Yesaya 58: 9b-14 ; Mazmur 103: 1-8 ; Ibrani 12:18-29 ; Lukas 13:10-17
Aturan atau tujuan ?
manakah yang lebih penting bagi anda ?
Tujuan menolong seseorang
untuk mencapai goals atau sesuatu yang hendak dikerjakan, diupayakan dan
dicapai. Baik secara individu maupun kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut,
aturan sangat diperlukan, yaitu untuk menolong seseorang atau kelompok dalam
menjaga kehidupan yang teratur, keadilan, dan hal-hal lain yang menolong sampai
pada tujuan. Maka tujuan dari dibentuknya aturan, haruslah berbicara tentang menolong
seseorang dan bukan untuk memberatkan atau mendiskriminasikan seseorang.
Yesaya sendiri memberikan
penjelasan mengenai aturan, terkhusus tentang hari sabat, yang merupakan salah
satu bagian penting dari aturan atau hukum yang berlangsung di Israel, yang penting
untuk dirayakan dan ditaati dengan tujuan untuk membantu umat dalam
melaksanakan hari sabat dengan baik. Dengan tujuan menolong inilah, maka muncul
aturan berupa tuntunan praktis tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh
dilakukan umat pada hari Sabat. Namun perlu kehati-hatian, sebab aturan yang
dihidupi dengan cukup lama ini membuat orang menjadi melupakan tujuan dari
aturan tersebut. Itulah yang terjadi pada masa Yesus, kita bisa meneukan
bagaimana penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dapat menjadi
gangguan bagi orang-orang saat itu, tekhusunya kepada rumah ibadat. Penyembuhan
yang dilakukan oleh Yesus dilihat sebagai hal yang tidak mendesak atau darurat
untuk dilakukan pada hari sabat. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan “Kenapa
harus sabat Yesus, kan masih bisa besok, masih ada waktu 6 hari lagi untuk
melakukan penyembuhan itu, kenapa harus melanggar aturan sih.”
Apa yang juga disampaikan
dalam Lukas 13:14 bukan hanya pengingat yang disampaikan kepada Yesus tentang
aturan sabat, melainkan peran kepala rumah ibadat yang sedang menjalankan
tugasnya. Meskipun nampak mentaati aturan, secara tidak sadar, kepada rumah
ibadat sedang terjebak pada pengagungan akan aturan dibandingkan karya kasih
Allah yang tengah dilakukan. Nyatanya pelaksanaan peraturan sabat dianggap
lebih penting daripada substansinya.
Hal-hal seperti inilah
yang seringkali terjadi dalam kehidupan bergereja dan menjadi salah penghambat
kehidupan bergereja. Ketika kita mementingkan untuk mempertahankan status quo
atau menolak perubahan. Leith Anderson dalam bukunya Dying for Change
mengatakan bahwa penghambat kemajuan gereja bersumber dari dua hal, yang
bersifat institusional dan personal. Salah satu penghambat yang bersifat
institusional adalah ketika gereja lebih mementingkan sistem dan aturan
ketimbang tujuan atau panggilan utama gereja untuk mewartakan kasih. Terkadang
gereja lebih mempertahankan sistem yang berpedoman kepada “apa yang biasanya
dilakukan”, rentan terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi
situasi yang khusus. Ini bukan berarti menandakan bahwa aturan dan sistem di
gereja tidak diperlukan, tentu bukan itu maksudnya. Sebab aturan atau sistem
diperlukan dan harusnya diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan,
yaitu mewartakan kasih, dan aturan adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Sayangnya, kecenderungan
semua institusi (termasuk gereja) adalah mempertahankan sistem, berpedoman pada
“apa yang biasanya dilakukan” sama seperti tipe orang-orang yang tidak mau ada
perubahan karena “bisanya begitu, memang dari dulu seperti itu”, rentan
terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi suatu situasi yang
khusus. Hal ini bukan berarti aturan atau sistem tidak perlu. Hal tersebut
tentu tetap diperlukan agar kehidupan bergereja dapat ditata dengan baik.
Namun, semestinya aturan dan sistem diperlakukan hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Tetap yang utama adalah tujuan, karena hal tersebut bersifat
prinsip atau esensial. Tujuan gereja adalah mewartakan kasih dan aturan adalah
alat untuk mencapai tujuan tersebut. Jangan sampai pewartaan kasih tersebut tidak
dapat dilakukan hanya karena aturan yang menghambat.
Mari mengingat kembali
kisah yang beberapa waktu ini terjadi, seorang anak berusia 3 tahun bernama Raya
yang meninggal karena tubuhnya digerogoti cacing, yang tidak hanya memenuhi
perutnya namun juga sudah sampai ke otak. Dibalik kondisi orang tua dan
sebagainya, pertolongan menjadi sangat sulit sebab Raya tidak memiliki
identitas untuk penerimaan BPJS, dan komunitas yang menolongnya hanya diberikan
waktu 3 hari untuk mengurus itu semua untuk Raya bisa menerima penanganan. Pihak-pihak
yang ada hanya menjalankan aturan yang berlaku, namun nyatanya aturan juga jadi
penghambat untuk menolong kondisi seorang anak yang sudah berada dalam kondisi
yang berat, dan akhirnya meninggal. Seolah pedang bermata dua, aturan yang
dibuat untuk menolong justru melukai.
Kembali kepada kisah penyembuhan
yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dalam pasal 13 bukanlah satu-satunya,
Lukas juga mencatat di pasal 4, dimana Yesus juga mengusir roh jahat dari tubuh
seseorang dan ini juga terjadi pada saat hari sabat, dirumah ibadat. Ketika
melakukan mujizat ini, diletakkan setelah Yesus melakukan penggenapan nubuatan
dari kitab nabi Yesaya dalam perjanjian Lama. Yesus menyinggung apa yang
disampaikan oelah Yesaya 61:1-2, Ia berkata bahwa Dialah utusan Allah yang di
datangkan ke dunia ini untuk mendatangkan pembebasan bagi mereka yang
tertindas. Maka kisah dalam Lukas pasal 4 menunjukkan tanda janji penggenapan
pembebasan yang sesungguhnya, yang Yesus akan lakukan dalam dunia ini, yaitu
pembebasan atas dosa, masalah utama yang mengikat kehidupan. Maka jika kita
kembali pada Lukas pasal 13, hal ini kembali mengingatkan kita kembali bahwa
janji penegasan itu semakin dekat. Namun terdapat satu perbedaan yang mencolok,
yaitu siapa yang Yesus sembuhkan.
Yesus menyembuhkan
seorang wanita, dimana secara tradisi Yahudi wanita ini tergolong sebagai golongan
kedua. Bisa kita katakan juga bahwa wanita tersebut terkena ‘kutukan ganda’,
secara budaya dianggap golongan kedua dan dalam kisah pasal 13 dikatakan bahwa
ia sakit, dirasuki roh jahat, sehingga semakin hina dan tidak mendapat
perhatian. Namun lihatlah apa yang dilakukan oleh Yesus, Ia justru melihat,
memanggil dan meletakkan tangan-Nya. Tiga kata kerja yang menggambarkan sebuah
pekerjaan yang dilakukan pada hari sabat yang harusnya tidak dilakukan. Ia juga
menyumbuhkan seorang yang mungkin sama sekali tidak diperhatikan oleh sekitar
saat itu. Bayangkan ia membungkuk selama 18 tahun, tak pernah memandang orang
lain dengan nyaman, orang lain pun tak mampu melihat wajahnya dengan baik,
bahkan menyentuhnya pun orang tak sudi. Tidak hanya fisik yang sakit, mental
pun sakit, terisolasi dan dihindari, merasakan kesendirian selama belasan
tahun.
Bagi Yesus, kasih harus
didahulukan dibandingkan aturan itu, tak masalah menyembuhkan perempuan itu dan
konsekuensinya. Yesus meresponi kemarahan kepala rumah ibadat dengan menjawab
pada acuan akan peraturan yang mereka sendiri untuk kepentingan mereka yaitu
peraturan agar ternak boleh dilepas dan dibawa ke tempat minum pada hari sabat.
Yesus sedang menegur kepala rumah ibadat dan para pemuka agama bahwa perempuan yang
bungkuk itu lebih penting dari binatang ternak mereka. Ia adalah keturunan
Abraham, yang artinya “sesama manusia” yang sedang “diikat” oleh roh yang
menyakitinya. Bukankah perempuan itu juga harus dilepaskan/dibebaskan (TB 1
Yesus menyembuhkan, TB2 Yesus melepaskan) dari ikatan itu ? Berfokuslah pada kemanusiaan
bukan aturan.
Apa yang disampaikan oleh
Yesaya 58:9b-14 juga mengingatkan kita bahwa praktik ibadat sebagai sebuah aksi
kemanusiaan jauh lebih penting daripada ibadat sebagai selebrasi atau ritual
keagamaan. Puasa dan sabat harusnya dihidupi bukan pada selebrasi namun pada
tujuan utama, mengatur kehidupan umat agar semakin berada dalam terang
kasih-Nya. Kehadiran Yesus yang menyembuhkan pada hari sabat saat itu pun menjadi
ruang bagi kita para pembaca dan pelaku firman masa kini untuk semakin
menyadari bahwa Injil Kerajaan Allah diberitakan Yesus adalah kabar baik yang
merangkul semua orang.
Panggilan untuk hadir
itulah yang juga harusnya melekat, dan masih melekat dalam diri gereja kita, GKI
di tengah kehidupan saat ini. Mengingat kembali akan kerinduan penyatuan GKI,
semangat bersatu dan hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa. Kita merayakan ulang tahun ke-37 GKI, momentum
yang baik bagi kita untuk hidup seperti apa yang dikatakan pemazmur dalam Mazmur
103, Tuhan seperti bapa yang baik, yang panjang sabar, penuh pengertian, dan
tidak memperlakukan anak-anakNya setimpal dengan dosa-dosanya. Kita dan gereja
perlu menghidupi nilai-nilai karaktek Allah, tidak memandang status, siapa dan
apa latar belakang seseorang. Tidak juga membedekan dan meniadakan orang-orang
yang membutuhkan rangkulan seperti perempuan yang bungkuk dan kerasukan
tersebut. Sebab sebagai bagian dari GKI dan identitas sebagai pengikut Kristus,
kita diajak untuk mampu ‘menjadi manusia’, itu berarti mampu ‘memanusiakan’
yang lain, begitu pula gereja yang hadir untuk ‘memanusiakan’ satu dengan yang
lain dengan rasa hormat, welas asih, dan siap untuk merangkul.