Jumat, 06 September 2019

MELEPAS KEMELEKATAN


Minggu Biasa
Ulangan 30 : 15 – 20; Mazmur 1; Filemon 1 : 1 – 21; Lukas 14 : 25 – 33

Saudara, semua yang terbuat dengan waktu memiliki keterbatasan. Misalnya saja harta, tahta, tenaga, keluarga bahkan nyawa. Karena itu, segala yang kita punya itu memiliki waktu yang terbatas. Dalam keterbatasan itulah, kita diajak untuk tidak terlalu melekatkan diri kita bahkan kalau bisa melepaskan diri kita dari kemelekatan pada hal-hal yang terbatas itu. Tapi mengapa ya kita harus melepaskan diri dari kemelekatan kita pada pada hal-hal yang sesungguhnya kita butuhkan itu, yang sekaligus juga merupakan anugerah Tuhan bagi kita?
Dalam Lukas 14 : 25 – 33 bercerita tentang orang-orang yang berduyun-duyun untuk mengikuti Yesus. Untuk apa mereka mengikut Yesus? Bisa jadi karena Yesus ibarat artis di jaman itu sehingga banyak orang sekadar kepo ingin melihat dan mendengarkan pengajaranNya. Bisa jadi pula, ada yang mengikut Yesus untuk mendapat sesuatu dariNya seperti kesembuhan, makanan juga mujizat lainnya. Tetapi ada pula yang murni mengikut yesus untuk mengenal dan menjadi pengikut Yesus yang sejati.
Ketika Yesus tahu mereka yang mengikutNya dengan motivasi yang berbeda-beda, Yesus berpaling dan menyampaikan kepada mereka resiko pahit menjadi pengikut Yesus. Artinya Yesus tidak PHP (pemberi harapan palsu) dengan menawarkan kebahagiaan-kebahagiaan yang akan diterima mereka kalau jadi pengikut Yesus. Yesus berbicara fakta dan resiko pahit jika mereka mau menjadi pengikut Yesus. Ini pun menunjukkan Yesus bukan menekankan pengikut dari kuantitas (jumlah) semata tetapi kualitas diri mereka dengan tahu, menerima dan mengikut Yesus dengan segala resikonya.  
Salah 1 fakta yang harus dilakukan dan diterima oleh orang-orang yang mau mengikut Yesus, Yesus sampaikan di ay. 26 “Jikalau seorang datang kepadaKu dan ia tidak membenci bapaknya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi muridKu.” Jika saudara-saudara ada pada saat itu dan mendengarkan ucapan Yesus tadi, apa yang saudara pikirkan? Bisa jadi kita meresponnya dengan gelisah. What? Ngga salah nih Yesus bicara demikian? Bukankah yang Ia selalu tawarkan dan ajarkan adalah soal kasih? Lantas, mengapa dalam ucapannya Yesus juga mengajarkan tentang sesuatu yang konotasinya negatif, kebencian yang ditujukkan kepada keluarga bahkan nyawa sendiri?
Saudaraku, tentu maksud Yesus dengan kata “membenci” ini bukan diartikan secara hurufiah. Karena kata “membenci” yang disampaikan ini mempunyai makna lain, yang dalam konteks orang Semit menggunakan kata “miseo” yang berarti “kurang mengasihi” atau “menolak” bila diperhadapakan dengan suatu pilihan: taat kepada Allah ataukah kepada kaum keluarganya atau terhadap dirinya sendiri bila ia mendengar panggilan Allah (Dian Penuntun, edisi 28 hlm. 103).
Jadi, kebencian di sini bukan berarti manusia diajarkan Yesus untuk membenci keluarga dan dirinya sendiri. Karena tentu Yesus juga mau manusia mengasihi keluarga dan diri mereka sendiri yang juga adalah anugerah yang Tuhan beri. Tetapi, manusia juga diingatkan, bahwa semua yang manusia miliki baik keluarga bahkan nyawa sendiri adalah titipan Tuhan yang juga memiliki batasan, yang terkadang jadi pusat kemelekatan manusia ketimbang Tuhan.
Oleh karena itu, manusia diingatkan untuk melekatlah pada Sang Sumber yang tanpa batas.  Mungkin ini juga yang dimaksud Yesus dengan menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku. Karena mengikut Yesus tentu harus berani melepaskan kemelekatan pada hal-hal yang terbatas kepada Allah yang tanpa batas.
Saudara, apakah mudah melepaskan diri dari hal-hal yang didekat kita bahkan diri kita sendiri? Tentu tak mudah. Namun, bukan tak bisa. Karena Paulus dalam kehidupannya menjadi bukti bahwa ia menjadi pengikut Tuhan dengan melepaskan segala hal yang melekat padanya, yakni kekayaan, kehebatan, kehormatan dan bahkan pengetahuannya demi menjadi pengikut Yesus. Dalam Suratnya kepada Filemon (bacaan kedua), Paulus pun melepaskan Onesimus, seorang anak yang sudah dianggap sebagai anak Paulus sendiri bahkan Paulus mengatakannya sebagai buah hatinya untuk menjadi hamba terlebih saudara bagi Filemon. Karena ia tahu, ia pun sudah tua dan terbatas.
Saudara, apa yang paling melekat dengan kita di jaman sekarang? Bisa jadi jawaban kita beragam. Ada yang menjawab keluarga, uang, jabatan, gadget, drakor (drama korea), game, dll. Inilah tantangannya bagi setiap kita orang percaya di jaman now. Beranikah dan bersediakah kita melepaskan kemelekatan kita pada hal-hal duniawi dan melekatkan diri kita pada Sang Ilahi? Sulit itu pasti. Tapi bukan tak bisa. Tuhan menolong kita. (mc)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar