Minggu, 22 September 2019

MELEKAT HANYA KEPADA ALLAH

Minggu Biasa 14 

Amos 8:4-7; Mzm. 113; 1Tim. 2:1-7; Lukas 16:1-13

Falsafah hidup mengatakan bahwa “kita tidak hidup untuk makan, tetapi makan untuk hidup.” Kemudian ada yang mengatakan dengan kata lain seharusnya kita tidak hidup untuk uang, tetapi mengelola uang untuk hidup. Faktanya banyak orang hari ini mencari uang bukan untuk mencukupi kebutuhan hidup namun demi mendapat kesenangan. Oleh sebab itu jangan heran bila kita menemui Homo Surabayaensis alias orang Surabaya yang melekatkan diri pada kesenangannya mencari uang alias bekerja. Bahkan waktu beristirahat pun digunakan untuk bekerja. Dalam artian, ketika berbaring mereka masih mematangkan gagasan-gagasan dalam pikirannya demi keberhasilan pekerjaannya. Maka matanya memang terarah bahkan terpaku pada layar gadget/TV yang menayangkan hiburan, tubuhnya duduk di seputar meja makan dan mulutnya asik mengunyah makanan hasil pesan antar, tetapi pikirannya entah berada di mana. Kenyataan ini menunjukkan kemelekatan orang-orang hari ini pada uang atau minimal pekerjaannya.

Bacaan kita hari ini pun bicara mengenai seseorang yang hidupnya melekat pada pekerjaannya, yaitu sebagai bendahara. Bendahara ini dikisahkan berfokus pada pekerjaannya namun terindikasi tidak jujur. Namun yang mengherankan ia dikatakan telah melakukan sesuatu yang baik. Tentu hal ini bisa mendatangkan pertanyaan: Apakah ini berarti Yesus setuju dengan tindakan menipu? Apakah Yesus berpihak kepada ketidak jujuran?

Sebelum sampai pada kesimpulan seperti itu, marilah kita memahami pola kerja bendahara pada masa itu. Pada masa itu, ketika ada pemilik modal yang memiliki sejumlah dana ia biasa memercayakannya pada seseorang yang mampu mengelola dana tersebut agar menjadi sebuah usaha yang menghasilkan keuntungan. Si pengelola/bendahara akan mengatur segala sesuatu termasuk menentukan besaran bunga pinjaman ketika dana tersebut juga dipakai sebagai dana kredit orang lain. Sehingga risiko kerugian harus ditanggung penuh oleh bendahara; sekalipun di lain sisi bila dia berhasil, maka dia akan memperoleh keuntungan lebih. 

Dalam perumpamaan ini diceritakan bahwa sang tuan mengetahui bahwa bendaharanya telah menghambur-hamburkan uang. Oleh sebab itu, sang bendahara ini segera dipanggil untuk mempertanggungjawabkan  seluruh keuangan yang telah dikelolanya. Menarik sekaligus tak terduga yang kemudian dilakukan oleh bendahara tersebut.

Di Luk. 16:5-7, bendahara tersebut berinisiatif mengurangi jumlah hutang dari orang-orang yang berhutang/kreditur. Dengan pengurangan jumlah hutang tersebut harapannya para kreditur dapat membayar hutangnya dan pada akhirnya sang bendahara dapat membayar apa yang menjadi kewajibannya kepada sang pemilik  modal, sehingga dia akhirnya dapat menyelamatkan masa depan dan kariernya. Sebab bila itu yang terjadi maka uang yang menjadi hak tuannya tidak berkurang sedikit pun sehingga ia tidak jadi dipecat. Karena yang dia potong sebenarnya merupakan hak keuntungannya dari menjalankan usaha tersebut. Dari perumpamaan ini, kita dapat belajar bagaimana sang bendahara memikirkan masa depannya secara cerdik. Benar, dia pernah berbuat kesalahan, tetapi dia segera memperbaikinya.

Kehidupan sang bendahara dalam perumpamaan ini hendaknya kita refleksikan pula dalam kehidupan kita? Apa yang dapat kita lakukan di masa krisis? Berputus asa atau menyerah atau cuek-cuek saja dan tetap nekat melakukan kesalahan demi kesalahan?

Di dalam situasi krisis yang dijumpainya, bendahara tersebut telah mengambil langkah yang tepat untuk masa depannya. Yakni tidak mudah menyerah dan berputus asa saat menghadapi kegagalan. Sebab saat kita tidak jatuh dalam keputusasaan atau meratapi keadaan, maka kita akan mampu berpikir atau menanggapi secara cerdik/kreatif setiap masalah yang ada.

Bendahara dalam bacaan kita ini menunjukkan bagaimana ia sungguh berfokus pada pekerjaannya, sehingga ia dengan tenang dan cerdik menghadapi dan malampaui masalahnya tanpa harus sembunyi dari masalah atau mencari kambing hitam dari masalahnya. Ia menjadi contoh pribadi yang berorientasi pada penyelesaian masalah, bukan berfokus pada masalah. Ia menggunakan uang yang ada dalam pengelolaannya untuk menjadi modal membangun pertemanan, atau sebenarnya bisa juga disebut membeli pertemanan, dengan harapan, yang ditolongnya dapat menolongnya kelak jika ia yang giliran mendapat masalah, yaitu dipecat dari pekerjaannya.

Kecerdikan si bendahara memikirkan masa depan kehidupannya inilah yang membuat Yesus memberi pujian kepada bendahara yang tidak jujur dalam perumpamaan ini. Akan tetapi, Yesus juga memberikan kritik terhadap bendahara ini. Sebagaimana teguran Yesus dalam ayat 9. Bagi Yesus membangun persahabatan dengan berdasarkan materi/uang adalah persahabatan yang rapuh dan sebuah kesia-siaan. Ucapan Yesus merupakan sindiran yang halus sekaligus begitu tajam. Barangsiapa membangun persahabatan dengan mamon (materi) yang tidak jujur akan menghasilkan perbuatan yang licik dan mendapatkan persahabatan yang semu sifatnya.

Dari kisah ini kita juga diajak untuk menjadi gelisah dengan keberadaan diri kita. Perumpamaan ini menunjukkan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan, tanpa memikirkan kehidupan setelah kematian kadang-kadang bertindak lebih cerdik nan masuk akal. Mereka mungkin menjadi manusia-manusia yang melekat pada uang, sehingga menyiapkan keperluan masa depannya di saat-saat yang sulit dan kritis secara kreatif. Mereka mempergunakan uangnya untuk mempersiapkan masa depannya. Jika demikian mengapa anak-anak Allah tidak berpikir lebih cerdik dan kreatif dalam menghadapi masalah dengan tetap melekatkan diri kepada Yesus Kristus guna mempersiapkan masa depan dalam kemah abadi?

Harus diakui bahwa seringkali, sebagai anak-anak Allah, terlalu memusatkan diri kepada pekerjaan, uang, keluarga, bahkan pada rutinitas pelayanan, tanpa melekatkan diri kepada Allah. Akibat dari kehidupan yang tidak disertai kesadaran untuk melekatkan diri pada Allah, hanya akan menghasilkan kecerdikan dalam tindakan memperdaya dan merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Tanpa keberpusatan pada Allah seseorang hanya akan menjadi pribadi yang cerdik tetapi licik. Dengan hidup melekat hanya pada Allah kita akan memiliki kecerdikan dan kreativitas untuk menghadapi dan mengatasi pergumulan hidup dengan tetap memerhatikan apa yang menjadi hak orang lain dan kewajiban kita kepada sesama. Kemelekatan kita pada Allah akan memberi kita kemampuan memilih dan memilah dengan bijak kapan kita harus menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan kita, kapan kita harus memelihara keharmonisan keluarga dengan menyediakan waktu berkualitas dengan keluarga, kapan harus mengembangkan jemaat dengan pelayanan yang penuh ketulusan dan kecerdikan. Amin.
ypp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar