Jumat, 28 Februari 2020

IMAN DI PERSIMPANGAN JALAN


Minggu I dalam Masa Prapaska

Kejadian 2:15-17; 3:1-7 | Mazmur 32 | Roma 5:12-19 | Matius 4:1-11


Setiap orang memiliki identitas. Sering kali kita menentukan identitas berdasarkan relasi kita dengan orang lain. Misalnya, seseorang disebut kakek karena ia memiliki cucu. Seseorang menjadi ayah karena ia memiliki anak. Begitu pun sebaliknya, seseorang tidak dapat disebut ayah jika ia tidak memiliki anak atau tidak dapat disebut kakak jika ia tidak memiliki adik. Namun demikian semua orang pasti memiliki identitas berdasarkan relasi dengan sesamanya. Ini kita sebut sebagai identitas relasional.

Teks leksionari hari ini, khususnya Kejadian dan Matius, juga berbicara soal identitas relasional. Ini terkait dengan pencobaan yang dialami baik oleh Adam dan Hawa maupun oleh Yesus. Pencobaan yang ada dalam kedua teks ini seringkali dikaitkan dengan pencobaan atas iman seseorang.  Bagaimana Adam dan Hawa dicobai sehingga mereka berada pada persimpangan di mana mereka harus memilih untuk taat kepada Allah atau mengikuti perkataan si ular. Atau tentang Yesus yang dicobai imannya ketika ia berpuasa selama 40 hari di padang gurun. Pencobaan terhadap Yesus serta Adam dan Hawa tidak hanya berbicara soal bagaimana mereka harus memilih di antara dua pilihan atau berada pada persimpangan, melainkan soal identitas relasional mereka dengan Allah. Karena itu sekalipun tema yang diberikan adalah “Iman di Persimpangan Jalan”, yang menjadi fokus dalam khotbah ini justru adalah soal identitas relasional.

Dalam Kejadian dikisahkan tentang Adam dan Hawa yang setelah mereka diperintahkan oleh Allah untuk tidak memakan buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat, digoda oleh ular untuk memakan buah pohon tersebut. Sebenarnya si ular menggoda Adam dan Hawa dengan perkataan yang tidak sepenuhnya salah. Ia berkata, “Sekali-kali kamu tidak akan mati … pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.” Mengapa tidak sepenuhnya salah? Secara fisik memang Adam dan Hawa tidak mati setelah memakan buah itu, namun relasi mereka dengan Allah menjadi rusak. Mereka terpisah dari Allah, Sang Sumber Kehidupan. Selain itu, mereka pun menjadi sama seperti Allah, namun hanya dalam hal pengetahuan akan yang baik dan yang jahat. Di sinilah kelemahan Adam dan Hawa, yang membuat mereka jatuh. Mereka ditawarkan oleh si ular sebuah identitas yang baru yang membuat mereka ingin lebih dari apa yang seharusnya. Alih-alih menjadi ciptaan Allah mereka ditawarkan untuk menjadi sama seperti Allah, atau bahkan menjadi Allah sendiri. Di sini terlihat bahwa pencobaan ular kepada Adam dan Hawa terkait soal identitas mereka, yakni soal identitas relasional mereka dengan Allah. Dengan memilih untuk memakan buah itu mereka seolah-olah mau menunjukkan bahwa mereka tidak membutuhkan Allah dan mereka ingin menjadi Allah.

Di lain pihak, Yesus dicobai bukan dengan cara ditawari sebuah identitas baru melainkan dengan dipertanyakan identitas-Nya.  Pada waktu Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun, Iblis mencobai-Nya dengan menantang Dia untuk mengubah batu menjadi roti, menjatuhkan diri-Nya dari bubungan Bait Allah,  serta diberikan seluruh kerajaan dunia jika Ia menyembah iblis. Kembali lagi, ini bukanlah soal bagaimana iman Yesus diuji di persimpangan antara pilihan taat kepada Allah atau taat kepada iblis; Bukan juga pencobaan soal kekuasaan, kekayaan, atau kejayaan, melainkan soal identitas. Jika kita perhatikan, setiap pencobaan yang diberikan oleh si iblis diawali dengan perkataan “Jika engkau Anak Allah.” Dengan begini sebenarnya si iblis sedang mempertanyakan identitas Yesus sebagai Anak Allah. Ia pun memengaruhi Yesus untuk meragukan identitas-Nya sebagai Anak Allah.

Berbeda dengan Adam dan Hawa yang justru tergoda untuk meragukan identitas mereka dan menginginkan identitas yang lain, Yesus tidak terpengaruh dengan apa yang ditawarkan iblis. Yesus pun tidak melawan perkataan iblis itu dengan tindakan yang frontal, melainkan dengan tetap menunjukkan identitas-Nya sebagai Anak Allah yang tak perlu dipertanyakan. Jika kita melihat teks yang mendahului perikop ini, kita akan menemukan alasan Yesus tidak mudah dipengaruhi oleh iblis. Ketika Yesus dibaptis, ada suara yang berkata, “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan.” Proklamasi Allah terhadap Yesus sebagai Anak Allah inilah yang menguatkan Yesus untuk terus berada pada sebuah identitas relasional dengan Allah. Jawaban-jawaban Yesus dengan demikian menunjukkan kebergantungan yang utuh kepada Allah. Ketika ditantang untuk mengubah batu menjadi roti, Yesus menyatakan bahwa manusia hidup juga dari firman Allah. Ketika ditantang untuk menjatuhkan diri dari bubungan bait Allah, Yesus menjawab bahwa tidak pantas ia mencobai Allah. Ketika dijanjikan kekuasaan dengan syarat menyembah iblis, Yesus menyatakan bahwa hanya Allah saja yang patut disembah. Tanpa perlu pembuktian dengan melakukan tantangan si iblis, Yesus sebenarnya sedang menyatakan dengan tindakan dan perkataan-Nya bahwa Ia adalah Anak Allah yang diperkenan. Ia tidak terpengaruh untuk membuktikan identitas-Nya atau meragukan identitas-Nya sebagai Anak Allah.

Kita pun mungkin sering mengalami pencobaan-pencobaan yang mempertanyakan identitas kita. Ada banyak tawaran yang mengajak kita untuk memiliki identitas lain yang bukan diri kita atau tawaran-tawaran untuk meragukan keberadaan diri kita. Pencobaan-pencobaan itu datang bukan dari si iblis atau dari si ular, melainkan dari hal-hal yang ada di sekitar kita. Setiap hari kita diperhadapkan dengan iklan yang berusaha untuk membuat kita merasa kurang, merasa tidak aman, atau merasa tidak berharga, yang membuat kita meragukan indentitas pemberian Allah kepada kita. Contohnya iklan-iklan peninggi badan, pelangsing tubuh, pemutih kulit, pelurus rambut, dan hal-hal lain yang membuat kita merasa diri tidak berharga. Atau dengan tawaran-tawaran untuk memiliki mobil baru dengan rumah yang besar dan mewah atau jabatan dan kekuasaan yang membuat kita ingin mendapatkan identitas yang tidak kita miliki, sama seperti Adam dan Hawa yang ingin menjadi seperti Allah. Iklan-iklan di sekeliling kita membuat kita meragukan identitas kita dengan berkata bahawa kita kurang tinggi, kurang tampan/cantik, kurang pintar, kurang terkenal, atau kurang kaya.

Meskipun demikian, kita berlajar dari Yesus untuk memagang teguh identitas yang diberikan Bapa-Nya, Anak Allah yang kekasih, sehingga ia tidak perlu lagi mempertanyakan dan meragukan keberadaan diri-Nya. Dengan ini kita diajak untuk bersyukur dengan keberadaan diri kita dan mengimani bahwa Allah mengasihi kita. Dalam pembaptisan-Nya, Yesus diteguhkan sebagai Anak Allah yang kekasih, maka kita pun yang dipersatukan dengan Kristus dalam kematian dan kebangkitan-Nya dirangkul menjadi anak-anak Allah yang dikasihi-Nya. Inilah juga yang dikatakan Rasul Paulus dalam surat Roma, “…jauh lebih besar lagi kasih karunia Allah dan karunia-Nya, yang dilimpahkan-Nya atas semua orang karena satu orang, yaitu Yesus Kristus.”

Jika identitas kita adalah anak-anak Allah yang dikasihi dan diselamatkan, maka segala tawaran dan pencobaan dunia ini tidak perlu memengaruhi siapa diri kita. Oleh karena itu, kita diajak untuk bersyukur dengan keberadaan kita yang merupakan pemberian Allah ini. Kita juga belajar untuk beriman pada kasih Allah yang merangkul kita menjadi anak-anak-Nya. Dengan demikian, kita dapat menerima diri kita dengan segala kelebihan, kekurangan, dan komplesitasnya, berdamai dengan diri sendiri serta memberi dampak positif bagi lingkungan kita. (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar