Sabtu, 07 September 2024

GEREJA YANG TOLERAN

Minggu Biasa
Yesaya 35:4-7; Mazmur 146; Yakobus 2:1-17; Markus 7:24-37


Belakangan ini kita diramaikan dengan serba-serbi kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia. Mulai dari berita outfit-nya, transportasi yang digunakan, tempat menginap, para haters yang bermunculan di media sosial, sampai orang-orang yang diberkati secara langsung di tepi jalan. Di tengah-tengah kunjungan apostoliknya, Paus tidak hanya berjumpa dan menyapa umat Katolik, melainkan menyapa ragam kelompok etnik. Ia tidak berkunjung hanya ke katedral, namun juga ke Masjid Istiqlal. Berjumpa dengan para sahabat hingga pejabat dari agama-agama lain. Ia bukan hanya berjabat tangan dengan orang-orang berjas, namun juga memeluk mereka penyandang disabilitas. Kunjungan beliau tidak hanya membawa sukacita bagi umat Katolik saja, namun membawa pesan persaudaraan dan perdamaian bagi bangsa Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh Paus Fransiskus merupakan sebuah upaya meneladani Kristus yang dialogis, yakni kasih yang terbuka kepada semua orang. Dalam Injil Markus 7:24-37, kita diperlihatkan bagaimana Sang Sumber Kasih membagikan kasih yang dialogis itu kepada “orang yang berbeda”. Kisah pertama (ay. 24-30) merupakan perjumpaan antara Yesus dengan perempuan Siro Fenisia. Siapa perempuan ini? Tidak disebutkan siapa namanya. Alkitab hanya mencatat bahwa ia adalah seorang ibu yang berlatar belakang Yunani, yang menghampiri Yesus untuk meminta tolong sebab anaknya kerasukan roh jahat. Permohonan itu direspon oleh Yesus, “Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing” (ay. 27). Terkesan kasar bukan? Namun, jika kita melihat dari sudut pandang budaya kala itu, maka sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang kasar. Memang bagi orang Yahudi anjing merupakan hewan yang najis, namun itu tidak berlaku bagi orang Yunani. Tinggal bersama anjing adalah sesuatu yang wajar. Kemudian, kata anjing yang digunakan pada ayat itu, memakai kata “kunarion” yang artinya anjing piaraan atau anjing yang kecil dan bukan anjing liar. Yesus tahu siapa yang diajak bicara sehingga tidak tepat menyimpulkan bahwa Yesus merespon ibu Siro Fenisia itu dengan kasar. Itu sebabnya si ibu tidak marah, malahan mengatakan, “anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak” (ay. 28). Tentu saja ini bukanlah respon “baper”, melainkan bentuk kesadaran dan penerimaan diri. Singkat cerita, Yesus menyuruhnya pergi. Ketika sampai di rumah, sang ibu mendapati anaknya yang tidur dan roh jahat itu telah pergi. 

Kisah kedua merupakan perjumpaan Yesus dengan orang yang tuli juga gagap di dekat Dekapolis (selatan danau Galilea) (ay. 31-37). Tidak jelas apa latar belakang orang ini, namun situasi yang ia alami sebagai seorang yang tuli dan gagap menggambarkan bahwa ia menjadi orang yang terbuang karena dianggap sebagai orang berdosa (bdk. Yoh. 9:1-2). Dalam sistem sosial pada waktu itu, orang ini adalah “kelas bawah”. Kendatipun demikian, Yesus tetap menolong orang itu. Saat hanya tinggal Yesus dan orang itu,  Yesus memasukan jari ke telinga orang itu, lalu meludah dan meraba lidah orang itu. Sambil menengadah ke atas, Yesus menarik nafas dan berkata “Efata”: terbukalah. Seketika itu, telinganya terbuka dan terlepas juga pengikat lidahnya sehingga ia bisa berkata-kata dengan baik (ay. 35).

         Perjumpaan yang berbeda, namun punya pesan yang sama, yakni bagaimana Yesus menunjukkan kasih yang dialogis. Kasih yang dipancarkan menembus batas budaya (juga keyakinan) dan batas sosial. Apakah ibu Siro Fenisia atau orang yang tuli itu pada akhirnya mengikut Yesus, kita tidak tahu pasti akhirnya, yang jelas kasih itu dikecap oleh mereka. Sebagai gereja, itulah yang harus kita perjuangkan. Kita menjadi gereja yang toleran dalam artian gereja yang senantiasa membuka ruang dialog yang bermisi sekaligus yang bermisi dengan berdialog. Dengan demikian gereja tidak alergi terhadap kepelbagaian namun juga tak kehilangan identitas. Kepelbagaian bukan ancaman melainkan peluang untuk berpadu dalam keharmonisan. 

Kalau di dalam gereja saja, kita masih meributkan orang lain yang berbeda dengan kita -entah itu pendapat, gaya atau ekspresi imannya-, apa jadinya ketika berjumpa dengan mereka yang di luar gereja, mereka yang berbeda budaya dan keyakinannya? Dalam pidatonya di depan Presiden Jokowi, Paus Fransiskus berkata, “ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka,” Rasanya tak berlebihan juga kalau perkataan Paus ini menjadi perenungan sekaligus peringatan kepada kita sebagai gereja. Selamat menjadi gereja yang toleran. Selamat merayakan kepelbagaian. Tuhan cinta kita semua!


feeg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar