Jumat, 26 September 2025

MENJEMBATANI KEKAYAAN DAN KEMISKINAN

 

MENJEMBATANI KEKAYAAN DAN KEMISKINAN

Minggu Biasa XXVI

Amos 6:1a,4-7; Mazmur 146; 1 Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31

 

Sudah Gak Zamannya Lagi…

Kalau ditanya tentang kondisi kaya dan miskin sekarang, nampaknya sudah tidak zamannya lagi bahwa yang “kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin”. Mungkin masih benar pernyataan itu. Akan tetapi, jangan kita lupakan bahwa kondisi sekarang lebih sering menunjukkan “yang kaya belajar sederhana, yang miskin bergaya menjadi kaya”. Hal itu bisa dibuktikan dengan tingginya kasus-kasus pinjaman, baik secara daring atau juga secara langsung, yang kemudian mengarah bukan pada kebutuhan hidup tetapi pada gaya hidup.

 

Jembatan yang tadinya mudah untuk mempertemukan pemahaman antara kekayaan dan kemiskinan, sekarang ini menjadi lebih rumit karena ada kemungkinan-kemungkinan gaya hidup yang sedemikian rupa, yang sering membuat banyak orang kemudian menaruh ukuran keberhasilan hidupnya pada kekayaan.

 

Kekayaan dan Kemiskinan di Zaman Yesus Melayani

Saat Yesus mengajarkan tentang arti menjadi kaya dan miskin, orang-orang kala itu sedang berhadapan dengan kehidupan orang-orang kaya yang hidupnya dipenuhi kemewahan yang kelihatan. Orang yang kaya mendorong dirinya (termasuk golongannya) untuk menampilkan kekayaan mereka. Mereka juga tidak mau bergaul dengan orang-orang yang dianggap miskin. Sedangkan, mereka yang miskin terus ditindas, semakin tidak mendapatkan apa-apa bahkan benar-benar tidak dipedulikan sampai mengalami sakit yang luar biasa. Tidak jarang mereka menjadikan aktivitas mengemis sebagai aktivitas paling akhir karena sudah tidak ada lagi daya dan upaya yang dapat dilakukan.

 

Yesus hadir di tengah-tengah kondisi ini untuk menjembatani persoalan relasi yang sering muncul akibat masyarakat yang terbiasa untuk menggolongkan diri mereka menjadi yang kaya dan yang miskin. Pengajaran ini juga yang ditekankan oleh Yesus. Jika selama ini kita juga masih sering membeda-bedakan orang karena kaya dan miskin, kita ditegur karena kita turut ambil bagian dalam perpecahan ini.

 

Jadi, bagaimana agar jembatan itu dapat terbangun dengan kokoh, mantap, dan tidak goyah, sehingga relasi terus berjalan dengan baik dan lancar?

 

#1 Waspada “Titik Rawan Bahaya”!

Untuk hidup dalam relasi yang tidak membeda-bedakan, apalagi status kaya dan miskin, kita perlu melihat bahwa Tuhan harus menjadi dasar dalam relasi kita, sehingga apa pun persoalannya, dapat kita diskusikan dan menemukan jalan-Nya. Uang bukanlah segalanya. Ada relasi antara Tuhan, kita, dan sesama yang jauh lebih bernilai dibandingkan harta kekayaan.

 

Amos 6:1a,4-7 menegur setiap orang yang nyaman dalam kemewahan. Mazmur 146 menunjukkan contoh bahawa hidup orang percaya hanya untuk memuliakan Tuhan dan bukan yang lainnya. 1 Timotius 6:6-19 mengajarkan untuk waspada terhadap ajakan mengikuti ajaran lain dan tidak menuruti perkataan sehat. Yesus sendiri dalam Lukas pasal 16 ini menegaskan ada “titik rawan bahaya” ketika seseorang merasa lebih kaya daripada yang lainnya sehingga orang kaya itu tidak memberikan perhatiannya kepada Lazarus, padahal Lazarus ada di dekat pintu rumah orang kaya itu.

 

Kewaspadaan kita terhadap “titik rawan bahaya”, yaitu mudahnya bagi kita mengukur kekayaan dan kemiskinan kita dan orang lain akan membuat kita terpecah-belah dan tidak algi peduli dengan hidup orang lain.

 

Zaman sekarang, kita mudah untuk menemukan kata-kata motivasi yang membuat kita tidak terjebak dalam situasi keuangan, seperti “uang bukanlah segalanya”, “kita perlu harta, tapi harta tidak menentukan segalanya”, serta lainnya yang mungkin kita temukan. Namun, cobalah untuk merenungkan dengan baik dan bijak, agar kita tidak salah arah dalam mensyukuri semua pemberian Tuhan. Kita belajar untuk memberi perhatian kepada orang lain, sebab sejak awal Tuhan sendiri yang juga sudah memerhatikan kehidupan kita semua.

 

#2 Bangun Relasi dalam Iman dan Pengalaman

Pada akhirnya, Yesus mengarakan bahwa pegangan hidup pada iman turun-temurun kepada Allah sejak zaman Musa memampukan setiap orang untuk tiba pada satu jembatan, yaitu iman dan pengalaman. Iman sudah mengajarkan kita untuk percaya. Pengalaman menjadi ruang untuk membuktikannya.

 

Marilah kita tidak lagi menilai orang dari harta miliknya, penampilannya, atau gaya hidupnya. Namun, kenalilah mereka dari isi hatinya. Sebab, kita diperjumpakan dengan orang lain bukan untuk bersaing, melainkan untuk saling mengasihi dan juga menegur jika ada yang harus kita perbaiki bersama. Marilah belajar untuk membangun jembatan itu: Jangan ragu untuk menurunkan gaya hidup! Jangan takut untuk mengatur semua pemberian Tuhan, untuk kita, keluarga, atau orang lain, agar kita dimampukan juga menggunakan kesempatan ini sebagai sebuah karya pelayanan.

 

Semuanya Dilanjutkan oleh Kita

Yesus sudah mengajarkannya kepada kita. Sekarang giliran kita untuk melanjutkannya. Kita terus diajak untuk menggumulkan karya Tuhan, termasuk melalui harta benda yang kita miliki. Tuhan selalu yang utama dalam segalanya. (RA)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar