Rabu, 11 September 2024

Murid yang Sejati

 

Minggu Biasa

Yesaya 50:4-9 | Mazmur 116:1-9 | Yakobus 3:1-12 | Markus 8:27-38

Bacaan Injil Minggu ini berkisah mengenai dua hal yang berkesinambungan. Yang pertama adalah bagaimana Kristus mencoba menanyakan kepada murid-murid-Nya mengenai siapa dirinya, sedangkan yang kedua adalah ketika Yesus memberitakan penderitaan-Nya untuk yang pertama. Apa yang hendak kita renungkan dalam balutan tema “Murid yang Sejati”?

Tentu ada maksud saat Yesus menanyakan pengenalan orang-orang tentang siapa diri-Nya. Awalnya, Yesus menanyakan kepada mereka siapa diri-Nya di mata orang banyak. Jawabannya beragam. Namun, Yesus seakan tidak menggubris itu. Yesus langsung mengubah haluan pertanyaan-Nya, yakni menurut mereka pribadi, bukan orang lain. Mari kita fokuskan pikiran kita bukan pada ragam jawabannya, namun arah pertanyaannya.

Kedua pertanyaan yang Yesus lontarkan mengisyaratkan bahwa Yesus menginginkan adanya pengenalan personal dan mendalam dari para murid. Yesus adalah tokoh populer pada saat itu yang mengakibatkan banyak spekulasi mengenai identitas-Nya. Namun, seakan Yesus mengajak para murid tidak memiliki pengenalan menurut apa kata orang atau berbasis “katanya”. Yesus menginginkan agar mereka mengenali-Nya dengan personal, karena memang demikian semestinya. Sebagai murid yang selalu mengiring Yesus kemana saja, semestinya mereka memiliki gambaran pengenalan akan siapa Yesus yang utuh dan mendalam.

Pengenalan yang mendalam sangat penting bagi murid-murid Kristus, termasuk kita saat ini. Menjadi murid Kristus di era ini juga bukanlah hal mudah. Ketika pondasi teologi tidak mendalam, akan sangat mudah mengalami guncangan ketika menghadapi paham-paham baru. Bila kita ingat isu Kristen Progresif yang terangkat ke permukaan melalui media sosial, beberapa kalangan Kristen panik. Banyak sekali react di Youtube, entah itu murni reaksi sebagai kontra-narasi yang edukatif, atau hanya sekadar latah. Tidak jadi soal, ketika kita melakukan kajian ulang, namun bukankah itu menjadi cerminan bahwa banyak orang Kristen yang luput memahami prinsip-prinsip Kekristenan, sehingga mudah sekali diterpa paham-paham –yang sebenarnya tidak— baru. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam pemahaman iman saja masih ada PR besar dalam gereja.

Atau ada hal lain, ketika semakin banyak bertebaran konten-konten di media sosial yang menyajikan debat agama yang saling menjatuhkan. Misalkan ada pihak yang mengolok-olok Kristen dengan cara mencoba mendelegitimasi Alkitab, kita meresponsnya dengan kemarahan. Iya, kemarahan saja, karena tidak bisa menjawab dengan baik secara pemahaman personal. Marah ketika dicemooh, tapi nggak bisa jawab. Kadang juga ada yang membela iman Kristen dengan meyakinkan lantas hati kita berbunga-bunga, padahal belum tentu benar secara prinsip. Ini aneh. Sudjiwo Tejo, sebagai budayawan yang nyentrik itu pernah berkata kira-kira begini, “Bila orang menyalahkan imanmu dan kamu marah, membenarkan imanmu dan kamu bahagia, berarti kamu belum menemukan imanmu yang sejati.”

Yesus menitikberatkan pada pengenalan secara personal kepada dan bersama diri-Nya menjadi sangat penting. Tentu pengenalan pribadi ini bukan hanya dalam aspek kognitif, namun juga empiris. Pengalaman hidup sesehari semestinya bisa dimaknai dengan baik, sehingga pengenalan pribadi ini memiliki kedekatan emosional. Yesus rindu, murid-murid-Nya tidak hanya ikut apa kata orang, namun benar-benar dekat dan memiliki relasi yang hangat dengan-Nya.

Hal demikian semakin tampak tegas dalam penggalan perikop kedua bacaan Injil kita minggu ini. Yesus seakan mengusir Simon dengan Bahasa “enyahlah iblis” (Mrk 8:33). Kalimat ini seringkali membuat Yesus tampak beringas dan galak. Bagaimana tidak, sebagai guru Ia mengusir murid-Nya sendiri. Persis gambaran guru-guru galak zaman VOC. Namun, terjemahan Inggris dalam KJV atau NIV sepakat bahwa kalimat Yesus dituliskan dengan “get behind me”, yang berarti “sini, ke belakangku”. Yesus di sini tidak mengusir, namun mengajak Simon ke belakang-Nya. Ke bekalang Yesus berarti mau mengikuti-Nya, mempelajari cara-Nya berjalan, makan, minum, memperlakukan orang, menyembuhkan, dll. Sang Guru itu mengajak si murid untuk setia berjalan di belakang-Nya. Ada sebuah sikap lembut dan penuh kewibawaan dari Sang Guru. Pertanyaannya, apakah si murid mau berjalan di sana? Di situlah kesejatian murid itu ada. Tema kita adalah “Murid yang Sejati”. Menjadi murid yang sejati ternyata bukan siapa mereka yang selalu mendapat nilai baik, namun mereka yang berlaku setia berjalan di belakang Sang Guru, memiliki sifat yang mau belajar dengan tekun.

Dalam gereja, setiap kita mengikuti ibadah tiap minggu, atau dalam kegiatan-kegiatan lain. Coba tanyakan sikap kita, kita datang sebagai murid atau sebagai apa? Jangan-jangan yang kita anggap murid hanya anak-anak, karena mereka ikut Sekolah Minggu, dan bukan Kebaktian Umum. Alih-alih kita datang sebagai murid yang belajar, namun kita justru datang sebagai orang yang hendak menyaksikan pertunjukan. Musik yang sumbang jadi bahan ghibah, khotbah yang flat ditinggal buka WA dan Tiktokan malah. Betapa menyedihkan!

Tradisi pemuridan di zaman Israel kuno memiliki sebuah kekhasan. Si murid akan datang pagi-pagi buta ke rumah Sang Rabi, duduk di luar menunggu gurunya keluar. Setelah keluar, ia tidak akan banyak bicara. Ia hanya akan mengikuti gurunya kemana ia pergi. Selama seharian penuh ia akan membersamai gurunya. Bila gurunya bercakap dan mengajar, ia akan menyimak dan belajar. Ketika gurunya menolong orang, ia akan ikut serta menolong. Hal ini mirip dengan konsep cantrik atau nyantrik di tanah Jawa. Kepada Kyai atau Sang Guru itu, ia akan mengikuti, bahkan mengabdikan dirinya dalam proses belajar. Kita ikut siapa?

 FTP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar