| Minggu Paska
V |
| Kisah Para
Rasul 11:1-18 | Mazmur 148 | Wahyu 21:1-6 | Yohanes 13:31-35 |
David Hayward,
pastor dan seniman berkebangsaan Amerika Serikat, pernah menggambar sebuah
kartun yang memperlihatkan Yesus berbincang-bincang dengan beberapa pemuka
agama. Di situ Yesus berkata kepada mereka, “The difference between me and you is you use scripture to determine
what love means and I use love to determine what scripture means.” Melalui
kartun itu, Hayward ingin berkata bahwa pada hakikatnya, Allah adalah kasih.
Jadi, cinta kasih Yesus, Allah yang menjadi manusia itu, tidak terbatas pada
ayat-ayat atau aturan-aturan dalam kitab suci. Ia justru menentukan dan
mendefinisikan aturan-aturan kitab suci dengan landasan cinta kasih. Sebaliknya,
tokoh-tokoh agama menentukan dan mendefinisikan cinta kasih dengan
aturan-aturan dan ayat-ayat yang tertulis dalam kitab suci, sehingga cinta
kasih menjadi terbatas dan kerdil. Kasih dibatasi hanya pada mereka yang satu
golongan, sedangkan yang tidak segolongan layak dibenci.
Gereja
mengenal hakikat Allah adalah kasih juga dari kitab suci. Hanya saja, poin
penting itu–Allah adalah kasih–sering terlupakan sehingga apa pun dicari dan
didefinisikan dengan kitab suci, termasuk cinta kasih itu sendiri. Bahkan tidak
jarang, pola pikir yang dilandasi doktrin-doktrin juga sangat memengaruhi gereja
untuk membaca kasih berdasarkan kitab suci. Akhirnya, seringkali gereja
memahami cinta kasih dengan sangat kerdil, bahkan membatasi kasih–dan tanpa
sadar pun akhirnya membatasi Allah. Gereja menentukan batasan-batasan siapa
yang layak dikasihi dan siapa yang tidak berdasarkan apa yang didapat dari
kitab suci. Gereja menolak mencintai orang yang berbeda agama, pribadi dengan
disabilitas, orang-orang dengan orientasi homoseksual, dan orang-orang yang dicap
berdosa. Gereja pun hampir tidak pernah berpikir untuk mencintai dunia, alam
semesta yang diciptakan dan dicintai Allah ini.
Jika kita
telah melihat bagaimana pola pikir dan doktrin membawa gereja pada penghayatan
cinta kasih yang terbatas dan kerdil, tema yang mengantar kita pada perenungan
di Minggu Paskah V justeru mengajak kita untuk “mencinta tanpa batas.” Injil
Minggu ini, Yohanes 13:31-35, mengisahkan saat-saat terkhir Yesus bersama-sama
murid-murid-Nya. Pada saat itulah Ia menasihati mereka untuk saling mengasihi. Yesus
memberikan perintah baru bagi para murid untuk saling mengasihi. Pada saat-saat
terakhir Yesus, perintah ini menjadi sangat penting dan dibutuhkan kerena
mereka akan mengalami pengalaman menyakitkan, terluka, penyesalan, dan
ketakutan. Mereka akan mengalami pengalaman traumatis yang membuat mereka
rentan terpuruk dan terpisah satu sama lain. Oleh karena itu Yesus
mewanti-wanti mereka untuk saling mengasihi, karena kasihlah yang dapat
menguatkan dan memulihkan mereka. Dengan tindakan kasih juga mereka dapat
saling menerima kerapuhan dan kegagalan satu sama lain untuk dapat saling
memulihkan, tanpa menghakimi dan menyalahkan.
Perintah baru
yang Yesus berikan ini pun diberi kesimpulan, “Dengan demikian semua orang akan
tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku…” Perhatikanlah Yesus di sini
menyatakan bahwa tindakan cinta kasih itu menjadi kesaksian bagi semua orang.
Bukan hanya orang-orang tertentu, bukan kalangan murid saja, bukan juga orang
Yahudi saja, melainkan semua orang. Pengalaman-pengalaman para murid yang
terluka namun saling memulihkan dalam relasi cinta kasih itulah yang menjadi
kesaksian yang kuat bagi semua orang tentang kasih Allah. Dengan demikian,
pesan Yesus untuk mengasihi bukan hanya soal kasih kepada sesama dalam kelompok
para murid, melainkan kasih bagi semua orang. Kasih yang membuka diri untuk
jujur terhadap kerapuhan dan kegagalan, kasih yang merangkul dan memulihkan.
Kualitas cinta kasih itulah yang dibagikan kepada semua orang tanpa batas.
Bacaan
Pertama, Kisah Para Rasul 11:1-18, memperlihatkan bagaimana kasih Allah
dinyatakan melampaui batasan Yahudi atau non-Yahudi, halal atau haram, tahir
atau najis. Petrus yang membaptis Kornelius, seorang perwira pasukan Italia, di
Kaisarea dipermasalahkan oleh saudara-saudara dari kalangan bersunat. Mereka
tidak terima jika Injil Kristus diberikan kepada bangsa non-Yahudi, dan
mempersalahkan Petrus yang masuk ke rumah orang tidak bersunat. Petrus pun
mempertanggungjawabkan baptisannya kepada orang non-Yahudi di hadapan
rekan-rekannya. Petrus menyatakan bahwa karunia Allah yang diberikan kepada
orang-orang non-Yahudi itu adalah karunia yang juga diberikan kepada para
murid, maka ia tidak mungkin mencegahnya. Pengalaman itu yang membuat Petrus mengakui
bahwa “… Allah tidak membedakan orang.” (10:34). Pengalaman Petrus ini juga
yang membuat rekan-rekannya pun mengaku, “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga
Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.”
Pengalaman
Petrus bersama Kornelius yang bukan Yahudi menggugah pengertiannya bahwa Allah
tidak membeda-bedakan orang. Kasih dan karunia Allah dinyatakan kepada semua
orang tanpa pembedaan. Dalam hal Petrus, Allah memberikan karunia-Nya kepada
seorang non-Yahudi yang dianggap najis dan kafir oleh orang-orang Yahudi. Allah
meruntuhkan tembok pemisah itu dan menyatakan cinta kasih-Nya yang tanpa batas.
Cinta kasih Allah itu juga yang menggerakan para rasul untuk terus bersaksi
dengan landasan kasih Allah yang tak terbatas dan tak membeda-bedakan. Kesaksian
itu didasarkan pada semangat cinta kasih yang membangun dan memulihkan.
Ribuan tahun setelah
Yesus dan para rasul, gereja pun memiliki semangat untuk bersaksi. Sayang
sekali kesaksian itu tidak dilandasi kasih yang memulihkan, melainkan semangat
penaklukan. Pelayanan gereja tidak dilakukan dengan kasih yang tanpa batas,
melainkan dengan membangun batas-batas bahkan tembok. Kitab suci tidak dibaca
dengan kasih, melainkan dengan doktrin yang kerdil, kecurigaan, bahkan
penghakiman terhadap kelompok yang berbeda. Gereja yang seharusnya menjadi
komunitas yang merangkul dan memulihkan menjadi komunitas yang menghakimi dan
menyingkirkan dengan landasan ajaran dan kitab suci.
Kembali ke
kartun yang dibuat Hayward. Kartun itu menjadi kritik bagi gereja untuk
meninjau kembali bagaimana selama ini gereja memaknai dan menghayati cinta
kasih. Apakah kasih hanya menjadi konsep ajaran yang ditemukan di dalam kitab
suci, atau kasih menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan orang Kristen?
Apakah kasih Kristus yang tanpa batas dan memulihkan itu benar-benar berbuah
sebagai tindakan atau hanya sebagai pokok ajaran kristiani? Allah adalah kasih,
Kristus adalah teladan cinta kasih, maka kita pun belajar untuk mengasihi dari
Allah di dalam Kristus. Dari Kristuslah kita belajar mengenai kasih yang
menjadi landasan berpikir dan gaya hidup, kasih yang berupa tindakan dan bukan
hanya konsep, kasih yang merangkul dan memeluk mereka yang terasingkan, kasih
yang tidak menaruh kecurigaan pada mereka yang berbeda, kasih yang meruntuhkan
batas-batas dan merayakan perbedaan, kasih yang tidak menghakimi orang lain
sebagai pendosa, kasih yang memberi diri dan bersedia terluka, kasih yang
merangkul dan memulihkan.
(ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar