Minggu Biasa
Amsal 25:6-7 | Mazmur 112 | Ibrani 13:1-8, 15-16 | Lukas 14:1, 7-14
Kalau kerendahan hati hanya diukur dari pemilihan tempat duduk yang jauh dari mimbar, maka kita perlu berbahagia sebab (hampir semua) umat yang datang beribadah di GKI tidak langsung memilih kursi bagian depan, melainkan memilih kursi di tengah sampai ke belakang. Sungguh betapa rendah hatinya orang-orang yang beribadah di GKI ini. Sayangnya kerendahan hati tidak sesempit itu. Yesus memang memberikan sebuah perumpamaan mengenai orang yang diundang dalam pesta perkawinan untuk tidak duduk di tempat kehormatan, melainkan untuk duduk di tempat yang paling rendah (Luk. 14:7-10), namun maknanya tidak sesederhana itu. Kalau begitu kerendahan hati seperti apa yang mau diajarkan oleh Yesus?
Bagi mereka yang diundang, kerendahan hati berbicara mengenai sikap seseorang yang tahu diri. Yesus memberikan alasan mengapa seseorang yang diundang di pesta perkawinan jangan memilih tempat yang terhormat, yakni supaya orang itu tidak mendapatkan malu kalau-kalau tempat yang terhormat itu ternyata bukan untuk dirinya melainkan untuk orang lain. Lebih dari itu, saat tuan rumah datang dan melihat yang diundang memilih tempat yang paling rendah, saat itulah tuan rumah mempersilahkan yang diundang untuk duduk di tempat yang terhormat. Dengan demikian, perkataan Yesus yang mengatakan, “siapa yang meninggikan diri akan direndahkan dan siapa yang merendahkan diri, akan ditinggikan” mau menegaskan bahwa kemuliaan sejati tidak datang dari validasi diri, melainkan pemberian sang Ilahi, dan itu dimulai dari sikap rendah hati.
Pesan ini juga nampak kuat dalam Bacaan I: Amsal 25:6-7. Dengan nada yang sama, sang penulis mengatakan, “Jangan berlagak di hadapan raja, atau berdiri di tempat para pembesar. Karena lebih baik orang berkata kepadamu, naiklah kesini,” dari pada engkau direndahkan di hadapan orang mulia.” Lagi-lagi, bukan validasi diri yang diutamakan, tapi sikap tahu diri. Tengoklah para pejabat (bukan di Indonesia) yang melakukan segala cara (baca: menjilat) untuk mendapatkan kemuliaan. Bukan kerendahan hati yang ditunjukkan melainkan sandiwara berbalut kepentingan diri supaya mendapatkan posisi dan kursi, supaya bisa meraup kekayaan sekaligus mendapat penghargaan. Bukankah sikap semacam ini banyak ditunjukkan oleh pejabat di negara Indonesia, eh salah, maksudnya pejabat agama Yahudi di zaman Yesus? Tidak sedikit dari mereka yang mempertontonkan kesalehan palsu (memakai outfit keagamaan, bersedakah, berdoa dan berpuasa) supaya dilihat banyak orang. Itu sikap tidak tahu diri!
Kerendahan hati juga bicara soal sikap seseorang yang memberi ruang bagi yang lain untuk merasakan perjumpaan dengan Allah. Bisa jadi ketika Yesus mengatakan untuk duduk di tempat yang paling rendah (baca: jauh) mau mengingatkan kita supaya jangan jadi penghalang bagi orang lain untuk datang kepada Sang Tuan. Dengan kata lain, kerendahan hati yang kita hidupi merupakan jembatan untuk orang lain mengecap kasih Tuhan. Jadi kasih Tuhan bukan ditunjukkan dari kekuasaan atau kekayaan yang dimiliki, melainkan dari sikap kerendahan hati. Disitulah muncul kemuliaan sejati.
Terakhir, kerendahan hati adalah sikap yang tak menuntut balas. Yesus memberi pesan kepada yang mengundang supaya jangan mengundang para sahabat, kerabat keluarga, atau para tetangga yang kaya, melainkan undanglah mereka yang miskin, yang sakit, yang berbeban berat (Luk. 14:12-14). Mengundang orang yang dekat apalagi mereka yang “berpunya” hanya akan mendatangkan balasan yang sama. Akan tetapi, lain cerita ketika yang diundang adalah mereka yang tak bisa membalas budi. Dengan demikian sikap rendah hati adalah sikap yang melayani tanpa pamrih. Ia tidak lagi berpusat kepada kepentingan pribadi, melainkan mengutamakan orang lain. Semangat itu jugalah yang digaungkan dalam bacaan II: Ibrani 13:16, soal bagaimana umat diajak untuk tidak lalai dalam berbuat baik dan memberi bantuan kepada sesama. Pada titik ini, orang yang rendah hati adalah mereka yang mau memberi secara totalitas bukan melindas sesama yang tak mampu membalas! Itulah kemulian yang sejati.
Sekarang, camkanlah baik-baik, bahwa ketika kita memilih duduk di bangku paling jauh dari mimbar, itu tidak akan pernah cukup membuat kita menjadi pribadi yang rendah hati kalau kita tidak tahu diri, menjadi penghalang bagi yang lain, dan masih mengharapkan pamrih. Mari jadi pribadi yang rendah hati untuk mencintai dan melayani, bukan rendah hati yang meninggi. Kiranya Tuhan menolong. (Feeg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar