Sabtu, 26 Oktober 2019

Binasa Bila Meninggikan Diri


Minggu Biasa 19

Yeremia 14:7-10, 19-22 Mazmur 84:2-8 2 Timotius 4:6-8, 16-18 Lukas 18:9-14

Dalam sebuah sesi doa perenungan/reflektif seorang rekan Penatua bernama Paimo menulis “Tuhan kasihanilah saya, pendosa yang besar ini.” Tulisan itu kemudian diletakkan pada meja di depan altar untuk kemudian didoakan bersama-sama. Semua peserta doa pun melakukan hal yang sama setelah merenung dan berdoa pribadi. Oleh karena itu seorang rekan yang cukup jeli mengenali tulisan Pnt. Paimo tadi segera mendekat seusai sesi tersebut dan bertanya “Apa yang sedang menjadi pergumulan Sampean (Anda) pak pendosa yang besar?” Wajah Pnt. Paimo memerah padam dan ia menjadi marah. Mungkin saat mengatakan hal itu di hadapan Tuhan, dia bangga karena merendahkan dirinya, tapi saat orang lain mengatakan itu kepadanya, dia marah.

Cerita ini menjelaskan bahwa kerendahan hati diuji saat seseorang direndahkan. Sebab tak jarang ada orang rendah hati namun palsu adanya. Beraksi seperti rendah hati tapi tujuannya supaya orang lain memujinya. Kerendahan hatinya untuk diri sendiri bukan untuk Tuhan.

Seperti orang-orang Farisi yang ada di sekitar Yesus. Mereka mempersembahkan kurban-kurban mereka pada mezbah status sosial. Mereka mengerjakan aturan agama dengan teliti bukan demi memenuhi tuntutan Allah, mereka tak terlalu memusingkannya. Hal terpenting bagi mereka adalah bagaimana orang lain memandang kesalehan mereka. Apakah doa-doa, puasa, dan perpuluhan mereka memperkuat status mereka di mata sesamanya? Mereka melakukan semua itu untuk tontonan masyarakat, agar dilihat oleh manusia, di-like oleh follower-nya, di-subscribe oleh netizen. Apakah mereka melakukannya dengan sungguh dan tulus? Sesunggunya orang-orang Farisi itu tulus dan saleh. Masalahnya, apakah yang mereka tulusi?

Lihat saja apa yang dikerjakan Farisi dalam bacaan Injil kita tadi. Orang yang saleh itu berada di tempat terhormat dan berdoa mengucap syukur. Ia bersyukur kepada Allah karena ia bukan penipu, bukan orang yang tidak adil, tidak pernah berlaku serong. Sempat-sempatnya pula ia melirik pada si pemungut cukai sebab ia terutama bersyukur karena tidak tercela seperti si pemungut culai yang merampok orang miskin. Kemudian ia membeberkan semua perbuatan benarnya. Hukum menentukan puasa tahunan pada Hari Pendamaian, ia dengan sukarela menambahkan puasa setiap Senin dan Kamis. Ia memberikan perpuluhan untuk setiap pembelian dari pemilik toko. Kalau petani memberikan perpuluhan untuk produknya, ia memberikan perpuluhan sekali lagi, untuk memastikan segala ang ia gunakan itu kudus. Kalau diibaratkan, orang ini berdiri di puncak anak tangga keagamaan.

Sementara di saat bersamaan, seorang pemungut cukai yang diasingkan oleh orang-orang terhormat, dianggap sebagai perampok yang tidak memiliki hak asasi, berdiri pada bagian paling pinggir pelataran Bait Suci, ia tidak mencari tempat terhormat. Sebab bila seorang Farisi saleh tadi berdiri di puncak tangga keagamaan, maka ia baru nyaris bisa berdiri di anak tangga terbawah. Oleh sebab itu tentu ia tidak menengadahkan tangganya ke atas untuk mengucap syukur kepada Allah, melainkan memukuli dadanya, tanda bahwa ia benar-benar menyesali dosanya. Ia berseru kepada Allah dalam keterputusasaan, karena merasa terpisah oleh jurang pemisah dengan Allah. Bagi seorang pemungut cukai, panggilan pertobatan jauh dari undangan untuk tersenyum dan menyenangkan. Sebab pertobatan berarti meninggalkan pekerjaan mereka dan mulai dari titik nol. Bukan itu saja, pertobatan mengharuskan mereka membayar lima kali lipat kepada mereka yang pernah ditipunya. Sementara siapa saja yang pernah ditipunya mungkin ia pun tak mengingat ada berapa banyak. Dengan demikian maka pertobatan adalah suatu keadaan yang nyaris tak mungkin dilakukannya dengan tepat. Oleh karena itu, ia berseru memohon belas kasih Allah.

Di luar dugaan, kondisi sungsang muncul. Situasi menjadi terjungkir balikkan. Bandit masyarakat, pengkhianat bangsa, mendapat perkenanan Allah. Allah yang Mahakuasa menerima keberadaan si pemungut cukai, sebab ia memberikan kurban berupa hati yang remuk dan penuh penyesalan. Si pemungut cukai itupun pulang dengan pembenaran.

Kisah ini menjadi teguran keras bagi setiap orang yang dengan angkuh percaya akan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Mereka yang melaksanakan dogma agama dengan teliti dan tekun demi meninggikan diri sejatinya telah menolak Allah. Ibadah yang dilakukan terpusat pada diri sendiri mengakibatkan diri merasa pantas untuk mengejek orang lain dan tidak memberi ruang untuk mengkritik dan membenahi diri. Kesalehan-kesalehan yang dilakukan menjadi kesalehan palsu, sebab sekadar mencari pembandingan sosial.

Oleh karenanya penting bagi kita untuk melakukan kesalehan dalam beribadah kepada Tuhan dengan hati yang remuk dan penuh penyesalan. Setialah berdoa dan mengaku dosa setiap hari. Terhadap hal ini seorang muda pernah bertanya pada Pendetanya, “Apakah Pendeta juga masih mengaku dosa? Sebab bukankah semestinya Pendeta tak melakukan dosa lagi.” Sang Pendeta kemudian menjawab, semua orang harus terus berdoa dan mengaku dosa, Paus Yohanes XXIII pun pernah menyatakan bahwa setiap akan memimpin misa ia mengaku dosa. Bukan karena sombong apalagi berbohong agar terlihat menjadi teladan, namun ia melakukannya sebab ia mau dekat dengan Tuhan, Sang Cahaya Kehidupan. Supaya terlihat kekotoran yang masih ada dalam diri. Sebab dengan mendekat pada sinar maka semua akan terlihat, maka jika kita dekat pada Tuhan semua yang ada dalam diri kita akan nampak lebih jelas dan kedamaianpun tinggal tetap.

Jangan biarkan diri kita terperangkap dalam ketegangan mempertahankan ritual-ritual maupun aturan-aturan / pranata-pranata / tatanan gereja yang kaku. Yesus ingin kita terus membaharui diri, memperlengkapi diri dan sesama dengan Cinta Kasih Kristus yang memberikan kedamaian yang utuh. Ketika kita melakukan peribadahan dengan fokus pada Tuhan dan bukan pada tata caranya, maka itulah ibadah yang sejati. Ibadah yang sejati membuat kita senantiasa menemukan anugerah Tuhan dalam diri kita, menyadari anugerah-anugerah Tuhan berupa kehadiran anggota keluarga kita, mengingat anugerah-anugerah Tuhan dalam berbagai pengalaman hidup yang penuh tantangan bersama dengan berbagai orang di sekeliling kita. Hargailah keberadaan setiap anggota keluarga kita ataupun anggota gereja kita, bagaimana pun keberadaannya, apakah ia sudah sanggup hidup dengan kesalehan sejati ataupun belum. Jika memang belum, maka tugas kitalah untuk merawatnya dengan penuh kepedulian. Bukan untuk menilainya buruk, bukan pula untuk menyisihkannya atau meninggalkannya di belakang, dan bukan pula untuk meninggikan diri bahwa kita yang paling benar, namun untuk bersama-sama bertumbuh makin dekat pada Sang Cahaya Kehidupan agar setiap kita, setiap anggota keluarga menemukan keberadaan diri secara utuh sehingga terus berani membarui diri di hadapan Tuhan serta sesama.


ypp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar