Sabtu, 28 September 2024

KARYA YANG TAK TERBATAS

 

(MINGGU BIASA)

Bil. 11 : 4 - 6, 10 - 16, 24 - 29; Mzm. 19 : 7 - 14; Yak. 5 : 13 - 20; Mrk. 9 : 38 - 50 

        

        Setiap orang dalam dunia ini lahir untuk berkarya. Bahkan setiap orang diberi Tuhan kemampuan yang berbeda untuk melakukan karya-karyanya. Ada yang berkarya sebagai dokter, pendeta, guru, teller bank, akuntan, tukang sampah, dan beragam karya lainnya yang dapat dilakukan. Mengapa manusia perlu berkarya? Bukan hanya supaya manusia itu bisa menghasilkan sesuatu atau untuk bertahan hidup, tetapi kita berkarya karena sejatinya Allah kita terus berkarya. Dan karya Allah yang tak terbatas itu diceritakan dalam bacaan hari ini.

        Di kitab Bilangan 11 menceritakan bagaimana bangsa Israel yang telah keluar dari tanah Mesir, sedang melakukan perjalanan ke tanah Kanaan. Dalam perjalanan itu, mereka sempat mengeluh pada Musa karena makanan yang sehari-hari mereka makan hanya manna. Sementara waktu di Mesir mereka dapat makan menu lainnya, yaitu mentimun, semangka, bawang prei, bawang merah dan bawang putih (ay. 5). 

        Dalam kondisi makan manna tiap hari, mereka mengeluh, menangis dan mulai merana karena ingin makan menu yang lain, yaitu daging. Namun karena mereka di tengah padang gurun, tentu sangat sulit bagi mereka untuk mendapat menu mewah itu. Andaipun ada tidak bisa memenuhi ratusan orang Israel kala itu. Ketika mereka mengeluh pada Musa, yang Musa lakukan adalah mengeluh pada Tuhan. Sekalipun isi keluhan itu bukan menampakkan keberserahan Musa pada Tuhan, melainkan keraguan atas karya Tuhan (ay. 10 - 15). Padahal sebelumnya, Tuhan sudah menunjukkan karyaNya yang tak terbatas untuk Musa dan bangsa Israel dengan membebaskan mereka dari Mesir. Tetapi keraguan, tekanan, keinginan manusia yang berlebihan seringkali membuat manusia lupa akan karya Allah dalam kehidupan. 

        Di tengah-tengah kondisi itu, yang Allah lakukan adalah mengumpulkan para tua-tua Israel 70 orang dan menaruh Roh Tuhan pada mereka sehingga mereka mengalami kepenuhan seperti nabi (ay. 16, 24 - 25). Untuk apa Tuhan lakukan itu? Beberapa penafsir mengungkapkan supaya Musa yang kala itu panik dan tidak melihat karya Tuhan, dapat ditenangkan Tuhan melalui para nabi yang mengalami kepenuhan. Para nabi yang mengalami kepenuhan ini pun dapat memahami rencana Tuhan dan menenangkan ratusan orang-orang Israel kala itu. 

        Melihat bagian ini, kita dapat belajar bahwa Tuhan juga tetap berkarya untuk Musa dengan memakai para tua Israel untuk memahami rencana Tuhan dan mengerti kondisi Musa sebagai utusan Tuhan yang sedang dihimpit oleh keluhan orang Israel. Karya Tuhan juga tak terbatas karena di perikop selanjutnya Tuhan yang membawa burung-burung puyuh untuk menjadi santapan orang Israel. Ia memenuhi kebutuhan mereka yang ingin makan daging. Sungguh karya yang tak terbatas.  

        Itulah mengapa pemazmur juga dalam Mazmur 19 mengungkapkan keagungan dan pujianNya akan karya Tuhan. Sebab karya Tuhan bukan hanya terbatas pada manusia. Tetapi tak terbatas, sebab langit, bumi dan alam pun dapat menceritakan dan memberitakan karya dan perbuatan Tuhan. 

        Bahkan dalam Injil pun menceritakan, Tuhan pun dapat berkarya bukan hanya pada murid-murid Tuhan. Tetapi juga pada orang lain. Markus 9 menceritakan pengaduan Yohanes kepada Yesus sebab “kami melihat seseorang mengusir setan demi nama-Mu, lalu kami cegah dia, karena ia bukan pengikut kita.” Namun Yesus justru berkata kepada mereka “Jangan kamu cegah dia! sebab, tidak ada seorang pun yang telah mengadakan mukjizat demi nama-Ku dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” 

        Mengapa Yesus membiarkan? Karena Yesus pun mau mengajarkan kepada para muridNya bahwa karya Allah itu tanpa batas. Allah dapat memakai orang asing sekalipun, untuk menjadi berkat Tuhan. Maka Allah mengajak para muridNya untuk senantiasa mempunyai garam dalam dirimu (punya rasa, peka, guna, karya) dan hidup berdamai seorang dengan yang lain (ay. 50b) agar bisa saling berkarya untuk memuliakan Allah. 

Saudaraku, dari bacaan hari ini kita sama-sama mau belajar bahwa: 

  1. Karya Allah itu tak terbatas. Ia dapat berkarya dalam beragam cara entah itu dalam diri kita, melalui orang lain di sekitar kita atau melalui alam ini untuk menunjukkan bahwa Ia tanpa batas.
  2. Sayangnya kita seringkali sukar melihat karya Allah ketika kita dalam keraguan, tekanan atau keinginan yang berlebihan. Karena semua itu membuat dapat membuat kita lupa untuk melihat karya Allah yang telah tersedia. Mari fokuskan diri kita pada karya Allah yang ada, sehingga tak selamanya kita lupa akan karyaNya. Sebab Ia tak pernah lupa untuk berkarya dalam hidup kita. Belajarlah mencukupkan diri kita.
  3. Kita pun dipanggil bukan hanya mengetahui Allah kita terus berkarya. Tapi kita juga dipanggil untuk saling berkarya dengan mempunyai garam dalam diri kita agar kita bisa saling menjadi berkat Allah untuk sesama. 

Tuhan menolong kita semua. Amin (mc)

Rabu, 11 September 2024

Murid yang Sejati

 

Minggu Biasa

Yesaya 50:4-9 | Mazmur 116:1-9 | Yakobus 3:1-12 | Markus 8:27-38

Bacaan Injil Minggu ini berkisah mengenai dua hal yang berkesinambungan. Yang pertama adalah bagaimana Kristus mencoba menanyakan kepada murid-murid-Nya mengenai siapa dirinya, sedangkan yang kedua adalah ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk yang pertama. Apa yang hendak kita renungkan dalam balutan tema “Murid yang Sejati”?

Tentu ada maksud saat Yesus menanyakan pengenalan orang-orang tentang siapa diri-Nya. Awalnya, Yesus menanyakan kepada mereka siapa diri-Nya di mata orang banyak. Jawabannya beragam. Namun, Yesus seakan tidak menggubris itu. Yesus langsung mengubah haluan pertanyaan-Nya, yakni menurut mereka pribadi, bukan orang lain. Mari kita fokuskan pikiran kita bukan pada ragam jawabannya, namun arah pertanyaannya.

Kedua pertanyaan yang Yesus lontarkan mengisyaratkan bahwa Yesus menginginkan adanya pengenalan personal dan mendalam dari para murid. Yesus adalah tokoh populer pada saat itu yang mengakibatkan banyak spekulasi mengenai identitas-Nya. Namun, seakan Yesus mengajak para murid tidak memiliki pengenalan menurut apa kata orang atau berbasis “katanya”. Yesus menginginkan agar mereka mengenali-Nya dengan personal, karena memang demikian semestinya. Sebagai murid yang selalu mengiring Yesus kemana saja, semestinya mereka memiliki gambaran pengenalan akan siapa Yesus yang utuh dan mendalam.

Pengenalan yang mendalam sangat penting bagi murid-murid Kristus, termasuk kita saat ini. Menjadi murid Kristus di era ini juga bukanlah hal mudah. Ketika pondasi teologi tidak mendalam, akan sangat mudah mengalami guncangan ketika menghadapi paham-paham baru. Bila kita ingat isu Kristen Progresif yang terangkat ke permukaan melalui media sosial, beberapa kalangan Kristen panik. Banyak sekali react di Youtube, entah itu murni reaksi sebagai kontra-narasi yang edukatif, atau hanya sekadar latah. Tidak jadi soal, ketika kita melakukan kajian ulang, namun bukankah itu menjadi cerminan bahwa banyak orang Kristen yang luput memahami prinsip-prinsip Kekristenan, sehingga mudah sekali diterpa paham-paham –yang sebenarnya tidak— baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman iman saja masih ada PR besar dalam gereja.

Atau ada hal lain, ketika semakin banyak bertebaran konten-konten di media sosial yang menyajikan debat agama yang saling menjatuhkan. Misalkan ada pihak yang mengolok-olok Kristen dengan cara mencoba mendelegitimasi Alkitab, kita meresponsnya dengan kemarahan. Iya, kemarahan saja, karena tidak bisa menjawab dengan baik secara pemahaman personal. Marah ketika dicemooh, tapi nggak bisa jawab. Kadang juga ada yang membela iman Kristen dengan meyakinkan lantas hati kita berbunga-bunga, padahal belum tentu benar secara prinsip. Ini aneh. Sudjiwo Tejo, sebagai budayawan yang nyentrik itu pernah berkata kira-kira begini, “Bila orang menyalahkan imanmu dan kamu marah, membenarkan imanmu dan kamu bahagia, berarti kamu belum menemukan imanmu yang sejati.”

Yesus menitikberatkan pada pengenalan secara personal kepada dan bersama diri-Nya menjadi sangat penting. Tentu pengenalan pribadi ini bukan hanya dalam aspek kognitif, namun juga empiris. Pengalaman hidup sesehari semestinya bisa dimaknai dengan baik, sehingga pengenalan pribadi ini memiliki kedekatan emosional. Yesus rindu, murid-murid-Nya tidak hanya ikut apa kata orang, namun benar-benar dekat dan memiliki relasi yang hangat dengan-Nya.

Hal demikian semakin tampak tegas dalam penggalan perikop kedua bacaan Injil kita minggu ini. Yesus seakan mengusir Simon dengan Bahasa “enyahlah iblis” (Mrk 8:33). Kalimat ini seringkali membuat Yesus tampak beringas dan galak. Bagaimana tidak, sebagai guru Ia mengusir murid-Nya sendiri. Persis gambaran guru-guru galak zaman VOC. Namun, terjemahan Inggris dalam KJV atau NIV sepakat bahwa kalimat Yesus dituliskan dengan “get behind me”, yang berarti “sini, ke belakangku”. Yesus di sini tidak mengusir, namun mengajak Simon ke belakang-Nya. Ke bekalang Yesus berarti mau mengikuti-Nya, mempelajari cara-Nya berjalan, makan, minum, memperlakukan orang, menyembuhkan, dll. Sang Guru itu mengajak si murid untuk setia berjalan di belakang-Nya. Ada sebuah sikap lembut dan penuh kewibawaan dari Sang Guru. Pertanyaannya, apakah si murid mau berjalan di sana? Di situlah kesejatian murid itu ada. Tema kita adalah “Murid yang Sejati”. Menjadi murid yang sejati ternyata bukan siapa mereka yang selalu mendapat nilai baik, namun mereka yang berlaku setia berjalan di belakang Sang Guru, memiliki sifat yang mau belajar dengan tekun.

Dalam gereja, setiap kita mengikuti ibadah tiap minggu, atau dalam kegiatan-kegiatan lain. Coba tanyakan sikap kita, kita datang sebagai murid atau sebagai apa? Jangan-jangan yang kita anggap murid hanya anak-anak, karena mereka ikut Sekolah Minggu, dan bukan Kebaktian Umum. Alih-alih kita datang sebagai murid yang belajar, namun kita justru datang sebagai orang yang hendak menyaksikan pertunjukan. Musik yang sumbang jadi bahan ghibah, khotbah yang flat ditinggal buka WA dan Tiktokan malah. Betapa menyedihkan!

Tradisi pemuridan di zaman Israel kuno memiliki sebuah kekhasan. Si murid akan datang pagi-pagi buta ke rumah Sang Rabi, duduk di luar menunggu gurunya keluar. Setelah keluar, ia tidak akan banyak bicara. Ia hanya akan mengikuti gurunya kemana ia pergi. Selama seharian penuh ia akan membersamai gurunya. Bila gurunya bercakap dan mengajar, ia akan menyimak dan belajar. Ketika gurunya menolong orang, ia akan ikut serta menolong. Hal ini mirip dengan konsep cantrik atau nyantrik di tanah Jawa. Kepada Kyai atau Sang Guru itu, ia akan mengikuti, bahkan mengabdikan dirinya dalam proses belajar. Kita ikut siapa?

 FTP

Sabtu, 07 September 2024

GEREJA YANG TOLERAN

Minggu Biasa
Yesaya 35:4-7; Mazmur 146; Yakobus 2:1-17; Markus 7:24-37


Belakangan ini kita diramaikan dengan serba-serbi kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Mulai dari berita outfit-nya, transportasi yang digunakan, tempat menginap, para haters yang bermunculan di media sosial, sampai orang-orang yang diberkati secara langsung di tepi jalan. Di tengah-tengah kunjungan apostoliknya, Paus tidak hanya berjumpa dan menyapa umat Katolik, melainkan menyapa ragam kelompok etnik. Ia tidak berkunjung hanya ke katedral, namun juga ke Masjid Istiqlal. Berjumpa dengan para sahabat hingga pejabat dari agama-agama lain. Ia bukan hanya berjabat tangan dengan orang-orang berjas, namun juga memeluk mereka penyandang disabilitas. Kunjungan beliau tidak hanya membawa sukacita bagi umat Katolik saja, namun membawa pesan persaudaraan dan perdamaian bagi bangsa Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus merupakan sebuah upaya meneladani Kristus yang dialogis, yakni kasih yang terbuka kepada semua orang. Dalam Injil Markus 7:24-37, kita diperlihatkan bagaimana Sang Sumber Kasih membagikan kasih yang dialogis itu kepada “orang yang berbeda”. Kisah pertama (ay. 24-30) merupakan perjumpaan antara Yesus dengan perempuan Siro Fenisia. Siapa perempuan ini? Tidak disebutkan siapa namanya. Alkitab hanya mencatat bahwa ia adalah seorang ibu yang berlatar belakang Yunani, yang menghampiri Yesus untuk meminta tolong sebab anaknya kerasukan roh jahat. Permohonan itu direspon oleh Yesus, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay. 27). Terkesan kasar bukan? Namun, jika kita melihat dari sudut pandang budaya kala itu, maka sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang kasar. Memang bagi orang Yahudi anjing merupakan hewan yang najis, namun itu tidak berlaku bagi orang Yunani. Tinggal bersama anjing adalah sesuatu yang wajar. Kemudian, kata anjing yang digunakan pada ayat itu, memakai kata “kunarion” yang artinya anjing piaraan atau anjing yang kecil dan bukan anjing liar. Yesus tahu siapa yang diajak bicara sehingga tidak tepat menyimpulkan bahwa Yesus merespon ibu Siro Fenisia itu dengan kasar. Itu sebabnya si ibu tidak marah, malahan mengatakan, “anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay. 28). Tentu saja ini bukanlah respon “baper”, melainkan bentuk kesadaran dan penerimaan diri. Singkat cerita, Yesus menyuruhnya pergi. Ketika sampai di rumah, sang ibu mendapati anaknya yang tidur dan roh jahat itu telah pergi. 

Kisah kedua merupakan perjumpaan Yesus dengan orang yang tuli juga gagap di dekat Dekapolis (selatan danau Galilea) (ay. 31-37). Tidak jelas apa latar belakang orang ini, namun situasi yang ia alami sebagai seorang yang tuli dan gagap menggambarkan bahwa ia menjadi orang yang terbuang karena dianggap sebagai orang berdosa (bdk. Yoh. 9:1-2). Dalam sistem sosial pada waktu itu, orang ini adalah “kelas bawah”. Kendatipun demikian, Yesus tetap menolong orang itu. Saat hanya tinggal Yesus dan orang itu,  Yesus memasukan jari ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu. Sambil menengadah ke atas, Yesus menarik nafas dan berkata “Efata”: terbukalah. Seketika itu, telinganya terbuka dan terlepas juga pengikat lidahnya sehingga ia bisa berkata-kata dengan baik (ay. 35).

         Perjumpaan yang berbeda, namun punya pesan yang sama, yakni bagaimana Yesus menunjukkan kasih yang dialogis. Kasih yang dipancarkan menembus batas budaya (juga keyakinan) dan batas sosial. Apakah ibu Siro Fenisia atau orang yang tuli itu pada akhirnya mengikut Yesus, kita tidak tahu pasti akhirnya, yang jelas kasih itu dikecap oleh mereka. Sebagai gereja, itulah yang harus kita perjuangkan. Kita menjadi gereja yang toleran dalam artian gereja yang senantiasa membuka ruang dialog yang bermisi sekaligus yang bermisi dengan berdialog. Dengan demikian gereja tidak alergi terhadap kepelbagaian namun juga tak kehilangan identitas. Kepelbagaian bukan ancaman melainkan peluang untuk berpadu dalam keharmonisan. 

Kalau di dalam gereja saja, kita masih meributkan orang lain yang berbeda dengan kita -entah itu pendapat, gaya atau ekspresi imannya-, apa jadinya ketika berjumpa dengan mereka yang di luar gereja, mereka yang berbeda budaya dan keyakinannya? Dalam pidatonya di depan Presiden Jokowi, Paus Fransiskus berkata, “ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka,” Rasanya tak berlebihan juga kalau perkataan Paus ini menjadi perenungan sekaligus peringatan kepada kita sebagai gereja. Selamat menjadi gereja yang toleran. Selamat merayakan kepelbagaian. Tuhan cinta kita semua!


feeg