Jumat, 26 April 2024

Ranting Yang Berbuah

 


Minggu Paskah V

Kisah Para Rasul 8: 26-40; Mazmur 22: 26-32; 1 Yohanes 4: 7-21; Yohanes 15: 1-8


“Apakah tujuan hidup saya?” Pertanyaan ini menjadi salah satu pertanyaan eksistensial yang dirindukan jawabannya oleh setiap insan. “Mengapa saya dilahirkan?” Tidak sedikit waktu yang kita habiskan untuk menemukan jawaban yang memuaskan dan melegakan terhadapnya. 

Stephen Covey menawarkan sebuah cara untuk menolong anak-anak muda menemukan tujuan hidup, yang kelak ia sebut dengan prinsip Begin With The End In Mind. Mari kita lakukan bersama. Sejenak, pejamkan mata dan bawa pikiran anda ke bayangan akan hari kematian anda. Anda ada di dalam peti mati dan banyak orang berdatangan untuk melayat. Otomatis, mereka akan berbagi memori tentang almarhum anda semasa hidup bersama dengan mereka. Sayup terdengar suara mereka bercerita. Kira-kira apa yang sedang mereka bicarakan? Akankah mereka membagikan momen-momen banyak bekerja bersama anda atau justru mengingat hanya sekilas pernah bertegur sapa? Akankah mereka bahagia pernah mengenal anda, berkata “tak ada lagi yang seperti dia”, atau tidak juga? Ucapan apa saja yang ingin anda dengar tentang diri anda? Bayangkan sejenak. Menurut Covey, apa yang ingin anda dengar tentang diri anda sendiri di saat kematian anda, itulah tujuan hidup anda. Hiduplah demikian adanya sejak dini. Mulai dari memikirkan akhir hidup, kita berjumpa kerinduan yang paling mendasar untuk kita lakukan di tengah dunia ini.

Covey mengajak kita menentukan tujuan hidup kita sendiri melalui simulasi, tapi sesungguhnya Tuhan Yesus telah mengajak kita mengingat tujuan hidup melalui rancangan yang Bapa telah tentukan untuk kehidupan kita. Tujuan itu ialah untuk menghasilkan buah. Yesus berkata “dalam hal inilah Bapa-Ku dimuliakan bahwa kamu berbuah banyak dan menunjukkan kamu adalah murid-murid-Ku”. 

Dalam perjalanan pelayanan Yesus bersama para murid, mereka sering berjumpa dengan kebun anggur. Mereka tentu tidak asing dengan cara para pengusaha kebun anggur mengelola kebunnya demi hasil yang terbaik. Maka dengan gambaran yang paling familiar dengan kehidupan sesehari saat itulah Yesus memilih pohon anggur sebagai perumpamaan agar muridNya memahami tujuan hidup mereka. Yesus mengibaratkan Bapa sebagai pemilik kebun, Yesuslah batang pokok pohon anggur itu, sedangkan para pengikut-Nya sebagai ranting atau carang dari batang pokok anggur. Sebagai ranting, murid Kristus mestilah menghasilkan buah dan dapat dinikmati buahnya sebagai bahan makanan dan minuman bangsa Israel saat itu. 

Untuk dapat berbuah dengan baik, ranting-ranting harus mau dibersihkan/ dipruning/ di-trim. Ada kalanya tukang kebun akan membersihkan dengan cara memangkas ujung-ujung ranting agar tidak terlampau panjang dan berat. Juga agar zat nutrisi terfokus untuk mengaliri bakal buah dan bukan hanya untuk ranting itu sendiri. Ranting dipangkas ujungnya justru supaya lebih banyak buah. Sedangkan ranting yang jelas tidak pernah berbuah, bukan hanya dipruning tapi dipotong habis dan dibuang jauh supaya tidak menularkan penyakit. Jadi tujuan petani anggur cuma satu yaitu supaya tanaman berbuah. Bahkan lebat dan optimal. Itulah tujuan hidup kita, yaitu hidup berbuah di tangan-Nya. 

Dalam terang 1 Yohanes 4 : 7-21, kita pun melihat Allah melakukan segala karya (penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan dan pembaharuan) agar kita merasakan bahwa kita dimiliki oleh kasih-Nya dan mau memberi diri untuk meneruskan kasihNya bagi dunia. Allah telah menempuh segala cara agar dunia mengerti betapa kita sangat dikasihi dan dipercayai Allah untuk melaksanakan misi-Nya. Keberadaan kita berdampak besar sebab pasti orang yang berasal dari kasih Allah dan merasakan kasihNya, akan rindu untuk segera meneruskan dan membagikan buah kasih bagi sesama dalam pemberian dirinya. 

Jadi Tuhan Yesus sebenarnya bukan hanya menjawab apa tujuan hidup kita, tapi Ia juga terus meyakinkan kita bahwa “pasti ada tujuan hidupmu di tanganKu. Setiap orang pasti dilahirkan dengan suatu rancangan tujuan untuk memuliakan Allah. Tak seorang pun dilahirkan untuk menjadi sia-sia dan setiap orang yang tinggal dalam kasih Allah akan mengenal kerinduan untuk segera berkarya bagi dunia. Untuk itu, Tuhan Yesus mengingatkan, yang paling penting ialah selalu tinggal di dalam-Nya agar kita dibentuk untuk mengerti kehendak-Nya. “Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa yang kamu kehendaki, maka akan diberikan kepadamu.” 

Ada banyak hal yang kita kehendaki dalam dunia ini, termasuk yang kita pikir dan rasa perlu untuk dilakukan sebagai tujuan hidup kita. Namun, kekecewaan bisa muncul saat kita melihat yang kita upayakan terasa sia-sia. Sebab memang tak satupun yang kita pikirkan, katakan dan lakukan akan melegakan dan memuaskan kerinduan kita, kalau tidak bersumber dari kehendak Allah sendiri. Kita akan selalu mencari dan tidak menemukan tujuan hidup kalau mengandalkan maksud kita sendiri, seperti dikatakan “Sama seperti carang yang tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku” (ayat 4); “di luar Aku kamu tidak dapat berbuat apa-apa” (ayat 5). Maka, kita diajak untuk selalu menyamakan frekuensi kehendak kita dengan kehendak Allah yang memiliki kehidupan kita. Kita juga diundang terus mengingat sumber kehidupan kita yakni Allah yang penuh kasih yang akan menolong umat memenuhi tujuan hidupnya, yakni meneruskan kasih itu kepada dunia. 

Belakangan, gereja diperhadapkan pada isu kesehatan mental yang berakhir dengan keterkejutan kita saat menemui adanya pikiran dan tindakan percobaan bunuh diri dalam segala usia yang cukup tinggi kemunculannya. Tak sedikit penyintas yang mengungkapkan pergumulannya yang diawali dengan pertanyaan “mengapa saya harus dilahirkan?”; “untuk apa saya lahir?”, bahkan teriakan “saya tidak minta untuk dilahirkan!”. Kesia-siaan hidup menghantui kita. Nova Riyanti Yusuf yang mengembangkan Instrumen Ketahanan Jiwa Remaja menolong kita melihat bahwa memang ada empat dimensi faktor risiko bunuh diri yakni kesepian, ketidakberdayaan, kepercayaan individu tentang sejauh mana individu merasa menjadi bagian dari orang lain/sense of belonging, dan perasaan sebagai beban. Ketika seseorang tidak dapat mengaktualisasikan diri dan salah mengidentifikasi sense of belongingnya, maka ia tidak dapat melihat bahwa hidup ini bermakna, apalagi melihat bahwa hidup ini adalah untuk berbuah dan meneruskan kasih.  

Sebagai gereja Tuhan, fenomena ini menjadi pergumulan yang perlu kita jawab sebagai orang-orang yang dipanggil untuk berbuah dan meneruskan kasih di tengah dunia yang bertanya arti hidupnya. Bersama dengan sesama, mari meletakkan keberadaan, kepemilikan/sense of belonging dan tujuan hidup kita hanya di tangan Sang Pokok Anggur serta mari tinggal dalam kasihNya yang membuat kita berdaya, berguna dan berbuah senantiasa. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar