Jumat, 22 Agustus 2025

GEREJA YANG MEMANUSIAKAN MANUSIA

Yesaya 58: 9b-14 ; Mazmur 103: 1-8 ; Ibrani 12:18-29 ; Lukas 13:10-17


Aturan atau tujuan ? manakah yang lebih penting bagi anda ?

Tujuan menolong seseorang untuk mencapai goals atau sesuatu yang hendak dikerjakan, diupayakan dan dicapai. Baik secara individu maupun kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut, aturan sangat diperlukan, yaitu untuk menolong seseorang atau kelompok dalam menjaga kehidupan yang teratur, keadilan, dan hal-hal lain yang menolong sampai pada tujuan. Maka tujuan dari dibentuknya aturan, haruslah berbicara tentang menolong seseorang dan bukan untuk memberatkan atau mendiskriminasikan seseorang.

Yesaya sendiri memberikan penjelasan mengenai aturan, terkhusus tentang hari sabat, yang merupakan salah satu bagian penting dari aturan atau hukum yang berlangsung di Israel, yang penting untuk dirayakan dan ditaati dengan tujuan untuk membantu umat dalam melaksanakan hari sabat dengan baik. Dengan tujuan menolong inilah, maka muncul aturan berupa tuntunan praktis tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan umat pada hari Sabat. Namun perlu kehati-hatian, sebab aturan yang dihidupi dengan cukup lama ini membuat orang menjadi melupakan tujuan dari aturan tersebut. Itulah yang terjadi pada masa Yesus, kita bisa meneukan bagaimana penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dapat menjadi gangguan bagi orang-orang saat itu, tekhusunya kepada rumah ibadat. Penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus dilihat sebagai hal yang tidak mendesak atau darurat untuk dilakukan pada hari sabat. Dengan bahasa sederhana dapat dikatakan “Kenapa harus sabat Yesus, kan masih bisa besok, masih ada waktu 6 hari lagi untuk melakukan penyembuhan itu, kenapa harus melanggar aturan sih.”

Apa yang juga disampaikan dalam Lukas 13:14 bukan hanya pengingat yang disampaikan kepada Yesus tentang aturan sabat, melainkan peran kepala rumah ibadat yang sedang menjalankan tugasnya. Meskipun nampak mentaati aturan, secara tidak sadar, kepada rumah ibadat sedang terjebak pada pengagungan akan aturan dibandingkan karya kasih Allah yang tengah dilakukan. Nyatanya pelaksanaan peraturan sabat dianggap lebih penting daripada substansinya.

Hal-hal seperti inilah yang seringkali terjadi dalam kehidupan bergereja dan menjadi salah penghambat kehidupan bergereja. Ketika kita mementingkan untuk mempertahankan status quo atau menolak perubahan. Leith Anderson dalam bukunya Dying for Change mengatakan bahwa penghambat kemajuan gereja bersumber dari dua hal, yang bersifat institusional dan personal. Salah satu penghambat yang bersifat institusional adalah ketika gereja lebih mementingkan sistem dan aturan ketimbang tujuan atau panggilan utama gereja untuk mewartakan kasih. Terkadang gereja lebih mempertahankan sistem yang berpedoman kepada “apa yang biasanya dilakukan”, rentan terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi situasi yang khusus. Ini bukan berarti menandakan bahwa aturan dan sistem di gereja tidak diperlukan, tentu bukan itu maksudnya. Sebab aturan atau sistem diperlukan dan harusnya diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan, yaitu mewartakan kasih, dan aturan adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Sayangnya, kecenderungan semua institusi (termasuk gereja) adalah mempertahankan sistem, berpedoman pada “apa yang biasanya dilakukan” sama seperti tipe orang-orang yang tidak mau ada perubahan karena “bisanya begitu, memang dari dulu seperti itu”, rentan terhadap perubahan, dan kurang luwes ketika menghadapi suatu situasi yang khusus. Hal ini bukan berarti aturan atau sistem tidak perlu. Hal tersebut tentu tetap diperlukan agar kehidupan bergereja dapat ditata dengan baik. Namun, semestinya aturan dan sistem diperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tetap yang utama adalah tujuan, karena hal tersebut bersifat prinsip atau esensial. Tujuan gereja adalah mewartakan kasih dan aturan adalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Jangan sampai pewartaan kasih tersebut tidak dapat dilakukan hanya karena aturan yang menghambat.

Mari mengingat kembali kisah yang beberapa waktu ini terjadi, seorang anak berusia 3 tahun bernama Raya yang meninggal karena tubuhnya digerogoti cacing, yang tidak hanya memenuhi perutnya namun juga sudah sampai ke otak. Dibalik kondisi orang tua dan sebagainya, pertolongan menjadi sangat sulit sebab Raya tidak memiliki identitas untuk penerimaan BPJS, dan komunitas yang menolongnya hanya diberikan waktu 3 hari untuk mengurus itu semua untuk Raya bisa menerima penanganan. Pihak-pihak yang ada hanya menjalankan aturan yang berlaku, namun nyatanya aturan juga jadi penghambat untuk menolong kondisi seorang anak yang sudah berada dalam kondisi yang berat, dan akhirnya meninggal. Seolah pedang bermata dua, aturan yang dibuat untuk menolong justru melukai.

Kembali kepada kisah penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus pada hari sabat dalam pasal 13 bukanlah satu-satunya, Lukas juga mencatat di pasal 4, dimana Yesus juga mengusir roh jahat dari tubuh seseorang dan ini juga terjadi pada saat hari sabat, dirumah ibadat. Ketika melakukan mujizat ini, diletakkan setelah Yesus melakukan penggenapan nubuatan dari kitab nabi Yesaya dalam perjanjian Lama. Yesus menyinggung apa yang disampaikan oelah Yesaya 61:1-2, Ia berkata bahwa Dialah utusan Allah yang di datangkan ke dunia ini untuk mendatangkan pembebasan bagi mereka yang tertindas. Maka kisah dalam Lukas pasal 4 menunjukkan tanda janji penggenapan pembebasan yang sesungguhnya, yang Yesus akan lakukan dalam dunia ini, yaitu pembebasan atas dosa, masalah utama yang mengikat kehidupan. Maka jika kita kembali pada Lukas pasal 13, hal ini kembali mengingatkan kita kembali bahwa janji penegasan itu semakin dekat. Namun terdapat satu perbedaan yang mencolok, yaitu siapa yang Yesus sembuhkan.

Yesus menyembuhkan seorang wanita, dimana secara tradisi Yahudi wanita ini tergolong sebagai golongan kedua. Bisa kita katakan juga bahwa wanita tersebut terkena ‘kutukan ganda’, secara budaya dianggap golongan kedua dan dalam kisah pasal 13 dikatakan bahwa ia sakit, dirasuki roh jahat, sehingga semakin hina dan tidak mendapat perhatian. Namun lihatlah apa yang dilakukan oleh Yesus, Ia justru melihat, memanggil dan meletakkan tangan-Nya. Tiga kata kerja yang menggambarkan sebuah pekerjaan yang dilakukan pada hari sabat yang harusnya tidak dilakukan. Ia juga menyumbuhkan seorang yang mungkin sama sekali tidak diperhatikan oleh sekitar saat itu. Bayangkan ia membungkuk selama 18 tahun, tak pernah memandang orang lain dengan nyaman, orang lain pun tak mampu melihat wajahnya dengan baik, bahkan menyentuhnya pun orang tak sudi. Tidak hanya fisik yang sakit, mental pun sakit, terisolasi dan dihindari, merasakan kesendirian selama belasan tahun.

Bagi Yesus, kasih harus didahulukan dibandingkan aturan itu, tak masalah menyembuhkan perempuan itu dan konsekuensinya. Yesus meresponi kemarahan kepala rumah ibadat dengan menjawab pada acuan akan peraturan yang mereka sendiri untuk kepentingan mereka yaitu peraturan agar ternak boleh dilepas dan dibawa ke tempat minum pada hari sabat. Yesus sedang menegur kepala rumah ibadat dan para pemuka agama bahwa perempuan yang bungkuk itu lebih penting dari binatang ternak mereka. Ia adalah keturunan Abraham, yang artinya “sesama manusia” yang sedang “diikat” oleh roh yang menyakitinya. Bukankah perempuan itu juga harus dilepaskan/dibebaskan (TB 1 Yesus menyembuhkan, TB2 Yesus melepaskan) dari ikatan itu ? Berfokuslah pada kemanusiaan bukan aturan.

Apa yang disampaikan oleh Yesaya 58:9b-14 juga mengingatkan kita bahwa praktik ibadat sebagai sebuah aksi kemanusiaan jauh lebih penting daripada ibadat sebagai selebrasi atau ritual keagamaan. Puasa dan sabat harusnya dihidupi bukan pada selebrasi namun pada tujuan utama, mengatur kehidupan umat agar semakin berada dalam terang kasih-Nya. Kehadiran Yesus yang menyembuhkan pada hari sabat saat itu pun menjadi ruang bagi kita para pembaca dan pelaku firman masa kini untuk semakin menyadari bahwa Injil Kerajaan Allah diberitakan Yesus adalah kabar baik yang merangkul semua orang.

Panggilan untuk hadir itulah yang juga harusnya melekat, dan masih melekat dalam diri gereja kita, GKI di tengah kehidupan saat ini. Mengingat kembali akan kerinduan penyatuan GKI, semangat bersatu dan hadir di tengah-tengah kehidupan bangsa.  Kita merayakan ulang tahun ke-37 GKI, momentum yang baik bagi kita untuk hidup seperti apa yang dikatakan pemazmur dalam Mazmur 103, Tuhan seperti bapa yang baik, yang panjang sabar, penuh pengertian, dan tidak memperlakukan anak-anakNya setimpal dengan dosa-dosanya. Kita dan gereja perlu menghidupi nilai-nilai karaktek Allah, tidak memandang status, siapa dan apa latar belakang seseorang. Tidak juga membedekan dan meniadakan orang-orang yang membutuhkan rangkulan seperti perempuan yang bungkuk dan kerasukan tersebut. Sebab sebagai bagian dari GKI dan identitas sebagai pengikut Kristus, kita diajak untuk mampu ‘menjadi manusia’, itu berarti mampu ‘memanusiakan’ yang lain, begitu pula gereja yang hadir untuk ‘memanusiakan’ satu dengan yang lain dengan rasa hormat, welas asih, dan siap untuk merangkul.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar