Jumat, 13 September 2019

CARI ATAU BIARKAN?


Minggu Biasa XIII
Keluaran 32:7-14 | Mazmur 51:3-12 | 1 Timotius 1:12-17 | Lukas 15:1-10

Setelah membaca teks Injil Lukas 15:1-7, timbullah berbagai pendapat dari beberapa orang. Mereka adalah peternak, filsuf, ekonom dan ahli hukum. Si peternak berkata, "Ya sudah, tidak apa-apa. Toh yang sembilan puluh sembilan ekor masih bisa beranak!" Lalu sang filsuf berkata, "Apalah artinya satu dibanding sembilan puluh sembilan?" Dengan perhitungannya, si ekonom berpendapat, "Kita harus menerapkan prinsip ekonomi! Biaya untuk mencari mungkin lebih besar daripada harga domba yang hilang itu. Kalau saja, yang hilang itu sepuluh ekor, bolehlah.” Lalu ahli hukum pun mengutarakan pendapatnya, "Yang satu itu minoritas. Kita harus mengutamakan kepentingan mayoritas, yaitu yang sembilan puluh sembilan ekor." Tetapi kemudian seorang teolog berkata, “Itu menurut kalian. Tetapi bagi Yesus, yang satu itu pun berharga, maka Ia rela meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor dan pergi mencari seekor domba yang tersesat itu.”
Demikianlah Yesus menggambarkan seorang gembala yang meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor yang hilang. Perumpamaan ini merupakan perumpamaan pertama dari Trilogi Perumpamaan “Yang Hilang,” yakni Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak yang Hilang. Teks lekshionari Minggu ini hanya mengisahkan dua yang pertama, sedangkan kisah ketiga telah muncul dalam leksionari pada masa Prapaska.
Jika kita melihat teks Trilogi Yang Hilang, kita akan melihat betapa aneh dan tidak masuk akalnya tindakan para tokoh utama dalam tiga kisah itu, gembala, perempuan dan sang bapa. Jika menggunakan perhitungan-perhitungan dan nalar logis dalam cerita pembuka di awal, jelas tindakan-tindakan itu aneh. Apa untungnya mencari satu ekor domba dengan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan? Toh sembilan puluh sembilan ekor masih lebih berguna dan menghasilkan daripada harus mencari satu ekor yang mungkin akan menguras biaya dan tenaga. Lalu untuk apa si perempuan mengundang tetangga-tetangganya untuk melakukan syukuran kerena satu dirhamnya ditemukan? Jangan-jangan biaya untuk syukuran lebih besar daripada satu dirham, atau bahkan kesepuluh dirham yang dimilikinya. Kemudian, apa pula yang dipikirkan si bapa sehingga mengadakan pesta untuk merayakan kepulangan anak bungsu tak tahu diuntung yang pulang saat sedang butuh? Lebih parahnya, si bapa pun tidak curiga jika si anak ini nanti akan mencuri darinya dan kabur lagi.
Namun begitulah kasih Allah. Kasih yang tidak hitung-hitungan. Kasih Allah tidak menghitung untung-rugi atau besar-kecil amal manusia. Kasih Allah itu meluap dan melimpah bahkan untuk mereka yang menurut kita tidak layak dikasihi. Sayangnya, banyak orang Kristen yang hitung-hitungan dengan kasih Allah. Mereka menentukan siapa yang layak dan siap yang tidak layak menerima anugerah kasih Allah. Lalu muncullah iman yang hitung-hitungan dan transaksional. Orang yang baik, suka menolong, suka beribadah nanti dapat berkat. Transaksi ini lama-kelamaan menjadi lotere, “jika anda memberi persembahan, nanti dapat berkat berlipat kali ganda,” dan kemudian diikuti dengan ancaman, “Jika anda tidak melakukan ini semua, maka anda tidak diberkati Tuhan.” Maka semakin banyak kita berbuat baik, semakin besar kesempatan kita diberkati Allah. Ini iman atau undian? Bukankah hidup kita ini adalah berkat Tuhan, yang tanpa minta pun kita sudah menerimanya?
Jika mengikuti kisah Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak yang Hilang, tentu kita tidak akan menciptakan Allah yang hitung-hitungan seperti kita manusia. Allah yang kita kenal dalam Kristus adalah Allah yang bahkan dapat melakukan tindakan yang tidak masuk akal untuk mencari dan menyelamatkan manusia yang berdosa dan terhilang. Ya, salah satu hal yang tidak masuk akal adalah kerelaan-Nya untuk menjadi manusia dan menangung derita hingga mati di kayu salib.
Tindakan janggal dan tak masuk akal yang Allah lakukan juga terlihat dalam teks Injil Lukas Minggu ini. “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangga…” (Luk. 15:5-6). Jika kita perhatikan dengan saksama teks itu, kita dapat menemukan dua hal yang janggal di sini.

1.   Si gembala punya seratus ekor domba, lalu yang satu hilang. Ia mencari yang satu itu dengan meninggalkan yang sembilan pulunh sembilan. Telah kita bahas tadi, secara logika ini tindakan janggal. Yang lebih parah lagi adalah ia meninggalkan mereka di padang gurun, yang gersang dan kering, bukan di padang rumput hijau di dekat mata air. Yang sembilan puluh sembilan ditinggalkan di padang gurun khusus untuk mencari yang satu ekor domba bandel itu.
2.   Setelah ia mencari satu ekor domba nakal itu dan menemukannya ia mengangkatnya dan dengan gembira langsung kembali ke rumah. Si gembala itu kembali langsung kembali ke rumah, bukan ke padang gurun untuk menjemput kesembilan puluh sembilan domba yang lain. Bayangkan betapa unik cara berpikir dan bertindak sang gembala itu.

Menurut Joas Adiprasetya, perumpamaan ini bukanlah tentang domba yang hilang melainkan gembala yang hilang. Ia hilang karena ia meninggalkan sembilan puluh sembilan ekor domba yang tidak hilang dan tidak kembali lalu. Lalu mulailah domba-domba lainnya ini merasa ditinggalkan. Jadi, jika kita merasa Tuhan meniggalkan kita, jangan-jangan memang karena Ia seadng mencari umatnya yang terhilang. Jika demikian, setidaknya ada sembilan puluh delapan ekor rekan domba yang lain yang tidak hilang, yang bisa saling mendukung dan menguatkan, sekalipun ditinggalkan di padang gurun. Atau jika kita merasa Tuhan jauh dari hidup kita, ikutlah mencari domba yang terhilang tersebut, karena pasti Allah ada di sana mencari yang terhilang itu.



Ada juga di antara sembilan puluh sembilan ekor yang bersungut-sungut dan mengeluh karena Allah lebih mengutamakan yang satu itu, yang nakal dan meninggalkan gereja. Atau jangan-jangan kitalahnya yang menyingkirkannya dari persekutuan. Sekali lagi, David Hayward, pastor dan kartunis, menggambarkannya dengan begitu apik dalam kartunnya. Kartun itu memperlihatkan Yesus yang membawa seekor domba pelangi yang ditemukan-Nya, tetapi ditolak oleh kumpulan domba putih karena justru merekalah yang menyingkirkan domba pelangi itu. Jangan-jangan kita, sembilan puluh sembilan domba yang tidak hilang, yang justru membuat membuat satu ekor itu menjadi terhilang. Kita merasa diri kita layak sedangkan orang lain tidak layak. Kita membatasi kasih Allah yang sebanarnya tidak terbatas dengan memberi cap “orang berdosa” kepada sesama kita yang kita nilai buruk. Kita bukan hanya membiarkan ia hilang, tetapi yang membuatnya hilang. Tetapi kasih Allah tidak terbatas. Ia menacari yang terhilang yang paling tidak yang menurut kita, dan membawanya pulang. (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar