Minggu VI sesudah Epifani
Ulangan 30: 15-20 | Mazmur
119:1-8 | 1 Korintus 3:1-9 | Matius 5:21-37
Suatu pagi, seorang istri
meminta suaminya untuk mengantarkannya ke pasar. Karena masih mengantuk, sang
suami menolak. Sang istri tidak bisa menerima sehingga terjadi pertengkaran di
antara mereka.
I : Nggak diantar nggak apa-apa,
tapi awas ya kalau nanti minta jajanan dari pasar.
S : Ya nggak apa-apa.
Orang ngantuk kok disuruh bangun. Ya pengertian sedikit lah.
Lalu pergilah si istri ke
pasar naik becak. Di pasar, ia membeli pisang gorang kesukaannya dan suaminya.
Sampai di rumah, sang istri sengaja lewat di depan suaminya sambil
mengibas-ngibaskan pisang goreng hangat yang baru dibelinya. Suaminya yang
mencium aroma lezat pisang goreng itu meminta untuk diberi sedikit. Si istri
lalu menjawab:
I : Jangan mengingini milik
sesamamu! (Ul. 5:21)
S : Ya. Tapi Tuhan juga berfirman:
Mintalah maka akan diberikan kepadamu (Mat. 7:7)
I : Jika seseorang tidak mau
bekerja, janganlah ia makan (2Tes. 3:10)
S : Kasihilah musuhmu dan
berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat. 5:44)
Si istri yang mendengar
itu menjadi luluh hatinya, kemudian memberikan pisang goreng itu kepada
suaminya sambil berkata: Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi (Yoh. 8:11).
Ada ungakapan berkata:
“Untuk segala sesuatu ada ayatnya.” Cerita di atas menunjukkan batapa ayat
Kitab Suci digunakan untuk kepentingan sehingga terjadilah perang ayat.
Terlihat juga ayat Kitab Suci digunakan dengan dilepaskan dari konteksnya dan
dimaknai secara harfiah agar dapat mendukung apa yang ingin seseorang
sampaikan, walaupun tidak sesuai dengan maksud dari ayat tersebut. Tanpa sadar,
orang mulai terjebak pada literalisme, yakni memahami Kitab Suci secara literal
atau harfiah. Literalisme yang seperti ini juga kemudian kemudian membawa
kepada legalisme. Legalisme adalah menempatkan diri pada posisi teologis yang
berpusat pada dogma, aturan, dan regulasi yang ketat, sehingga agama menjadi
hukum yang mengatur boleh atau tidak boleh. Kitab Suci dibaca dan dimaknai
secara harfiah sehingga apa yang tertulis dalam Kitab Suci harus diikuti
sebagaimana ia tertulis.
Pada bagian Khotbah di
Bukit yang menjadi bacaan Injil Minggu ini, Yesus menunjukkan perlawanan
terhadap cara beragama dengan literalisme dan legalisme. Dalam tradisi agama
Yahudi, Taurat yang seharusnya menjadi pengajaran dan pegangan hidup umat
sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari penindasan dan baru membentuk
identitasnya, lama-kelamaan ditambahkan dengan banyak peraturan mengenai
hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat beragama.
Peraturan-peraturan itu kemudian menjadi semakin banyak, mencapai ratusan
aturan pokok dan ribuan aturan rinci. Yang kita lihat dalam Taurat di
Perjanjian Lama masih belum seberapa. Lalu bagaimana Yesus bersikap terhadap
Hukum Taurat? Sekilas Yesus seolah menentang dan tidak menaati Hukum Taurat.
Akan tetapi, Yesus bukan menaati hukumnya secara harfiah, melainkan Ia menaati
jiwanya. Bukan bunyinya, melainkan intinya. Ia menemukan makna melampaui
kata-kata yang tertulis.
Dalam bacaan Injil kita,
Yesus mengkritik pemahaman soal hukum tentang pembunuhan dengan berkata, “Kamu
telah mendengar firman …: Jangan membunuh … Tetapi aku berkata kepadamu: setiap
orang yang merah terhadap sauadaranya harus dihukum …” (Mat. 5:21-22). Para
pemuka agama Yahudi menekankan untuk menaati hukum sebagaimana ia tertulis.
Mereka tidak boleh membunuh orang. Akan tetapi inti dari hukum itu jauh lebih
dalam. Tidak ada gunanya jika seseorang tidak pernah membunuh, namun hatinya
penuh dengan amarah dan kebencian terhadap sesamanya. Yesus menarik hukum itu jauh
ke inti masalahnya. Seseorang yang menyimpan amarah dan kebencian, apalagi itu
kemudian bertumbuh subur, akan berbuah pada kekerasan dan pembunuhan. Bagi
Yesus, membenci sama jahatnya dengan membunuh.
Soal perzinahan pun Yesus
berkata “Kamu telah mendengar
firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang
memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam
hatinya” (Mat. 5:27-28). Bagi
orang Yahudi, berzinah adalah berhubungan seks dengan istri atau suami orang
lain. Namun, sekalipun orang-orang Yahudi menahan diri untuk tidak berhubungan
seks dengan orang lain yang bukan pasangannya, beberapa selalu memendam hawa
nafsu terhadap orang lain di dalam pikirannya. Pikiran yang dipenuhi nafsu dan
terus disimpan membuat seseorang tidak mampu menahan diri dan menjadikan orang
lain sebagai objek pemuas nafsu birahi. Pemerkosaan banyak terjadi bukan karena
korban yang menggoda atau mengundang, tetapi karena pelakunaya berpikiran kotor
dan tidak bisa menahan nafsu birahinya.
Yesus mengajak pendengar
Khotbah di Bukit dan kita sekarang ini untuk dapat memahami teks melampaui
kata-kata yang tertulis dan menemukan maknanya. Yesus memberi pemahaman agar
terhindar dari literalisme dan legalisme. Sayangnya sekarang ini banyak orang Kristen
yang menjadikan kata-kata Yesus ini sebagai hukum yang dimaknai secara literal
dan legalistik. Misalnya Ada seorang lelaki yang dari jendela kamar kostnya
dapat melihat tetangganya perempuan mandi dari celah yang terbuka. Dia sering
dengan sengaja melihat keluar jendela untuk mengintap tetangganya itu mandi.
Suatu saat ia membaca Alkitab pada bagian Matius 5:29, “… jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan
buanglah itu …” Karena merasa berdosa
ia lalu mencungkil matanya, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit karena
pendarahan hebat. Padahal Yesus berkata demikian dalam rangka memberi pemahaman
bahwa perzinahan muncul dari pikiran kotor dan hawa nafsu.
Soal perceraian pun demikian. Apa yang
Yesus bicarakan dalam Matius 5:31-32 adalah untuk menempatkan perempuan dalam
kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam kehidupan pernikahan. Pasalnya,
perceraian saat itu dapat dilakukan dengan mudah, suami dapat menyatakan tidak
lagi menjadi suami dengan alasan sederhana, misalnya karena tidak mempunyai
anak. Surat cerai yang diperintahkan Musa, yang seharusnya membatasi tindakan
sewenang-wenang suami terhadap istri, justru dijadikan alat untuk mengesahkan
perceraian yang sewenang-wenang. Perkataan Yesus “kecuali karena zinah”
bertujuan untuk menempatkan pernikahan sebagai hubungan setara, bukan untuk
menjadikan pasangan sebagai objek pemuas nasfu. Namun demikian, sering kali
orang Kristen menghakimi mereka yang bercerai dengan mengatakan mereka berzinah
dan melanggar perintah Tuhan, tanpa memahami latar belakang dan pergumulan
orang yang bercerai. Mereka tidak peduli bahwa si istri dipukuli sampai hampir
mati oleh suaminya yang senang main perempuan dan tidak bertanggung jawab
terhadap keluarga. Pengajaran Yesus untuk tidak bercerai dipahami secara
literal dan legalistik, sehingga berujung pada penghakiman.
Yesus mengajak kita untuk
menemukan makna yang melampaui kata-kata, menemukan jiwa di balik aturan dan
pengajaran. Mari melihat kehidupan beragama kita saat ini. Bagimana kita
memaknai Firman Allah dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita menjadikannya
sebagai hukum tertulis yang baku dan kaku, sehingga kita menggunakannya untuk
kepentingan dan penghakiman terhadap sesama? Atau kita mengejar esensi dari
Firman Allah, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama? Jangan sampai
kita begitu menekankan apa yang tertulis dalam Kitab Suci secara harfiah dan
sempit, sehingga kita kehilangan esensinya, namun carilah apa yang menjadi
maksud kata-kata tersebut yang menjadi jiwa yang menginspirasinya, yakni cinta
kasih kepada Allah dan sesama. (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar