Jumat, 17 Mei 2019

Mencinta Tanpa Batas


| Minggu Paska V |

| Kisah Para Rasul 11:1-18 | Mazmur 148 | Wahyu 21:1-6 | Yohanes 13:31-35 |



sumber: nakedpastor

David Hayward, pastor dan seniman berkebangsaan Amerika Serikat, pernah menggambar sebuah kartun yang memperlihatkan Yesus berbincang-bincang dengan beberapa pemuka agama. Di situ Yesus berkata kepada mereka, “The difference between me and you is you use scripture to determine what love means and I use love to determine what scripture means.” Melalui kartun itu, Hayward ingin berkata bahwa pada hakikatnya, Allah adalah kasih. Jadi, cinta kasih Yesus, Allah yang menjadi manusia itu, tidak terbatas pada ayat-ayat atau aturan-aturan dalam kitab suci. Ia justru menentukan dan mendefinisikan aturan-aturan kitab suci dengan landasan cinta kasih. Sebaliknya, tokoh-tokoh agama menentukan dan mendefinisikan cinta kasih dengan aturan-aturan dan ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci, sehingga cinta kasih menjadi terbatas dan kerdil. Kasih dibatasi hanya pada mereka yang satu golongan, sedangkan yang tidak segolongan layak dibenci.
Gereja mengenal hakikat Allah adalah kasih juga dari kitab suci. Hanya saja, poin penting itu–Allah adalah kasih–sering terlupakan sehingga apa pun dicari dan didefinisikan dengan kitab suci, termasuk cinta kasih itu sendiri. Bahkan tidak jarang, pola pikir yang dilandasi doktrin-doktrin juga sangat memengaruhi gereja untuk membaca kasih berdasarkan kitab suci. Akhirnya, seringkali gereja memahami cinta kasih dengan sangat kerdil, bahkan membatasi kasih–dan tanpa sadar pun akhirnya membatasi Allah. Gereja menentukan batasan-batasan siapa yang layak dikasihi dan siapa yang tidak berdasarkan apa yang didapat dari kitab suci. Gereja menolak mencintai orang yang berbeda agama, pribadi dengan disabilitas, orang-orang dengan orientasi homoseksual, dan orang-orang yang dicap berdosa. Gereja pun hampir tidak pernah berpikir untuk mencintai dunia, alam semesta yang diciptakan dan dicintai Allah ini.
Jika kita telah melihat bagaimana pola pikir dan doktrin membawa gereja pada penghayatan cinta kasih yang terbatas dan kerdil, tema yang mengantar kita pada perenungan di Minggu Paskah V justeru mengajak kita untuk “mencinta tanpa batas.” Injil Minggu ini, Yohanes 13:31-35, mengisahkan saat-saat terkhir Yesus bersama-sama murid-murid-Nya. Pada saat itulah Ia menasihati mereka untuk saling mengasihi. Yesus memberikan perintah baru bagi para murid untuk saling mengasihi. Pada saat-saat terakhir Yesus, perintah ini menjadi sangat penting dan dibutuhkan kerena mereka akan mengalami pengalaman menyakitkan, terluka, penyesalan, dan ketakutan. Mereka akan mengalami pengalaman traumatis yang membuat mereka rentan terpuruk dan terpisah satu sama lain. Oleh karena itu Yesus mewanti-wanti mereka untuk saling mengasihi, karena kasihlah yang dapat menguatkan dan memulihkan mereka. Dengan tindakan kasih juga mereka dapat saling menerima kerapuhan dan kegagalan satu sama lain untuk dapat saling memulihkan, tanpa menghakimi dan menyalahkan.
Perintah baru yang Yesus berikan ini pun diberi kesimpulan, “Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku…” Perhatikanlah Yesus di sini menyatakan bahwa tindakan cinta kasih itu menjadi kesaksian bagi semua orang. Bukan hanya orang-orang tertentu, bukan kalangan murid saja, bukan juga orang Yahudi saja, melainkan semua orang. Pengalaman-pengalaman para murid yang terluka namun saling memulihkan dalam relasi cinta kasih itulah yang menjadi kesaksian yang kuat bagi semua orang tentang kasih Allah. Dengan demikian, pesan Yesus untuk mengasihi bukan hanya soal kasih kepada sesama dalam kelompok para murid, melainkan kasih bagi semua orang. Kasih yang membuka diri untuk jujur terhadap kerapuhan dan kegagalan, kasih yang merangkul dan memulihkan. Kualitas cinta kasih itulah yang dibagikan kepada semua orang tanpa batas.
Bacaan Pertama, Kisah Para Rasul 11:1-18, memperlihatkan bagaimana kasih Allah dinyatakan melampaui batasan Yahudi atau non-Yahudi, halal atau haram, tahir atau najis. Petrus yang membaptis Kornelius, seorang perwira pasukan Italia, di Kaisarea dipermasalahkan oleh saudara-saudara dari kalangan bersunat. Mereka tidak terima jika Injil Kristus diberikan kepada bangsa non-Yahudi, dan mempersalahkan Petrus yang masuk ke rumah orang tidak bersunat. Petrus pun mempertanggungjawabkan baptisannya kepada orang non-Yahudi di hadapan rekan-rekannya. Petrus menyatakan bahwa karunia Allah yang diberikan kepada orang-orang non-Yahudi itu adalah karunia yang juga diberikan kepada para murid, maka ia tidak mungkin mencegahnya. Pengalaman itu yang membuat Petrus mengakui bahwa “… Allah tidak membedakan orang.” (10:34). Pengalaman Petrus ini juga yang membuat rekan-rekannya pun mengaku, “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.”
Pengalaman Petrus bersama Kornelius yang bukan Yahudi menggugah pengertiannya bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang. Kasih dan karunia Allah dinyatakan kepada semua orang tanpa pembedaan. Dalam hal Petrus, Allah memberikan karunia-Nya kepada seorang non-Yahudi yang dianggap najis dan kafir oleh orang-orang Yahudi. Allah meruntuhkan tembok pemisah itu dan menyatakan cinta kasih-Nya yang tanpa batas. Cinta kasih Allah itu juga yang menggerakan para rasul untuk terus bersaksi dengan landasan kasih Allah yang tak terbatas dan tak membeda-bedakan. Kesaksian itu didasarkan pada semangat cinta kasih yang membangun dan memulihkan.
Ribuan tahun setelah Yesus dan para rasul, gereja pun memiliki semangat untuk bersaksi. Sayang sekali kesaksian itu tidak dilandasi kasih yang memulihkan, melainkan semangat penaklukan. Pelayanan gereja tidak dilakukan dengan kasih yang tanpa batas, melainkan dengan membangun batas-batas bahkan tembok. Kitab suci tidak dibaca dengan kasih, melainkan dengan doktrin yang kerdil, kecurigaan, bahkan penghakiman terhadap kelompok yang berbeda. Gereja yang seharusnya menjadi komunitas yang merangkul dan memulihkan menjadi komunitas yang menghakimi dan menyingkirkan dengan landasan ajaran dan kitab suci.
Kembali ke kartun yang dibuat Hayward. Kartun itu menjadi kritik bagi gereja untuk meninjau kembali bagaimana selama ini gereja memaknai dan menghayati cinta kasih. Apakah kasih hanya menjadi konsep ajaran yang ditemukan di dalam kitab suci, atau kasih menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan orang Kristen? Apakah kasih Kristus yang tanpa batas dan memulihkan itu benar-benar berbuah sebagai tindakan atau hanya sebagai pokok ajaran kristiani? Allah adalah kasih, Kristus adalah teladan cinta kasih, maka kita pun belajar untuk mengasihi dari Allah di dalam Kristus. Dari Kristuslah kita belajar mengenai kasih yang menjadi landasan berpikir dan gaya hidup, kasih yang berupa tindakan dan bukan hanya konsep, kasih yang merangkul dan memeluk mereka yang terasingkan, kasih yang tidak menaruh kecurigaan pada mereka yang berbeda, kasih yang meruntuhkan batas-batas dan merayakan perbedaan, kasih yang tidak menghakimi orang lain sebagai pendosa, kasih yang memberi diri dan bersedia terluka, kasih yang merangkul dan memulihkan.
(ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar