Sabtu, 28 September 2019

Rasa Cukup dan Hidup yang Kekal


Minggu Biasa 15

Amos 6:1, 4-7; Mazmur 146; 1 Timotius 6:6-19; Lukas 16:19-31

Seorang Presiden menolak tinggal di istana dan memilih hidup di ladang dan menempati rumahnya sendiri di lorong tak beraspal dan sehari-hari hanya dijaga dua pengawal di kelokan jalan. Sehari-hari ia di temani seekor anjing berkaki tiga yang setia dan ke mana-mana mengendarai sebuah VW kodok tahun 1987 yang kusam. Menurut Ibu-Bapak, adakah presiden yang demikian? Mungkin banyak yang berkata tidak mungkin ada, namun ia bukan tokoh dari negeri dongeng. Ia benar ada di abad ke-21, tepatnya tahun 2010-2015 lalu, namanya Jose Mujica, Presiden Uruguay.

Usianya kala itu 78 tahun, ia tampil dengan sepatu yang using dan baju ala kadarnya. Gajinya 20 ribu dollar, tapi 90 persen dari uang itu sumbangkan untuk orang-orang yang kekurangan. Sisanya praktis sebesar pendapatan rata-rata orang Uruguay. Bersama istrinya, Lucia Topolansky, yang juga senator (anggota dewan), ia mengolah ladangnya sendiri yang ditanami kembang krisan, tanpa pembantu.

Ia tak peduli bila orang menyebutnya eksentrik, dan tak mau disebut sebagai “presiden paling miskin di dunia.” Sebab ia mempunyai pengertian sendiri tentang miskin. Baginya, orang miskin adalah orang yang punya banyak keinginan. Sementara ia tidak. Ia bukan Buddha, bukan pula Hindu yang mengikuti Gandhi. Bagi Goenawan Mohammad – sastrawan Indonesia, penulis catatan pinggir majalah Tempo – ia begitu menakjubkan. Sebab Mujica melakoni kesahajaannya ketika berada di ruang kekuasaan dan pelbagai godaannya sebagai Presiden.

Kehidupan Jose Mujica merupakan contoh konkret dari sebuah gaya hidup dengan rasa cukup.

Paulus dalam bacaan kedua kita hari ini berbicara pada Timotius agar muridnya itu memiliki gaya hidup dengan rasa cukup. Bagaimana hidup dengan rasa cukup?
Pertama-tama kita perlu memahami “rasa cukup” dalam bahasa aslinya [yun: antarkeia] berarti pernyataan dalam benak diri akan rasa cukup dan puas atas apa yang sudah diperoleh di dunia ini. Paulus menganggap kalau sudah memperoleh makanan dan pakaian seseorang harusnya sudah merasa cukup. Dalam konteks ayat ini pakaian juga berarti pelindung diri atau tempat tinggal. Sehingga secara utuh Paulus ingin jika seseorang sudah memperoleh sandang, pangan dan papan; selayaknyalah ia, dari dalam dirinya merasa cukup, puas, dan bersyukur.

Mengapa Paulus memberi nasehat demikian? Sebab ada permasalahan saat itu, ayat 4 dan 5 mencatat bahwa “Penyakitnya ialah (ada orang-orang) mencari-cari soal dan bersilat kata, yang menyebabkan dengki, cidera, fitnah, curiga, percekcokan antara orang-orang yang tidak lagi berpikiran sehat dan yang kehilangan kebenaran, yang mengira ibadah itu adalah suatu sumber keuntungan.”

Kesemuanya ini bagi Paulus berasal dari tidak adanya rasa cukup dalam diri orang-orang. Sehingga orang-orang tersebut, entah kaya atau miskin, hidupnya berisi penyesalan, ketidakpuasan, kekecewaan, kehilangan ketentraman hati, ketamakan. Di lain sisi ada pula yang menggunakan materinya secara sewenang-wenang, misalnya: pak Bondan bermurah hati membelikan gereja lonceng baru (ting-tong) – tetapi kemurahan hati kemudian menjadi bersyarat, atau berujung dengan tindakan pemaksaan atau kontrol proses pengambilan keputusan kepada gereja.

Hal ini patut kita waspadai karena mungkin terjadi pada diri kita. Ketika seseorang merasa materi, barang, uangnya menolong banyak orang, bisa jadi hal-hal itu menggodanya untuk mengatur segala sesuatu/mengontrol orang-orang yang dibantu, saudara yang ditolong, gereja yang disumbang ataupun seseorang yang diusung menjadi pemimpin daerah. Kecintaan pada hal material termasuk uang, bukan tidak mungkin melahirkan tindakan-tindakan yang tidak sepatutnya alias jauh dari kehendak Tuhan.

Oleh karena itulah Paulus juga dengan tegas menyatakan Cinta akan uang – hari ini dapat berwujud konsumerisme – adalah akar dari kejahatan-kejahatan pribadi, komunal, dan global. Bruce Epperly menyatakan, materialisme dapat berdiri di antara kita dan Tuhan. Kecintaan pada materi perlahan-lahan akan memisahkan kita dari kebahagiaan tertinggi kita, yaitu memiliki hubungan dengan Tuhan. Padahal hanya hubungan dalam Cinta pada Tuhan sajalah yang menjamin adanya kecukupan, kesejahteraan, ketenangan, dan keseimbangan batin dalam hidup maupun mati.

Perenungan hari ini bukan berkata keyakinan kepada Tuhan membunuh kesenangan. Sebab, Timotius menegaskan, Tuhan memberi kita segala yang kita butuhkan untuk kesenangan kita. Tuhan ingin kita memiliki hidup yang berkelimpahan dan hidup dengan sukacita, tetapi ini muncul dari hubungan cinta yang sehat dengan Tuhan, keluarga, teman, komunitas, dan bahkan bumi kita.

Kebahagiaan tersebut hanya akan terjadi ketika hidup ini kita dasarkan pada perasaan cukup akan hubungan kita dengan Tuhan. Rasa cukup yang muncul dari hati dan dilahirkan dari hubungan dengan Tuhan memberi kita hati dan pikiran yang luas. Sehingga akhirnya kita pun terpanggil untuk mengisi hati dan pikiran kita dengan memikirkan kebutuhan orang lain. Semakin kita kemudian mampu bermurah hati, terlebih bagi mereka yang sebenarnya ingin kita abaikan, hakimi ataupun lupakan, sejatinya segala tindakan kita itu pun akan menambah atau meningkatkan kesadaran kita bahwa segala sesuatu yang kita miliki semua berasal dari Tuhan dan semuanya terasa cukup bagi kita. Dengan cara itu kita menjalankan tanggung jawab kita sebagai mitra Allah dalam menyembuhkan keadaan dunia.

Ingatlah dunia sedang tersakiti. Persoalan mencari-cari soal dan bersilat kata juga menjadi tantangan kita hari-hari ini. Entah dilakukan oleh politisi maupun orang-orang sekitar kita. Mari kita menjadi waspada! mengatakan "Tuhan, Tuhan" dan membaca Alkitab saja tidak cukup untuk menyelamatkan hidup kita jika kita tak peduli pada orang lain terlebih pada mereka yang miskin dan berbeban berat. Sungguh sayang, masih ada saja orang Kristen yang percaya Alkitab memelopori undang-undang yang akan merampas orang miskin dari kesetaraan pendidikan, hak memilih, perawatan kesehatan, dan kemampuan untuk merawat anak-anak mereka. Dapatkah kita bersikap apatis? Injil hari ini menegaskan bahwa ada konsekuensi untuk membayar mereka yang mengabaikan orang miskin di sekitar kita!

1 Timotius 6:18-19  mengingatkan kita untuk : berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya.

Untuk melakukannya, tak perlu menunggu menjadi kaya raya untuk berbagi, lihatlah Presiden Jose Mujica, bagaimanapun keadaannya, ia siap berbagi. Ia tidak memaksa orang lain untuk melakukan yang sama persis dengannya, ia pernah berkata “Kalau saya minta orang lain hidup seperti ini, mereka akan membunuh saya.” Tapi ia sadar, bila semua orang mengembangkan kebiasaan hidup berlebihan, bumi yang hanya satu ini tak akan memadai – dan akan rusak dieksploitasi tanpa henti. Karena itu gaya hidupnya merupakan perjuangan gerilya yang panjang dengan tujuan ia dan mudah-mudahan semua orang bisa bebas dari benda-benda. Ia sungguh menghidupkan ethos/spiritualitas pengharapan yang berkata hidup untuk dirayakan, tapi nafsu tamak diharamkan. Sebab ia percaya ada rasa keadilan dan kesetaraan yang harus dibuat manusia demi kebaikan bersama. 

Selamat merasa cukup dan mencapai hidup yang kekal!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar