Minggu Biasa
Yesaya 50:4-9 | Mazmur 116:1-9 | Yakobus 3:1-12
| Markus 8:27-38
Bacaan
Injil Minggu ini berkisah mengenai dua hal yang berkesinambungan. Yang pertama
adalah bagaimana Kristus mencoba menanyakan kepada murid-murid-Nya mengenai
siapa dirinya, sedangkan yang kedua adalah ketika Yesus memberitakan
penderitaan-Nya untuk yang pertama. Apa yang hendak kita renungkan dalam
balutan tema “Murid yang Sejati”?
Tentu ada
maksud saat Yesus menanyakan pengenalan orang-orang tentang siapa diri-Nya. Awalnya,
Yesus menanyakan kepada mereka siapa diri-Nya di mata orang banyak. Jawabannya
beragam. Namun, Yesus seakan tidak menggubris itu. Yesus langsung mengubah haluan
pertanyaan-Nya, yakni menurut mereka pribadi, bukan orang lain. Mari kita
fokuskan pikiran kita bukan pada ragam jawabannya, namun arah pertanyaannya.
Kedua
pertanyaan yang Yesus lontarkan mengisyaratkan bahwa Yesus menginginkan adanya
pengenalan personal dan mendalam dari para murid. Yesus adalah tokoh populer
pada saat itu yang mengakibatkan banyak spekulasi mengenai identitas-Nya.
Namun, seakan Yesus mengajak para murid tidak memiliki pengenalan menurut apa
kata orang atau berbasis “katanya”. Yesus menginginkan agar mereka
mengenali-Nya dengan personal, karena memang demikian semestinya. Sebagai murid
yang selalu mengiring Yesus kemana saja, semestinya mereka memiliki gambaran
pengenalan akan siapa Yesus yang utuh dan mendalam.
Pengenalan
yang mendalam sangat penting bagi murid-murid Kristus, termasuk kita saat ini. Menjadi
murid Kristus di era ini juga bukanlah hal mudah. Ketika pondasi teologi tidak
mendalam, akan sangat mudah mengalami guncangan ketika menghadapi paham-paham
baru. Bila kita ingat isu Kristen Progresif yang terangkat ke permukaan melalui
media sosial, beberapa kalangan Kristen panik. Banyak sekali react di
Youtube, entah itu murni reaksi sebagai kontra-narasi yang edukatif, atau hanya
sekadar latah. Tidak jadi soal, ketika kita melakukan kajian ulang, namun
bukankah itu menjadi cerminan bahwa banyak orang Kristen yang luput memahami
prinsip-prinsip Kekristenan, sehingga mudah sekali diterpa paham-paham –yang
sebenarnya tidak— baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman iman
saja masih ada PR besar dalam gereja.
Atau ada
hal lain, ketika semakin banyak bertebaran konten-konten di media sosial yang
menyajikan debat agama yang saling menjatuhkan. Misalkan ada pihak yang
mengolok-olok Kristen dengan cara mencoba mendelegitimasi Alkitab, kita
meresponsnya dengan kemarahan. Iya, kemarahan saja, karena tidak bisa menjawab
dengan baik secara pemahaman personal. Marah ketika dicemooh, tapi nggak bisa
jawab. Kadang juga ada yang membela iman Kristen dengan meyakinkan lantas hati
kita berbunga-bunga, padahal belum tentu benar secara prinsip. Ini aneh.
Sudjiwo Tejo, sebagai budayawan yang nyentrik itu pernah berkata kira-kira
begini, “Bila orang menyalahkan imanmu dan kamu marah, membenarkan imanmu dan
kamu bahagia, berarti kamu belum menemukan imanmu yang sejati.”
Yesus
menitikberatkan pada pengenalan secara personal kepada dan bersama diri-Nya
menjadi sangat penting. Tentu pengenalan pribadi ini bukan hanya dalam aspek
kognitif, namun juga empiris. Pengalaman hidup sesehari semestinya bisa
dimaknai dengan baik, sehingga pengenalan pribadi ini memiliki kedekatan
emosional. Yesus rindu, murid-murid-Nya tidak hanya ikut apa kata orang, namun
benar-benar dekat dan memiliki relasi yang hangat dengan-Nya.
Hal
demikian semakin tampak tegas dalam penggalan perikop kedua bacaan Injil kita
minggu ini. Yesus seakan mengusir Simon dengan Bahasa “enyahlah iblis” (Mrk
8:33). Kalimat ini seringkali membuat Yesus tampak beringas dan galak.
Bagaimana tidak, sebagai guru Ia mengusir murid-Nya sendiri. Persis gambaran
guru-guru galak zaman VOC. Namun, terjemahan Inggris dalam KJV atau NIV sepakat
bahwa kalimat Yesus dituliskan dengan “get behind me”, yang berarti “sini, ke
belakangku”. Yesus di sini tidak mengusir, namun mengajak Simon ke
belakang-Nya. Ke bekalang Yesus berarti mau mengikuti-Nya, mempelajari cara-Nya
berjalan, makan, minum, memperlakukan orang, menyembuhkan, dll. Sang Guru itu
mengajak si murid untuk setia berjalan di belakang-Nya. Ada sebuah sikap lembut
dan penuh kewibawaan dari Sang Guru. Pertanyaannya, apakah si murid mau
berjalan di sana? Di situlah kesejatian murid itu ada. Tema kita adalah “Murid
yang Sejati”. Menjadi murid yang sejati ternyata bukan siapa mereka yang
selalu mendapat nilai baik, namun mereka yang berlaku setia berjalan di
belakang Sang Guru, memiliki sifat yang mau belajar dengan tekun.
Dalam
gereja, setiap kita mengikuti ibadah tiap minggu, atau dalam kegiatan-kegiatan
lain. Coba tanyakan sikap kita, kita datang sebagai murid atau sebagai apa?
Jangan-jangan yang kita anggap murid hanya anak-anak, karena mereka ikut
Sekolah Minggu, dan bukan Kebaktian Umum. Alih-alih kita datang sebagai murid
yang belajar, namun kita justru datang sebagai orang yang hendak menyaksikan
pertunjukan. Musik yang sumbang jadi bahan ghibah, khotbah yang flat ditinggal
buka WA dan Tiktokan malah. Betapa menyedihkan!
Tradisi
pemuridan di zaman Israel kuno memiliki sebuah kekhasan. Si murid akan datang
pagi-pagi buta ke rumah Sang Rabi, duduk di luar menunggu gurunya keluar. Setelah
keluar, ia tidak akan banyak bicara. Ia hanya akan mengikuti gurunya kemana ia
pergi. Selama seharian penuh ia akan membersamai gurunya. Bila gurunya bercakap
dan mengajar, ia akan menyimak dan belajar. Ketika gurunya menolong orang, ia
akan ikut serta menolong. Hal ini mirip dengan konsep cantrik atau nyantrik di
tanah Jawa. Kepada Kyai atau Sang Guru itu, ia akan mengikuti, bahkan
mengabdikan dirinya dalam proses belajar. Kita ikut siapa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar