Jumat, 03 Mei 2019

Perjumpaan yang Memulihkan


Minggu Paska III
| Kis 9:1-20 | Mzm 30 | Wah 5:11-14 | Yoh 21:1-19 |

Salah satu tren yang ada di kalangan masyarakat adalah reuni. Sensasi dalam perjumpaan itu seringkali menjadi penyegar di tengah kepenatan hidup sehari-hari. Bernostalgi dengan kawan lama, mempercakapannya dalam lensa yang lebih luas menimbulkan sensasi yang menyenangkan dan haru.

Begitu pula Yesus yang ‘bereuni’ dengan para murid setelah bangkitanNya. Tentu perjumpaan Yesus bersama murid-murid punya kesan yang mendalam.  Yesus terus menunjukkan tanda-tanda dan menampakkan diri kepada para murid selama 40 hari sebelum naik ke sorga. Salah satunya penampakan Yesus kepada Simon Petrus. Kisah ini adalah satu dari serangkaian penampakan Yesus pada murid-muridNya, dan bisa dibilang kisah ini yang cukup ikonik. Perjumpaan Yesus dan Petrus inilah yang menjadi pusat refleksi Minggu Paska III kali ini.
Sebagai kisah yang populer, perikop ini seperti sudah punya pakem tersendiri untuk ditafsirkan. Pola percakapan Agape-Filia menjadi dinamika percakapan Yesus dan Petrus.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (agape) Aku lebih dari pada mereka ini?
Simon   : Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi  (filia)  Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.

Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (agape) Aku?
Simon   : Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi  (filia)  Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.

Yesus    : Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi (filia) Aku?
Simon   : Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi (filia) Engkau.
Yesus    : Gembalakanlah domba-dombaku.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Andres Nygren (Agape and Eros, 1930), teolog Swedia ini menjadi pencetus adanya hirarki kasih dan berpengaruh pada kekristenan. Agape sebagai kasih tertinggi, diikuti Filia dan Eros. Dengan kerangka berpikir milik Nygren, dialog antara Yesus dan Petrus akhirnya ditafsirkan sebagai diturunkannya standar Kasih oleh Yesus karena Petrus tidak akan bisa mencintai Allah dengan baik (tanpa syarat). Padahal tidak demikian. Agape adalah kata cinta dalam PB yang bersifat umum. Dalam Yohanes 3:19 ‘menyukai kegelapan’. Kata ‘menyukai’ berasal dari kata agape. Dalam Matius 23:6, ‘suka duduk di tempat terhormat’, dan kata ‘suka’ di sini berasal dari kata agape. Tapi justru filia, kasih yang tidak sebesar agape menurut Nygers, menunjukkan hal menarik. Yesus pernah berkata dalam Yoh 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. ‘Kasih’ ini bukan agape, tapi filiaFilia digunakan Yesus untuk menjelaskan seseorang yang begitu mencintai sahabat hingga mau memberikan nyawanya. Atas hal ini, kita bisa melihat percakapan Yesus dan Petrus dalam perikop ini dengan cara yang lebih hangat. Bukan Yesus yang menurunkan standar kasih, tapi justru Petrus yang mendesak Yesus untuk menggunakan filia bukan agape. Seakan-akan Petrus berkata, “jangankan agape, aku bisa filia kepada-Mu”. Setelah itu Yesus menanyai Petrus kedua kalinya dengan cara yang sama (agape-filia). Baru yang ketiga, Yesus meladeni tantangan Petrus dan mengonfirmasi hatinya. Yesus hafal betul sifat spontan murid-Nya. Baru ketika Yesus menggunakan kata filia dalam pertanyaan ketiganya, Petrus merasa sedih hatinya. Hal ini mengingatkannya pada peristiwa penyangkalan kepada Yesus sebanyak tiga kali. Dan tentu bukan sengaja, Yesus selalu memanggil Petrus dengan nama Simon, seakan ingin mengajaknya pergi ke masa lalu dan merenungkan peristiwa yang pernah terjadi. Bukan hanya penyangkalan, Petrus pernah berkata kepada Yesus  bahwa dia mau memberikan nyawanya pada Yesus (Yoh 13:37). Pertanyaan Yesus kepada Petrus seakan ingin merestorasinya.
Perjumpaan Yesus dan Petrus, sebenarnya bukan dalam perjumpaan fisik keduanya, namun momen ketika Yesus bertanya untuk ketiga kalinya. Saya membayangkan, ada memori yang terputar dalam benak Petrus. Seakan-akan dunia Petrus di-pause sementara. Yesus mengajaknya untuk pergi pada rasa sakit dan penyesalannya. Bukan untuk menghapus memori itu, tapi agar Petrus mampu menerima keutuhan dirinya dan bisa berubah. Dia menjawab Yesus untuk ketiga kalinya, bukan dengan spontan, namun dengan sebuah perenungan yang amat mendalam. KJV menggunakan kata ‘sedih’ yang dirasakan Petrus dengan kata ‘grieve’, bukan ‘sad’. Robin Dee Post, Ph. D, seorang psikolog klinis membedakan ‘sad’ dan ‘grieve’. ‘grieve’ memiliki dimensi kesedihan yang mendalam bahkan bisa menuju depresi. Kesedihan itulah yang dialami Petrus. Malu dan sesal yang dideritanya selama ini, justru Yesus mengajaknya untuk merengkuhnya sebagai keutuhan dirinya. Memulihkan dalam perenungannya sendiri. Ia bahkan berani mengasihi Yesus dengan filia kepada Yesus dengan kesungguhan hati.
Bukan berhenti di situ. Cara Yesus mematangkan Petrus bukan dalam jawaban Petrus, tapi jawaban Yesus yang selalu mengatakan ‘gembalakanlah domba-dombaKu’. Bayangkan, filia yang punya dimensi kasih yang mau memberi nyawa bagi sahabatnya, malah disuruh menggembalakan domba. Ini adalah plot twist yang Yesus hadirkan, dan pasti Petrus merasa sangat aneh sekali dalam dirinya. Dia siap memberi diri seutuhnya, tapi justru malah diminta menggembalakan domba. Yesus membalik pemahaman Petrus tentang memberikan nyawa. Mungkin Petrus sudah membayangkan kematian seperti Yesus atau mungkin bisa lebih kejam yang akan ditemuinya. Sebuah peristiwa heroik akan segala ditempuhnya sebagai bentuk cinta. Tapi, malah diminta mengembalakan domba. Bukan heroik dan terkenal, jutsru jadi pekerja yang tidak dianggap oleh siapapun, bahkan direndahkan. Bukan untuk menderita dan segera mati dalam waktu dekat, tapi malah menggembala setiap hari. Setiap hari! Bukan kemuliaan yang diurus, tapi domba dan segala kotorannya. What?!
Pemulihan yang ada bukan hanya berupa rasa yang berubah, penyesalan dan kesedihan (grieve) berubah jadi rasa cinta yang mengharukan. Tapi kesempatan untuk melaksanakan cintanya kepada Yesus. Di sinilah, Yesus membuat cinta itu tidak berada di tataran ucapan dan rasa, tapi tindakan nyata.

FTP

*tafsiran biblis diambil dari Dian Penuntun Edisi 27, ditulis oleh Pdt. Theodorus W. Noya (GKI Rungkut Asri Surabaya)
.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar