Kamis, 11 April 2024

SAKSI KEBANGKITAN TUHAN

MINGGU PASKA III

Kisah Para Rasul 3:12-19; Mazmur 4; 1 Yohanes 3:1-7; Lukas 24:36b-48


Apa jadinya jika kita melihat orang terdekat kita yang sudah meninggal ternyata hidup lagi? Apakah kita senang karena bisa kembali berjumpa? Rasanya kok bukan raut wajah senang yang akan kita perlihatkan, melainkan heran dan mungkin takut. Sebab orang yang mati lalu hidup kembali adalah peristiwa yang sulit sekali dicerna oleh pikiran manusia. Maka tidak heran ketika Yesus tiba-tiba muncul di tengah-tengah para murid yang sedang berkumpul, reaksi mereka justru terkejut bahkan takut dan menyangka bahwa Yesus adalah hantu (Lukas 24:36b-48).


Meskipun para murid takut, Yesus justru meyakinkan bawa diri-Nya hidup. Ia mulai dengan sapaan damai sejahtera yang meneduhkan. Ia menunjukkan bekas luka di tangan dan kaki. Bukan hanya menunjukkan tetapi juga mengizinkan para murid untuk merabanya. Namun apa yang dilakukan oleh Yesus masih belum sepenuhnya meyakinkan para murid. Akhirnya Ia meminta makan, lalu diberikanlah sepotong ikan bakar, dan Ia memakannya di depan mata para murid.


Yesus kemudian mengajak kembali para murid untuk mengingat apa yang pernah disampaikan-Nya, bahwa harus digenapi seluruh yang tertulis tentang diri-Nya dalam hukum taurat, kitab nabi-nabi, kitab Mazmur. Ia membuka pikiran mereka agar dapat mengerti bahwa Mesias harus mati dan bangkit di antara orang mati pada hari ketiga. Dengan demikian, kehadiran-Nya bukan hanya meyakinkan para murid bahwa Ia hidup, namun juga memberikan sebuah identitas sekaligus tugas yang harus dilakukan. Yesus menyebut mereka sebagai saksi-saksi kebangkitan diri-Nya. Oleh sebab itu, berita pengampunan dan pertobatan harus disampaikan kepada semua orang dimulai dari Yerusalem.


Kini tugas yang diberikan kepada para murid juga menjadi tugas dan tanggungjawab kita. Sama seperti para murid yang bersaksi tentang Yesus yang bangkit, kita juga melakukan hal yang sama di dalam kehidupan yang kita jalani. Pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan untuk mempersaksikan Tuhan yang bangkit?


Ada dua cara untuk kita mempersaksikan Tuhan yang bangkit. Cara pertama biasanya melalui pendekatan keberhasilan atau kesuksesan. Misalnya saja mendapatkan promosi jabatan setelah sekian lama bekerja. Mendapatkan pasangan hidup yang yang diidam-idamkan. Mendapatkan beasiswa atas prestasi yang dicapai. Dinyatakan sembuh setelah berjuang bertahun-tahun melawan penyakit, dan keberhasilan atau kesuksesan lainnya.


Cara semacam ini bisa kita jumpai dalam pelayanan Petrus yang memulihkan orang lumpuh. Seorang yang biasanya duduk meminta sedekah di Gerbang Indah Bait Allah, kini mampu berdiri dan melompat sembari memuji Allah. Hal ini membuat banyak orang yang melihat itu mengikuti Petrus dan Yohanes di Serambi Salomo. Momen ini kemudian dipakai Petrus untuk berkhotbah bahwa kesembuhan itu bukanlah karena dirinya melainkan karena Allah di dalam Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus yang berkuasa (Kisah Para Rasul 3:12-19). Lebih dari itu, Petrus dalam khotbahnya mengajak orang-orang sejenak menoleh pada peristiwa sengsara Yesus. Melalui pengenangan itu, mereka diajak untuk sadar dan bertobat. 


Dalam ruang-ruang kesaksian, pendekatan semacam ini sering kita jumpai bukan? Tentu saja tidak ada yang salah dengan pendekatan ini sejauh keberhasilan dan kesuksesan itu didasarkan pada penghayatan bahwa semua ini terjadi karena anugerah Allah sebagaimana yang dihayati oleh Petrus!


Di samping cara yang pertama itu, ada pula cara yang kedua, yakni menggunakan pendekatan penderitaan. Maksudnya, adalah mereka yang berada di dalam penderitaan atau titik terendah dalam hidupnya tetapi tetap berpengharapan, tidak menyerah, dan bersandar penuh pada Allah. Tidak banyak orang yang bersaksi dengan pendekatan semacam ini. Namun, ada seorang pendeta GKI yang bersaksi dengan cara ini. Beliau adalah Pdt. Izack Y. Sipasulta yang melayani di GKI Cawang. Sebagai seorang pendeta, Allah justru mengizinkan ia terkena kanker paru-paru stadium 4. Pengobatan demi pengobatan dijalani, namun bukan untuk sembuh melainkan mencegah kanker menyebar dan memperpanjang hidupnya. Pada akhirnya beliau pun kembali kepada Sang Pencipta tepat pada tanggal 26 November 2021. Di tengah rasa sakit yang luar biasa, ia mempersaksikan Tuhan yang hidup. Ia pernah berujar, "Saya tidak akan pernah berhenti melayani Tuhan selama masih diberi nafas kehidupan... Rasa sakit pada badan yang luar biasa membuat saya hanya dapat mengandalkan pertolongan Tuhan." (lih. artikel Ignite - Memaknai Hidup sebagai Anugerah: Sepenggal Kisah Hidup dari Pdt. Izack Y. Sipasulta).


Baik melalui keberhasilan atau kegagalan, sehat maupun sakit, sukses maupun merugi, semua bisa menjadi sarana untuk mempersaksikan Tuhan yang bangkit. Tidak perlu menunggu keadaan baik-baik saja untuk bersaksi. Sebaliknya tidak perlu juga merasa tak mampu bersaksi kala keadaan sedang tidak baik-baik saja. Situasi yang kita alami bukanlah dalil untuk kita berhenti menjadi saksi-Nya sebab identitas kita sejatinya adalah anak-anak Allah (1 Yohanes 3:1-7). Identitas kita yang adalah anak-anak Allah kiranya menjadi pengingat sekaligus daya untuk terus berjuang menghadirkan kasih-Nya di tengah-tengah dunia ini. Dengan kata lain, kita adalah anak-anak Allah yang berusaha untuk terus mempersaksikan Tuhan yang bangkit dan hidup melalui tutur kata dan hidup dimanapun kita berada. Tuhan memampukan! Amin.


feeg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar