjutkan dengan ayat yang
sudah sangat kita kenal dengan baik mengenai kesetiaan kita akan perkara kecil
dan besar. Lukas 16:10 mencatat "Barangsiapa setia dalam
perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan
barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam
perkara-perkara besar.”. Tentu menjadi pertanyaan, kenapa Yesus melanjutkan
perumpamaan di atas dengan perihal kesetiaan pada perkara kecil dan besar. Seringkali
ayat ini digunakan sebagai ayat motivasi untuk mencapai sebuah kesuksesan
material atau pelayanan. Misalkan saja, ketika kita setia pada perkara (baca:
gaji atau penghasilan) kecil, kita menekuninya, suatu ketika penghasilan akan
bertambah, dan kita siap akan perkara (baca: gaji atau penghasilan) yang besar.
Atau contoh lainnya; pelayanan kita di gereja akan semakin bertambah jika kita
menekuni satu bidang pelayanan, maka akan ditambah kepercayaan untuk memegang
bidang lain yang lebih besar. Namun, bagaimana jika kesetiaan pada perkara
kecil dan besar ini kita kaitkan dengan perumpamaan di atas? Begini. Perumpamaan
di atas mengajak siapapun untuk berani mengkoreksi diri, yang terkadang lamban
dan nyaman dalam zonanya masing-masing. Ada ajakan untuk memiliki kerendahan
hati, belajar dalam hal apapun, termasuk dari kesalahan orang lain. Si bendahara
yang curang itu bukan untuk kita tiru kecurangannya, namun sikapnya untuk
menghadapi masalah. Ketika ada persoalan menghantam, yaitu ancaman pemecatan,
ia tak menyerah begitu saja. Bahkan dalam waktu yang mepet, dia berhasil
melakukan sesuatu yang pada akhirnya mewujudkan pujian dari tuannya. Jelas,
sikap gesit, ulet, dan cekatan yang dilakukan bendahara itu adalah detail-detail
kecil di antara tindak kecurangan yang ada dalam seluruh tindakannya. Itulah
perkara-perkara kecil yang bis akita cari dan temukan. Menemukan permata di
tengah tumpukan sampah. Begitu kira-kira. Sehingga, setia pada perkara-perkara
kecil adalah bentuk kerendahan hati untuk berani mencari dan menemukan nilai-nilai
kebaikan yang terselubungi oleh nilai kejahatan. Nilai gesit dan efisien dari
si bendahara, rasa empati dari Robin Hood, kejujuran Rahwana yang tidak melecehkan
Sinta meski ia bisa, dan banyak hal lain. Keta orang, pengalaman adalah guru
yang terbaik. Pengalaman itu bisa datang dari diri sendiri maupun orang lain. Pengalaman
itu juga bukanlah sesuatu yang melulu kebaikan yang gagal diwujudkan, namun ada
yang dari awal diniatkan jahat. Namun, dalam segala pengalaman itu, ada
detail-detail yang bisa kita pelajari. Setialah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar