Jumat, 29 Agustus 2025

KEMULIAAN DALAM KERENDAHAN

 Minggu Biasa

Amsal 25:6-7 Mazmur 112 | Ibrani 13:1-8, 15-16 | Lukas 14:1, 7-14


Kalau kerendahan hati hanya diukur dari pemilihan tempat duduk yang jauh dari mimbar, maka kita perlu berbahagia sebab (hampir semua) umat yang datang beribadah di GKI tidak langsung memilih kursi bagian depan, melainkan memilih kursi di tengah sampai ke belakang. Sungguh betapa rendah hatinya orang-orang yang beribadah di GKI ini. Sayangnya kerendahan hati tidak sesempit itu. Yesus memang memberikan sebuah perumpamaan mengenai orang yang diundang dalam pesta perkawinan untuk tidak duduk di tempat kehormatan, melainkan untuk duduk di tempat yang paling rendah (Luk. 14:7-10), namun maknanya tidak sesederhana itu. Kalau begitu kerendahan hati seperti apa yang mau diajarkan oleh Yesus?

Bagi mereka yang diundang, kerendahan hati berbicara mengenai sikap seseorang yang tahu diri. Yesus memberikan alasan mengapa seseorang yang diundang di pesta perkawinan jangan memilih tempat yang terhormat, yakni supaya orang itu tidak mendapatkan malu kalau-kalau tempat yang terhormat itu ternyata bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Lebih dari itu, saat tuan rumah datang dan melihat yang diundang memilih tempat yang paling rendah, saat itulah tuan rumah mempersilahkan yang diundang untuk duduk di tempat yang terhormat. Dengan demikian, perkataan Yesus yang mengatakan, “siapa yang meninggikan diri akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan” mau menegaskan bahwa kemuliaan sejati tidak datang dari validasi diri, melainkan pemberian sang Ilahi, dan itu dimulai dari sikap rendah hati.

Pesan ini juga nampak kuat dalam Bacaan I: Amsal 25:6-7. Dengan nada yang sama, sang penulis mengatakan, “Jangan berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar. Karena lebih baik orang berkata kepadamu, naiklah kesini,” dari pada engkau direndahkan di hadapan orang mulia.” Lagi-lagi, bukan validasi diri yang diutamakan, tapi sikap tahu diri. Tengoklah para pejabat (bukan di Indonesia) yang melakukan segala cara (baca: menjilat) untuk mendapatkan kemuliaan. Bukan kerendahan hati yang ditunjukkan melainkan sandiwara berbalut kepentingan diri supaya mendapatkan posisi dan kursi, supaya bisa meraup kekayaan sekaligus mendapat penghargaan. Bukankah sikap semacam ini banyak ditunjukkan oleh pejabat di negara Indonesia, eh salah, maksudnya pejabat agama Yahudi di zaman Yesus? Tidak sedikit dari mereka yang mempertontonkan kesalehan palsu (memakai outfit keagamaan, bersedakah, berdoa dan berpuasa) supaya dilihat banyak orang. Itu sikap tidak tahu diri!

Kerendahan hati juga bicara soal sikap seseorang yang memberi ruang bagi yang lain untuk merasakan perjumpaan dengan Allah. Bisa jadi ketika Yesus mengatakan untuk duduk di tempat yang paling rendah (baca: jauh) mau mengingatkan kita supaya jangan jadi penghalang bagi orang lain untuk datang kepada Sang Tuan. Dengan kata lain, kerendahan hati yang kita hidupi merupakan jembatan untuk orang lain mengecap kasih Tuhan. Jadi kasih Tuhan bukan ditunjukkan dari kekuasaan atau kekayaan yang dimiliki, melainkan dari sikap kerendahan hati. Disitulah muncul kemuliaan sejati.

Terakhir, kerendahan hati adalah sikap yang tak menuntut balas. Yesus memberi pesan kepada yang mengundang supaya jangan mengundang para sahabat, kerabat keluarga, atau para tetangga yang kaya, melainkan undanglah mereka yang miskin, yang sakit, yang berbeban berat (Luk. 14:12-14). Mengundang orang yang dekat apalagi mereka yang “berpunya” hanya akan mendatangkan balasan yang sama. Akan tetapi, lain cerita ketika yang diundang adalah mereka yang tak bisa membalas budi. Dengan demikian sikap rendah hati adalah sikap yang melayani tanpa pamrih. Ia tidak lagi berpusat kepada kepentingan pribadi, melainkan mengutamakan orang lain. Semangat itu jugalah yang digaungkan dalam bacaan II: Ibrani 13:16, soal bagaimana umat diajak untuk tidak lalai dalam berbuat baik dan memberi bantuan kepada sesama. Pada titik ini, orang yang rendah hati adalah mereka yang mau memberi secara totalitas bukan melindas sesama yang tak mampu membalas! Itulah kemulian yang sejati.

Sekarang, camkanlah baik-baik, bahwa ketika kita memilih duduk di bangku paling jauh dari mimbar, itu tidak akan pernah cukup membuat kita menjadi pribadi yang rendah hati kalau kita tidak tahu diri, menjadi penghalang bagi yang lain, dan masih mengharapkan pamrih. Mari jadi pribadi yang rendah hati untuk mencintai dan melayani, bukan rendah hati yang meninggi. Kiranya Tuhan menolong. (Feeg)

Jumat, 22 Agustus 2025

GEREJA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Yesaya 58: 9b-14 ; Mazmur 103: 1-8 ; Ibrani 12:18-29 ; Lukas 13:10-17


Aturan atau tujuan ? manakah yang lebih penting bagi anda ?

Tujuan menolong seseorang untuk mencapai goals atau sesuatu yang hendak dikerjakan, diupayakan dan dicapai. Baik secara individu maupun kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut, aturan sangat diperlukan, yaitu untuk menolong seseorang atau kelompok dalam menjaga kehidupan yang teratur, keadilan, dan hal-hal lain yang menolong sampai pada tujuan. Maka tujuan dari dibentuknya aturan, haruslah berbicara tentang menolong seseorang dan bukan untuk memberatkan atau mendiskriminasikan seseorang.

Yesaya sendiri memberikan penjelasan mengenai aturan, terkhusus tentang hari sabat, yang merupakan salah satu bagian penting dari aturan atau hukum yang berlangsung di Israel, yang penting untuk dirayakan dan ditaati dengan tujuan untuk membantu umat dalam melaksanakan hari sabat dengan baik. Dengan tujuan menolong inilah, maka muncul aturan berupa tuntunan praktis tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan umat pada hari Sabat. Namun perlu kehati-hatian, sebab aturan yang dihidupi dengan cukup lama ini membuat orang menjadi melupakan tujuan dari aturan tersebut. Itulah yang terjadi pada masa Yesus, kita bisa meneukan bagaimana penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dapat menjadi gangguan bagi orang-orang saat itu, tekhusunya kepada rumah ibadat. Penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus dilihat sebagai hal yang tidak mendesak atau darurat untuk dilakukan pada hari sabat. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan “Kenapa harus sabat Yesus, kan masih bisa besok, masih ada waktu 6 hari lagi untuk melakukan penyembuhan itu, kenapa harus melanggar aturan sih.”

Apa yang juga disampaikan dalam Lukas 13:14 bukan hanya pengingat yang disampaikan kepada Yesus tentang aturan sabat, melainkan peran kepala rumah ibadat yang sedang menjalankan tugasnya. Meskipun nampak mentaati aturan, secara tidak sadar, kepada rumah ibadat sedang terjebak pada pengagungan akan aturan dibandingkan karya kasih Allah yang tengah dilakukan. Nyatanya pelaksanaan peraturan sabat dianggap lebih penting daripada substansinya.

Hal-hal seperti inilah yang seringkali terjadi dalam kehidupan bergereja dan menjadi salah penghambat kehidupan bergereja. Ketika kita mementingkan untuk mempertahankan status quo atau menolak perubahan. Leith Anderson dalam bukunya Dying for Change mengatakan bahwa penghambat kemajuan gereja bersumber dari dua hal, yang bersifat institusional dan personal. Salah satu penghambat yang bersifat institusional adalah ketika gereja lebih mementingkan sistem dan aturan ketimbang tujuan atau panggilan utama gereja untuk mewartakan kasih. Terkadang gereja lebih mempertahankan sistem yang berpedoman kepada “apa yang biasanya dilakukan”, rentan terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi situasi yang khusus. Ini bukan berarti menandakan bahwa aturan dan sistem di gereja tidak diperlukan, tentu bukan itu maksudnya. Sebab aturan atau sistem diperlukan dan harusnya diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, yaitu mewartakan kasih, dan aturan adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Sayangnya, kecenderungan semua institusi (termasuk gereja) adalah mempertahankan sistem, berpedoman pada “apa yang biasanya dilakukan” sama seperti tipe orang-orang yang tidak mau ada perubahan karena “bisanya begitu, memang dari dulu seperti itu”, rentan terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi suatu situasi yang khusus. Hal ini bukan berarti aturan atau sistem tidak perlu. Hal tersebut tentu tetap diperlukan agar kehidupan bergereja dapat ditata dengan baik. Namun, semestinya aturan dan sistem diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tetap yang utama adalah tujuan, karena hal tersebut bersifat prinsip atau esensial. Tujuan gereja adalah mewartakan kasih dan aturan adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Jangan sampai pewartaan kasih tersebut tidak dapat dilakukan hanya karena aturan yang menghambat.

Mari mengingat kembali kisah yang beberapa waktu ini terjadi, seorang anak berusia 3 tahun bernama Raya yang meninggal karena tubuhnya digerogoti cacing, yang tidak hanya memenuhi perutnya namun juga sudah sampai ke otak. Dibalik kondisi orang tua dan sebagainya, pertolongan menjadi sangat sulit sebab Raya tidak memiliki identitas untuk penerimaan BPJS, dan komunitas yang menolongnya hanya diberikan waktu 3 hari untuk mengurus itu semua untuk Raya bisa menerima penanganan. Pihak-pihak yang ada hanya menjalankan aturan yang berlaku, namun nyatanya aturan juga jadi penghambat untuk menolong kondisi seorang anak yang sudah berada dalam kondisi yang berat, dan akhirnya meninggal. Seolah pedang bermata dua, aturan yang dibuat untuk menolong justru melukai.

Kembali kepada kisah penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dalam pasal 13 bukanlah satu-satunya, Lukas juga mencatat di pasal 4, dimana Yesus juga mengusir roh jahat dari tubuh seseorang dan ini juga terjadi pada saat hari sabat, dirumah ibadat. Ketika melakukan mujizat ini, diletakkan setelah Yesus melakukan penggenapan nubuatan dari kitab nabi Yesaya dalam perjanjian Lama. Yesus menyinggung apa yang disampaikan oelah Yesaya 61:1-2, Ia berkata bahwa Dialah utusan Allah yang di datangkan ke dunia ini untuk mendatangkan pembebasan bagi mereka yang tertindas. Maka kisah dalam Lukas pasal 4 menunjukkan tanda janji penggenapan pembebasan yang sesungguhnya, yang Yesus akan lakukan dalam dunia ini, yaitu pembebasan atas dosa, masalah utama yang mengikat kehidupan. Maka jika kita kembali pada Lukas pasal 13, hal ini kembali mengingatkan kita kembali bahwa janji penegasan itu semakin dekat. Namun terdapat satu perbedaan yang mencolok, yaitu siapa yang Yesus sembuhkan.

Yesus menyembuhkan seorang wanita, dimana secara tradisi Yahudi wanita ini tergolong sebagai golongan kedua. Bisa kita katakan juga bahwa wanita tersebut terkena ‘kutukan ganda’, secara budaya dianggap golongan kedua dan dalam kisah pasal 13 dikatakan bahwa ia sakit, dirasuki roh jahat, sehingga semakin hina dan tidak mendapat perhatian. Namun lihatlah apa yang dilakukan oleh Yesus, Ia justru melihat, memanggil dan meletakkan tangan-Nya. Tiga kata kerja yang menggambarkan sebuah pekerjaan yang dilakukan pada hari sabat yang harusnya tidak dilakukan. Ia juga menyumbuhkan seorang yang mungkin sama sekali tidak diperhatikan oleh sekitar saat itu. Bayangkan ia membungkuk selama 18 tahun, tak pernah memandang orang lain dengan nyaman, orang lain pun tak mampu melihat wajahnya dengan baik, bahkan menyentuhnya pun orang tak sudi. Tidak hanya fisik yang sakit, mental pun sakit, terisolasi dan dihindari, merasakan kesendirian selama belasan tahun.

Bagi Yesus, kasih harus didahulukan dibandingkan aturan itu, tak masalah menyembuhkan perempuan itu dan konsekuensinya. Yesus meresponi kemarahan kepala rumah ibadat dengan menjawab pada acuan akan peraturan yang mereka sendiri untuk kepentingan mereka yaitu peraturan agar ternak boleh dilepas dan dibawa ke tempat minum pada hari sabat. Yesus sedang menegur kepala rumah ibadat dan para pemuka agama bahwa perempuan yang bungkuk itu lebih penting dari binatang ternak mereka. Ia adalah keturunan Abraham, yang artinya “sesama manusia” yang sedang “diikat” oleh roh yang menyakitinya. Bukankah perempuan itu juga harus dilepaskan/dibebaskan (TB 1 Yesus menyembuhkan, TB2 Yesus melepaskan) dari ikatan itu ? Berfokuslah pada kemanusiaan bukan aturan.

Apa yang disampaikan oleh Yesaya 58:9b-14 juga mengingatkan kita bahwa praktik ibadat sebagai sebuah aksi kemanusiaan jauh lebih penting daripada ibadat sebagai selebrasi atau ritual keagamaan. Puasa dan sabat harusnya dihidupi bukan pada selebrasi namun pada tujuan utama, mengatur kehidupan umat agar semakin berada dalam terang kasih-Nya. Kehadiran Yesus yang menyembuhkan pada hari sabat saat itu pun menjadi ruang bagi kita para pembaca dan pelaku firman masa kini untuk semakin menyadari bahwa Injil Kerajaan Allah diberitakan Yesus adalah kabar baik yang merangkul semua orang.

Panggilan untuk hadir itulah yang juga harusnya melekat, dan masih melekat dalam diri gereja kita, GKI di tengah kehidupan saat ini. Mengingat kembali akan kerinduan penyatuan GKI, semangat bersatu dan hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa.  Kita merayakan ulang tahun ke-37 GKI, momentum yang baik bagi kita untuk hidup seperti apa yang dikatakan pemazmur dalam Mazmur 103, Tuhan seperti bapa yang baik, yang panjang sabar, penuh pengertian, dan tidak memperlakukan anak-anakNya setimpal dengan dosa-dosanya. Kita dan gereja perlu menghidupi nilai-nilai karaktek Allah, tidak memandang status, siapa dan apa latar belakang seseorang. Tidak juga membedekan dan meniadakan orang-orang yang membutuhkan rangkulan seperti perempuan yang bungkuk dan kerasukan tersebut. Sebab sebagai bagian dari GKI dan identitas sebagai pengikut Kristus, kita diajak untuk mampu ‘menjadi manusia’, itu berarti mampu ‘memanusiakan’ yang lain, begitu pula gereja yang hadir untuk ‘memanusiakan’ satu dengan yang lain dengan rasa hormat, welas asih, dan siap untuk merangkul.

 

Kamis, 07 Agustus 2025

MELAMPAUI APA YANG KELIHATAN

Minggu Biasa XIX

Kejadian 15:1-6 | Mazmur 33:12-22 | Ibrani 11:1-3, 8-16 | Lukas 12:32-40


"Orang berubah bukan karena rasa takut, tapi karena dicintai," kata Jonathan kepada Sore ketika mereka bertemu di pameran foto Jonathan. Dialog ini terjadi menjelang akhir film Sore: Istri dari Masa Depan. Film ini mengisahkan seorang perempuan bernama Sore yang kembali ke masa lalu untuk mengubah kehidupan suaminya, Jonathan. Pada masa depan, Jonathan meninggal akibat serangan jantung, karena pola hidup tidak sehat. Karena kesedihan yang mendalam atas kematian Jonathan, ia tanpa sengaja kembali ke masa lalu. Ia pun berusaha untuk mencegah kematian Jonathan pada masa depan dengan cara mengubah kebiasaanya. Karena ketakutannya akan masa depan, ribuan kali Sore harus kembali ke masa lalu untuk membantu Jonathan berubah, tetapi selalu gagal, sampai akhirnya ia putus asa. Namun, Sore pun menyadari cintanya yang dalam kepada Jonathan. Ia kembali mengulang waktu dengan cintanya kepada Jonathan. Akhirnya Sore pun menghilang dalam waktu, sebelum sempat menyelasikan misinya. 

Namun demikian, Jonathan pada akhirnya berubah, memulai hidup sehat, berhenti merokok dan minum minuman keras, justru ketika Sore tidak lagi kembali untuk mengubahnya. Ia berubah karena merasakan rindu akan seseorang yang tidak pernah ia temui. Ia merasakan kedalaman cinta dan pengurbanan yang mendorongnya untuk berubah. Ia berubah bukan karena ketakutan akan masa depan, melainkan karena merasa dicintai.


Saudara-saudari, iman Kristen bukanlah iman yang dilandasi ketakutan, melainkan cinta kasih. Pada hakikatnya, Allah tidak pernah meminta umat-Nya untuk taat karena ancaman hukuman dan neraka, tetapi dengan memberikan cinta-Nya yang besar, anugerah-Nya yang tak terbatas, sekalipun umat-Nya berkali-kali jatuh dalam kesalahan. Namun, sering kali umat Allah yang dicintai itu, tidak hanya takut akan ancaman hukuman kekal, tetapi juga hidup dalam ketakutan lain, yakni kekhawatiran akan masa depan, kecemasan akan materi dan pemenuhan kebutuhan hidup, serta ketakutan akan ancaman dari keadaan atau pihak lain. 


Abram yang dikenal sebagai bapa orang beriman ternyata pernah merasa takut dan khawatir karena ia merasa usianya sudah tidak memungkinkannya untuk memiliki keturunan. Oleh karena itu, ia memilih Eliezer, hambanya yang orang Damsyik itu, untuk menjadi ahli warisnya. Langkah yang diambil Abram ini menunjukkan bahwa kekhawatirannya akan masa depan. Dia takut kehilangan. Ia merasa janji Tuhan semakin pudar, lalu mencari rasa aman dengan kepastian yang ia buat. Namun, Allah tidak pernah melupakan janji-Nya. Saat Abram mengeluhkan kekhawatirannya, Allah berkata bahwa yang akan menjadi ahli waris Abram adalah anak kandungnya. Allah kemudian menjanjikan keturunan Abram akan sangat banyak seperti bintang di langit. Tindakan Allah ini memulihkan iman Abram yang sempat pudar. Meskipun ada risiko dan ketidakpastian pada masa depan, Abram berani untuk percaya kepada Allah dan janji-Nya. Ia berani melangkah karena dicintai.


Saudara-saudari, cinta kasih melampaui kekhawatiran akan masa depan, kecemasan akan makanan dan pakaian, juga ketakutan akan ancaman dari luar diri. Karena itulah, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, "Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu." Kerajaan apa yang Yesus maksud di sini? Pada ayat sebelumnya Ia mengatakan jangan khawatir akan apa yang kamu makan dan pakai, tetapi carilah dulu Kerjaaan Allah. Kerajaan Allah adalah cinta kasih yang melampaui apa yang keliahatan, damai sejahtera dan keadaan baik yang lebih daripada segala nilai di dunia. Kerajaan Allah itu sudah diberikan Allah. Kita diminta memeliharanya dengan mengumpulkan harta di surga, dalam pundi-pundi yang tidak akan musnah. Apa itu? Mengasihi orang-orang di sekitar, memberi kepada mereka yang lapar, berbagi kepada mereka yang membutuhkan, menyuerakan keadilan di tengah penindasan, mengupayakan perdamaian dalam kehidupan bersama. Kita sudah menerima Kerajaan Allah melalui cinta kasih dan damai sejahtera Allah. Kini kita perlu memeliharanya melalui tindakan cinta kasih kepada sesama. Cinta yang melampaui apa yang kelihatan.


Yesus menekankan soal apa yang paling utama dalam hidup kita; harta duniawi yang tampak atau harta surgawi yang tidak kelihatan? Maka, Ia pun mengajak kita untuk membebaskan diri dari ketakutan dan kekhawatiran, sebab iman yang didasarkan pada kekhawatian dan ketakuan akan materi adalah iman yang rapuh. Allah telah melimpahkan cinta kasih-Nya kepada kita. Ia tetap mengasihi kita sekalipun berkali-kali kita jatuh dalam kesalahan. Jonathan saja bisa berubah karena dicintai Sore. Apalagi kita yang dicintai Allah dengan cinta yang melimpah, yang jauh melampaui apa yang kelihatan. Karena Allah mencintai kita, kita tidak perlu takut dan khawatir akan masa depan atau cemas akan segala materi dan nilai-nilai dunia. Kita telah diterima dalam Kerajaan Cinta Allah. Kita pun perlu memelihara cinta Allah itu dalam pundi-pundi yang tidak akan musnah, yakni tindakan cinta dan sukacita yang kita bagikan, bela rasa dan kepedulian yang bagi yang terabaikan, keadilan dan damai sejahtera yang kita perjuangkan, kesetiaan dan tanggung jawab dalam kehidupan. (ThN)