Minggu Biasa XIII
Keluaran 32:7-14 | Mazmur
51:3-12 | 1 Timotius 1:12-17 | Lukas 15:1-10
Setelah membaca teks Injil Lukas 15:1-7, timbullah berbagai pendapat
dari beberapa orang. Mereka adalah peternak, filsuf, ekonom dan ahli hukum. Si
peternak berkata, "Ya sudah, tidak apa-apa. Toh yang sembilan puluh
sembilan ekor masih bisa beranak!" Lalu sang filsuf berkata, "Apalah
artinya satu dibanding sembilan puluh sembilan?" Dengan perhitungannya, si
ekonom berpendapat, "Kita harus menerapkan prinsip ekonomi! Biaya untuk
mencari mungkin lebih besar daripada harga domba yang hilang itu. Kalau saja,
yang hilang itu sepuluh ekor, bolehlah.” Lalu ahli hukum pun mengutarakan
pendapatnya, "Yang satu itu minoritas. Kita harus mengutamakan kepentingan
mayoritas, yaitu yang sembilan puluh sembilan ekor." Tetapi kemudian
seorang teolog berkata, “Itu menurut kalian. Tetapi bagi Yesus, yang satu itu
pun berharga, maka Ia rela meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor dan
pergi mencari seekor domba yang tersesat itu.”
Demikianlah Yesus menggambarkan seorang gembala yang meninggalkan
sembilan puluh sembilan ekor domba untuk mencari seekor yang hilang.
Perumpamaan ini merupakan perumpamaan pertama dari Trilogi Perumpamaan “Yang
Hilang,” yakni Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak yang Hilang.
Teks lekshionari Minggu ini hanya mengisahkan dua yang pertama, sedangkan kisah
ketiga telah muncul dalam leksionari pada masa Prapaska.
Jika kita melihat teks Trilogi Yang Hilang, kita akan melihat betapa
aneh dan tidak masuk akalnya tindakan para tokoh utama dalam tiga kisah itu,
gembala, perempuan dan sang bapa. Jika menggunakan perhitungan-perhitungan dan
nalar logis dalam cerita pembuka di awal, jelas tindakan-tindakan itu aneh. Apa
untungnya mencari satu ekor domba dengan meninggalkan yang sembilan puluh
sembilan? Toh sembilan puluh sembilan ekor masih lebih berguna dan menghasilkan
daripada harus mencari satu ekor yang mungkin akan menguras biaya dan tenaga.
Lalu untuk apa si perempuan mengundang tetangga-tetangganya untuk melakukan
syukuran kerena satu dirhamnya ditemukan? Jangan-jangan biaya untuk syukuran lebih
besar daripada satu dirham, atau bahkan kesepuluh dirham yang dimilikinya.
Kemudian, apa pula yang dipikirkan si bapa sehingga mengadakan pesta untuk
merayakan kepulangan anak bungsu tak tahu diuntung yang pulang saat sedang
butuh? Lebih parahnya, si bapa pun tidak curiga jika si anak ini nanti akan
mencuri darinya dan kabur lagi.
Namun begitulah kasih Allah. Kasih yang tidak hitung-hitungan. Kasih
Allah tidak menghitung untung-rugi atau besar-kecil amal manusia. Kasih Allah
itu meluap dan melimpah bahkan untuk mereka yang menurut kita tidak layak
dikasihi. Sayangnya, banyak orang Kristen yang hitung-hitungan dengan kasih
Allah. Mereka menentukan siapa yang layak dan siap yang tidak layak menerima
anugerah kasih Allah. Lalu muncullah iman yang hitung-hitungan dan
transaksional. Orang yang baik, suka menolong, suka beribadah nanti dapat
berkat. Transaksi ini lama-kelamaan menjadi lotere, “jika anda memberi
persembahan, nanti dapat berkat berlipat kali ganda,” dan kemudian diikuti
dengan ancaman, “Jika anda tidak melakukan ini semua, maka anda tidak diberkati
Tuhan.” Maka semakin banyak kita berbuat baik, semakin besar kesempatan kita
diberkati Allah. Ini iman atau undian? Bukankah hidup kita ini adalah berkat
Tuhan, yang tanpa minta pun kita sudah menerimanya?
Jika mengikuti kisah Domba yang Hilang, Dirham yang Hilang, dan Anak
yang Hilang, tentu kita tidak akan menciptakan Allah yang hitung-hitungan
seperti kita manusia. Allah yang kita kenal dalam Kristus adalah Allah yang
bahkan dapat melakukan tindakan yang tidak masuk akal untuk mencari dan
menyelamatkan manusia yang berdosa dan terhilang. Ya, salah satu hal yang tidak
masuk akal adalah kerelaan-Nya untuk menjadi manusia dan menangung derita
hingga mati di kayu salib.
Tindakan janggal dan tak masuk akal yang Allah lakukan juga terlihat
dalam teks Injil Lukas Minggu ini. “Siapakah di antara kamu yang mempunyai seratus ekor domba, dan jikalau
ia kehilangan seekor di antaranya, tidak meninggalkan yang sembilan puluh
sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang
sesat itu sampai ia menemukannya? Dan kalau ia telah menemukannya, ia
meletakkannya di atas bahunya dengan gembira, dan setibanya di rumah ia
memanggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangga…” (Luk. 15:5-6). Jika kita perhatikan dengan saksama
teks itu, kita dapat menemukan dua hal yang janggal di sini.
1. Si gembala punya seratus ekor
domba, lalu yang satu hilang. Ia mencari yang satu itu dengan meninggalkan yang
sembilan pulunh sembilan. Telah kita bahas tadi, secara logika ini tindakan
janggal. Yang lebih parah lagi adalah ia meninggalkan mereka di padang gurun,
yang gersang dan kering, bukan di padang rumput hijau di dekat mata air. Yang
sembilan puluh sembilan ditinggalkan di padang gurun khusus untuk mencari yang
satu ekor domba bandel itu.
2. Setelah ia mencari satu ekor domba
nakal itu dan menemukannya ia mengangkatnya dan dengan gembira langsung kembali
ke rumah. Si gembala itu kembali langsung kembali ke rumah, bukan ke padang
gurun untuk menjemput kesembilan puluh sembilan domba yang lain. Bayangkan
betapa unik cara berpikir dan bertindak sang gembala itu.
Menurut Joas Adiprasetya, perumpamaan ini bukanlah tentang domba yang
hilang melainkan gembala yang hilang. Ia hilang karena ia meninggalkan sembilan
puluh sembilan ekor domba yang tidak hilang dan tidak kembali lalu. Lalu
mulailah domba-domba lainnya ini merasa ditinggalkan. Jadi, jika kita merasa
Tuhan meniggalkan kita, jangan-jangan memang karena Ia seadng mencari umatnya
yang terhilang. Jika demikian, setidaknya ada sembilan puluh delapan ekor rekan
domba yang lain yang tidak hilang, yang bisa saling mendukung dan menguatkan,
sekalipun ditinggalkan di padang gurun. Atau jika kita merasa Tuhan jauh dari
hidup kita, ikutlah mencari domba yang terhilang tersebut, karena pasti Allah
ada di sana mencari yang terhilang itu.
Ada juga di antara sembilan puluh sembilan ekor yang bersungut-sungut
dan mengeluh karena Allah lebih mengutamakan yang satu itu, yang nakal dan
meninggalkan gereja. Atau jangan-jangan kitalahnya yang menyingkirkannya dari
persekutuan. Sekali lagi, David Hayward, pastor dan kartunis, menggambarkannya
dengan begitu apik dalam kartunnya. Kartun itu memperlihatkan Yesus yang
membawa seekor domba pelangi yang ditemukan-Nya, tetapi ditolak oleh kumpulan
domba putih karena justru merekalah yang menyingkirkan domba pelangi itu.
Jangan-jangan kita, sembilan puluh sembilan domba yang tidak hilang, yang justru
membuat membuat satu ekor itu menjadi terhilang. Kita merasa diri kita layak
sedangkan orang lain tidak layak. Kita membatasi kasih Allah yang sebanarnya
tidak terbatas dengan memberi cap “orang berdosa” kepada sesama kita yang kita
nilai buruk. Kita bukan hanya membiarkan ia hilang, tetapi yang membuatnya
hilang. Tetapi kasih Allah tidak terbatas. Ia menacari yang terhilang yang
paling tidak yang menurut kita, dan membawanya pulang. (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar