Minggu, 23 Juni 2019

Menjangkau yang tak Terjangkau


Minggu Biasa 1

Yesaya 65 : 1-9 ǀ Mazmur 22 : 20-29 ǀ Galatia 3 : 23-29 ǀ Lukas 8 : 26-39


Beberapa tahun yang lalu, sebuah penelitian di bidang pendidikan diadakan secara rahasia di sebuah sekolah di Inggris. Sekolah itu memiliki dua kelas untuk setiap kelompok anak-anak berusia sepantar. Pada akhir tahun ajaran diadakanlah sebuah ujian dalam rangka memilih anak-anak untuk pembagian kelas pada tahun berikutnya. Akan tetapi, hasil ujian itu tak pernah diumumkan. Dalam kerahasiaan, hanya kepala sekolah dan para pakar psikologi saja yang mengetahui kenyataannya, anak-anak yang mendapat peringkat satu di tempatkan di kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat empat dan lima, delapan dan Sembilan, dua belas dan tiga belas, dan selanjutnya. Sementara anak-anak yang mendapat peringkat dua dan tiga pada ujian tersebut ditempatkan pada kelas yang sama dengan anak-anak yang mendapat peringkat enam dan tujuh, sepuluh dan sebelas, dan selanjutnya. Dengan kata lain, berdasarkan kinerja selama ujian, anak-anak dibagi rata menjadi dua kelas. Para guru pun diseleksi berdasar kesetaraan kemampuan. Bahkan setiap ruang kelas diberi fasilitas yang sama. Segala sesuatunya dibuat sesetara mungkin kecuali untuk satu hal: satu disebut “kelas A” dan yang lain disebut “kelas B.”

Tetapi dibenak setiap orang, anak-anak dari kelas A dianggap sebagai anak-anak yang cerdas, sedangkan anak-anak dari kelas B dianggap tak begitu pandai. Beberapa orang tua dari anak-anak kelas A mendapat kejutan yang menyenangkan karena anak-anaknya telah lulus dengan baik dan menghadiahi mereka dengan bingkisan dan pujian. Sementara beberapa orang tua dari anak-anak kelas B mengomeli dan menghukum anak-anaknya karena mereka dianggao tak berusaha cukup keras selama ujian. Bahkan para guru pun mengajar anak-anak kelas  B dengan sikap yang berbeda; dengan tidak berharap banyak dari mereka. Sepanjang tahun ajaran, ilusi tersebut terus terpelihara dan berujung pada hasil ujian pada tahun berikutnya. Anak-anak kelas A menunjukkan prestasi yang lebih baik daripada anak-anak kelas B. Hal ini menunjukkan, seperti apa mereka diajar, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Melalui kisah ini pula, sejatinya ada ajakan agar kita tidak terbiasa membuat perbedaan sebagai batasan bahkan membentuk tembok yang memisahkan dan membuat satu dengan yang lain terasing, tak saling peduli dan menjadi tak terjangkau.

Terlebih bagi kita hari ini yang memiliki teladan kasih dari Allah yang tak membeda-bedakan manusia dari bentuk tubuhnya, latar belakang suku dan budayanya, status sosialnya, maupun tingkat kemampuan akademisnya. Allah berkarya menyeberang dan melampaui batasan yang dibuat manusia. Dari Yesaya 65:1-9 kita mendapati bahwa Allah menjawab seruan dari Yesaya, hamba-Nya, agar memulihkan keadaan umat-Nya dengan adil. Allah menaruh perhatian terhadap umat-Nya yang saat itu sedang tidak peduli pada Tuhan, terbukti tidak pernah mereka memanggil nama-Nya, mereka memberontak dan menyakiti hati Allah dengan mempersembahkan korban kepada allah lain (menjadi sinkretis), mereka menajiskan diri dengan cara hidup yang menyimpang dari Taurat (ay.1-4). Terhadap mereka Allah siap menakar upah untuk perbuatan-perbuatan mereka (ay. 6-7). Namun Allah juga siap mengaruniakan kelepasan bagi umat-Nya yang penurut dan setia pada-Nya hingga pada saatnya kondisi mereka pulih kembali. Siapa saja mereka? Orang saleh! Sejak ayat 1 kita mendapati bahwa bukan hanya orang Israel saleh yang mendapat penyertaan dan pemulihan, namun Allah pun berkenan ditemui (dijangkau) oleh mereka bangsa non-Israel selama mereka menuruti kehendak-Nya. Dengan kata lain, Allah bersedia menjangkau mereka yang semula nampak tak terjangkau karena kebangsaan mereka.

Pesan ini sejalan dengan surat penggembalaan Paulus kepada jemaat di Galatia yang sedang kebingungan. Pernyataan penggembalaan Paulus berbicara mengenai penerima janji Allah. Siapa yang berhak mendapatkan janji Allah? Orang-orang Yahudi menganggap bahwa hanya keturunan Yahudi yang berhak mendapatkan janji Allah, sebab mereka keturunan langsung Abraham dan melakukan Taurat. Keturunan Yunani, sekalipun telah hidup dalam iman Kristen tetap dianggap tak berhak mendapatkan janji Allah.

Terhadap pandangan ini, Paulus mengatakan bahwa hukum Taurat tidak ada kaitannya dengan janji keselamatan Allah. Janji keselamatan telah ada sebelum hukum Taurat ada. “…tidak seorangpun dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus” (2:16). Orang dibenarkan dan diselamatkkan hanya oleh karena iman, mereka yang hidup dari iman, mereka itulah anak-anak Abraham (ay.7). Setiap orang yang mengikut Kristus, walaupun bukan keturunan Yahudi, berhak menerima janji keselamatan (Galatia 3:28-29).

Selain itu, Allah juga melampaui pembatasan-pembatasan yang lain. Saat kebanyakan orang menjadi abai, menjauhi, atau tak sanggup menjangkau mereka yang sedang dalam keadaan yang “kurang waras” (bandingkan dengan istilah pada Lukas 8:35). Yesus bersedia dijumpai dan menjangkau seorang yang sedang “kurang waras” sebab dirasuk oleh setan dalam jumlah yang sangat banyak (istilah yang digunakan “legion”, satu legion = pasukan yang terdiri atas tiga ribu sampai enam ribu orang). Sebab bagi Yesus, setiap orang berharga. Yesus mau menyadarkan betapa bernilainya hidup kita manusia. Untuk seorang yang “kurang waras” saja, Yesus rela mengorbankan dua ribu ekor babi, apalagi bagi orang yang waras. Pertolongan Yesus memiliki makna bahwa Ia ingin mengentaskan orang dari ketidaklayakannya dan membebaskan orang dari jurang maut. Yesus pun menjangkau kita, menyelamatkan, dan membebaskan kita agar kita kembali menjalani hidup dengan bermakna.

Lalu apa respon yang harusnya dimiliki oleh setiap orang yang telah menerima pertolongan-Nya? Saat melihat kembali kejadian setelah orang Gerasa itu pulih, Yesus menyuruhnya pulang ke rumah menceritakan segala sesuatu yang telah diperbuat Allah kepadanya. Kalau diawal tadi kita sepakat, bahwa seperti apa mereka diajar, seperti apa mereka diperlakukan, seperti apa mereka dipercaya, demikianlah jadinya mereka. Maka seperti kita telah dijangkau oleh-Nya, Yesus pun memanggil setiap kita, untuk bercerita dan meneladan segala kehendak dan pekerjaan baik-Nya, menjangkau yang tak terjangkau sekalipun. Sebagaimana kisah berikut ini :
Suatu hari ketika sedang menunggang kuda, Fransiskus berpapasan dengan seorang kusta. Biasanya ia sangat jijik dengan orang kusta, bahkan jika mungkin dia akan berbalik menghindar. Tetapi hari itu, ia melakuka hal yang luar biasa. Daya kekuatan Ilahi telah menuntunnya. Ia mendekati orang kusta itu, kemudian ia turun dari kuda dan memeluk serta mencium si kusta.
           
Beberapa tahun kemudian, dalam keadaan sekarat, Fransiskus mengingat kembali peristiwa yang sangat mengubahkan hidupnya itu. “ketika aku dalam dosa, aku merasa amat muak melihat orang kusta. Akan tetapi Tuhan sendiri menghantar aku ke tengah mereka dan aku merawat mereka penuh kasihan. Setelah aku meninggalkan mereka, apa yang tadinya terasa memuakkan berubah bagiku menajdi kemanisan jiwa dan badan; dan sesudahnya aku sebentar menetap, lalu aku meninggal dunia.”


Sumber:
Ajahn Brahm, Anak-anak Kelas B, dalam “Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya”, 2010

ypp.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar