MENJEMBATANI
KEKAYAAN DAN KEMISKINAN
Minggu
Biasa XXVI
Amos
6:1a,4-7; Mazmur 146; 1 Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31
Sudah Gak Zamannya Lagi…
Kalau ditanya tentang kondisi kaya dan miskin sekarang,
nampaknya sudah tidak zamannya lagi bahwa yang “kaya semakin kaya dan yang
miskin semakin miskin”. Mungkin masih benar pernyataan itu. Akan tetapi, jangan
kita lupakan bahwa kondisi sekarang lebih sering menunjukkan “yang kaya belajar
sederhana, yang miskin bergaya menjadi kaya”. Hal itu bisa dibuktikan dengan
tingginya kasus-kasus pinjaman, baik secara daring atau juga secara langsung,
yang kemudian mengarah bukan pada kebutuhan hidup tetapi pada gaya hidup.
Jembatan yang tadinya mudah untuk mempertemukan
pemahaman antara kekayaan dan kemiskinan, sekarang ini menjadi lebih rumit
karena ada kemungkinan-kemungkinan gaya hidup yang sedemikian rupa, yang sering
membuat banyak orang kemudian menaruh ukuran keberhasilan hidupnya pada kekayaan.
Kekayaan dan Kemiskinan di
Zaman Yesus Melayani
Saat Yesus mengajarkan tentang arti menjadi kaya dan
miskin, orang-orang kala itu sedang berhadapan dengan kehidupan orang-orang
kaya yang hidupnya dipenuhi kemewahan yang kelihatan. Orang yang kaya mendorong
dirinya (termasuk golongannya) untuk menampilkan kekayaan mereka. Mereka juga
tidak mau bergaul dengan orang-orang yang dianggap miskin. Sedangkan, mereka
yang miskin terus ditindas, semakin tidak mendapatkan apa-apa bahkan
benar-benar tidak dipedulikan sampai mengalami sakit yang luar biasa. Tidak
jarang mereka menjadikan aktivitas mengemis sebagai aktivitas paling akhir
karena sudah tidak ada lagi daya dan upaya yang dapat dilakukan.
Yesus hadir di tengah-tengah kondisi ini untuk menjembatani
persoalan relasi yang sering muncul akibat masyarakat yang terbiasa untuk
menggolongkan diri mereka menjadi yang kaya dan yang miskin. Pengajaran ini
juga yang ditekankan oleh Yesus. Jika selama ini kita juga masih sering
membeda-bedakan orang karena kaya dan miskin, kita ditegur karena kita turut
ambil bagian dalam perpecahan ini.
Jadi, bagaimana agar jembatan itu dapat terbangun
dengan kokoh, mantap, dan tidak goyah, sehingga relasi terus berjalan dengan
baik dan lancar?
#1 Waspada “Titik Rawan
Bahaya”!
Untuk hidup dalam relasi yang tidak membeda-bedakan,
apalagi status kaya dan miskin, kita perlu melihat bahwa Tuhan harus menjadi
dasar dalam relasi kita, sehingga apa pun persoalannya, dapat kita diskusikan
dan menemukan jalan-Nya. Uang bukanlah segalanya. Ada relasi antara Tuhan,
kita, dan sesama yang jauh lebih bernilai dibandingkan harta kekayaan.
Amos 6:1a,4-7 menegur setiap orang yang nyaman dalam
kemewahan. Mazmur 146 menunjukkan contoh bahawa hidup orang percaya hanya untuk
memuliakan Tuhan dan bukan yang lainnya. 1 Timotius 6:6-19 mengajarkan untuk waspada
terhadap ajakan mengikuti ajaran lain dan tidak menuruti perkataan sehat. Yesus
sendiri dalam Lukas pasal 16 ini menegaskan ada “titik rawan bahaya” ketika
seseorang merasa lebih kaya daripada yang lainnya sehingga orang kaya itu tidak
memberikan perhatiannya kepada Lazarus, padahal Lazarus ada di dekat pintu
rumah orang kaya itu.
Kewaspadaan kita terhadap “titik rawan bahaya”,
yaitu mudahnya bagi kita mengukur kekayaan dan kemiskinan kita dan orang lain
akan membuat kita terpecah-belah dan tidak algi peduli dengan hidup orang lain.
Zaman sekarang, kita mudah untuk menemukan kata-kata
motivasi yang membuat kita tidak terjebak dalam situasi keuangan, seperti “uang
bukanlah segalanya”, “kita perlu harta, tapi harta tidak menentukan segalanya”,
serta lainnya yang mungkin kita temukan. Namun, cobalah untuk merenungkan
dengan baik dan bijak, agar kita tidak salah arah dalam mensyukuri semua
pemberian Tuhan. Kita belajar untuk memberi perhatian kepada orang lain, sebab
sejak awal Tuhan sendiri yang juga sudah memerhatikan kehidupan kita semua.
#2 Bangun Relasi dalam
Iman dan Pengalaman
Pada akhirnya, Yesus mengarakan bahwa pegangan hidup
pada iman turun-temurun kepada Allah sejak zaman Musa memampukan setiap orang
untuk tiba pada satu jembatan, yaitu iman dan pengalaman. Iman sudah
mengajarkan kita untuk percaya. Pengalaman menjadi ruang untuk membuktikannya.
Marilah kita tidak lagi menilai orang dari harta
miliknya, penampilannya, atau gaya hidupnya. Namun, kenalilah mereka dari isi
hatinya. Sebab, kita diperjumpakan dengan orang lain bukan untuk bersaing,
melainkan untuk saling mengasihi dan juga menegur jika ada yang harus kita
perbaiki bersama. Marilah belajar untuk membangun jembatan itu: Jangan ragu
untuk menurunkan gaya hidup! Jangan takut untuk mengatur semua pemberian Tuhan,
untuk kita, keluarga, atau orang lain, agar kita dimampukan juga menggunakan
kesempatan ini sebagai sebuah karya pelayanan.
Semuanya Dilanjutkan oleh
Kita
Yesus sudah mengajarkannya kepada kita. Sekarang
giliran kita untuk melanjutkannya. Kita terus diajak untuk menggumulkan karya
Tuhan, termasuk melalui harta benda yang kita miliki. Tuhan selalu yang utama
dalam segalanya. (RA)