Jumat, 14 Februari 2020

MELAMPAUI KATA, MENEMUKAN MAKNA

Minggu VI sesudah Epifani

Ulangan 30: 15-20 | Mazmur 119:1-8 | 1 Korintus 3:1-9 | Matius 5:21-37


Suatu pagi, seorang istri meminta suaminya untuk mengantarkannya ke pasar. Karena masih mengantuk, sang suami menolak. Sang istri tidak bisa menerima sehingga terjadi pertengkaran di antara mereka.
I   :   Nggak diantar nggak apa-apa, tapi awas ya kalau nanti minta jajanan dari pasar.
S  :   Ya nggak apa-apa. Orang ngantuk kok disuruh bangun. Ya pengertian sedikit lah.
Lalu pergilah si istri ke pasar naik becak. Di pasar, ia membeli pisang gorang kesukaannya dan suaminya. Sampai di rumah, sang istri sengaja lewat di depan suaminya sambil mengibas-ngibaskan pisang goreng hangat yang baru dibelinya. Suaminya yang mencium aroma lezat pisang goreng itu meminta untuk diberi sedikit. Si istri lalu menjawab:
I   :   Jangan mengingini milik sesamamu! (Ul. 5:21)
S  :   Ya. Tapi Tuhan juga berfirman: Mintalah maka akan diberikan kepadamu (Mat. 7:7)
I   :   Jika seseorang tidak mau bekerja, janganlah ia makan (2Tes. 3:10)
S  :   Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat. 5:44)
Si istri yang mendengar itu menjadi luluh hatinya, kemudian memberikan pisang goreng itu kepada suaminya sambil berkata: Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi (Yoh. 8:11).

Ada ungakapan berkata: “Untuk segala sesuatu ada ayatnya.” Cerita di atas menunjukkan batapa ayat Kitab Suci digunakan untuk kepentingan sehingga terjadilah perang ayat. Terlihat juga ayat Kitab Suci digunakan dengan dilepaskan dari konteksnya dan dimaknai secara harfiah agar dapat mendukung apa yang ingin seseorang sampaikan, walaupun tidak sesuai dengan maksud dari ayat tersebut. Tanpa sadar, orang mulai terjebak pada literalisme, yakni memahami Kitab Suci secara literal atau harfiah. Literalisme yang seperti ini juga kemudian kemudian membawa kepada legalisme. Legalisme adalah menempatkan diri pada posisi teologis yang berpusat pada dogma, aturan, dan regulasi yang ketat, sehingga agama menjadi hukum yang mengatur boleh atau tidak boleh. Kitab Suci dibaca dan dimaknai secara harfiah sehingga apa yang tertulis dalam Kitab Suci harus diikuti sebagaimana ia tertulis.

Pada bagian Khotbah di Bukit yang menjadi bacaan Injil Minggu ini, Yesus menunjukkan perlawanan terhadap cara beragama dengan literalisme dan legalisme. Dalam tradisi agama Yahudi, Taurat yang seharusnya menjadi pengajaran dan pegangan hidup umat sebagai sebuah bangsa yang baru lepas dari penindasan dan baru membentuk identitasnya, lama-kelamaan ditambahkan dengan banyak peraturan mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh umat beragama. Peraturan-peraturan itu kemudian menjadi semakin banyak, mencapai ratusan aturan pokok dan ribuan aturan rinci. Yang kita lihat dalam Taurat di Perjanjian Lama masih belum seberapa. Lalu bagaimana Yesus bersikap terhadap Hukum Taurat? Sekilas Yesus seolah menentang dan tidak menaati Hukum Taurat. Akan tetapi, Yesus bukan menaati hukumnya secara harfiah, melainkan Ia menaati jiwanya. Bukan bunyinya, melainkan intinya. Ia menemukan makna melampaui kata-kata yang tertulis.

Dalam bacaan Injil kita, Yesus mengkritik pemahaman soal hukum tentang pembunuhan dengan berkata, “Kamu telah mendengar firman …: Jangan membunuh … Tetapi aku berkata kepadamu: setiap orang yang merah terhadap sauadaranya harus dihukum …” (Mat. 5:21-22). Para pemuka agama Yahudi menekankan untuk menaati hukum sebagaimana ia tertulis. Mereka tidak boleh membunuh orang. Akan tetapi inti dari hukum itu jauh lebih dalam. Tidak ada gunanya jika seseorang tidak pernah membunuh, namun hatinya penuh dengan amarah dan kebencian terhadap sesamanya. Yesus menarik hukum itu jauh ke inti masalahnya. Seseorang yang menyimpan amarah dan kebencian, apalagi itu kemudian bertumbuh subur, akan berbuah pada kekerasan dan pembunuhan. Bagi Yesus, membenci sama jahatnya dengan membunuh.

Soal perzinahan pun Yesus berkata “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27-28). Bagi orang Yahudi, berzinah adalah berhubungan seks dengan istri atau suami orang lain. Namun, sekalipun orang-orang Yahudi menahan diri untuk tidak berhubungan seks dengan orang lain yang bukan pasangannya, beberapa selalu memendam hawa nafsu terhadap orang lain di dalam pikirannya. Pikiran yang dipenuhi nafsu dan terus disimpan membuat seseorang tidak mampu menahan diri dan menjadikan orang lain sebagai objek pemuas nafsu birahi. Pemerkosaan banyak terjadi bukan karena korban yang menggoda atau mengundang, tetapi karena pelakunaya berpikiran kotor dan tidak bisa menahan nafsu birahinya.

Yesus mengajak pendengar Khotbah di Bukit dan kita sekarang ini untuk dapat memahami teks melampaui kata-kata yang tertulis dan menemukan maknanya. Yesus memberi pemahaman agar terhindar dari literalisme dan legalisme. Sayangnya sekarang ini banyak orang Kristen yang menjadikan kata-kata Yesus ini sebagai hukum yang dimaknai secara literal dan legalistik. Misalnya Ada seorang lelaki yang dari jendela kamar kostnya dapat melihat tetangganya perempuan mandi dari celah yang terbuka. Dia sering dengan sengaja melihat keluar jendela untuk mengintap tetangganya itu mandi. Suatu saat ia membaca Alkitab pada bagian Matius 5:29, “… jika matamu yang kanan menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu …” Karena merasa berdosa ia lalu mencungkil matanya, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit karena pendarahan hebat. Padahal Yesus berkata demikian dalam rangka memberi pemahaman bahwa perzinahan muncul dari pikiran kotor dan hawa nafsu.

Soal perceraian pun demikian. Apa yang Yesus bicarakan dalam Matius 5:31-32 adalah untuk menempatkan perempuan dalam kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam kehidupan pernikahan. Pasalnya, perceraian saat itu dapat dilakukan dengan mudah, suami dapat menyatakan tidak lagi menjadi suami dengan alasan sederhana, misalnya karena tidak mempunyai anak. Surat cerai yang diperintahkan Musa, yang seharusnya membatasi tindakan sewenang-wenang suami terhadap istri, justru dijadikan alat untuk mengesahkan perceraian yang sewenang-wenang. Perkataan Yesus “kecuali karena zinah” bertujuan untuk menempatkan pernikahan sebagai hubungan setara, bukan untuk menjadikan pasangan sebagai objek pemuas nasfu. Namun demikian, sering kali orang Kristen menghakimi mereka yang bercerai dengan mengatakan mereka berzinah dan melanggar perintah Tuhan, tanpa memahami latar belakang dan pergumulan orang yang bercerai. Mereka tidak peduli bahwa si istri dipukuli sampai hampir mati oleh suaminya yang senang main perempuan dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarga. Pengajaran Yesus untuk tidak bercerai dipahami secara literal dan legalistik, sehingga berujung pada penghakiman.

Yesus mengajak kita untuk menemukan makna yang melampaui kata-kata, menemukan jiwa di balik aturan dan pengajaran. Mari melihat kehidupan beragama kita saat ini. Bagimana kita memaknai Firman Allah dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita menjadikannya sebagai hukum tertulis yang baku dan kaku, sehingga kita menggunakannya untuk kepentingan dan penghakiman terhadap sesama? Atau kita mengejar esensi dari Firman Allah, yakni cinta kepada Allah dan cinta kepada sesama? Jangan sampai kita begitu menekankan apa yang tertulis dalam Kitab Suci secara harfiah dan sempit, sehingga kita kehilangan esensinya, namun carilah apa yang menjadi maksud kata-kata tersebut yang menjadi jiwa yang menginspirasinya, yakni cinta kasih kepada Allah dan sesama. (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar