Minggu Paska VI #masihdirumah
Yohanes 14:15-21
Dalam situasi pandemi sekarang
ini, ada banyak orang yang mengalami kehilangan. Sejak kasus pertama di
Indonesia tanggal 2 Maret 2020 sampai 12 Mei 2020, ketika tulisan ini diunggah,
sudah ada 991 orang yang meninggal akibat Covid-19. Di seluruh dunia bahkan
sudah ada 287.245 orang meninggal dunia. Bayangkan betapa banyak orang di Indonesia
yang kehilangan orang terkasih dan terdekat mereka dalam waktu dua bulan.
Begitu banyak kehilangan di dunia ini selama empat bulan jika kita hitung dari
kasus pertama di Wuhan. Ini belum termasuk orang-orang yang meninggal bukan
karena Covid, namun terjadi pada masa pandemi Covid. Juga ada dokter dan tenaga
medis yang terpapar virus selama merawat pasien. Ada jemaat yang kehilangan
pendeta mereka yang meninggal baik karena Covid maupun karena hal lain pada
masa pandemi Covid. Indonesia juga kehilangan tokoh-tokoh hebat yang
menginspirasi, seperti Glenn Fredly, Didi Kempot, dan Adi Kurdi dalam waktu
yang berdekatan. Banyak orang yang berduka dan berkabung akibat kehilangan.
Kehilangan yang kita alami bukan
hanya kehilangan orang terdekat, orang terkasih, atau orang yang menjadi
inspirasi kita. Ada orang-orang yang harus kehilnagan pekerjaannya karena
di-PHK. Kehilangan pendapatan karena jualannya sepi pembeli. Ada yang merasa kehilangan
karena saudaranya tidak bisa pulang kampung/mudik sampai entah kapan. Ada yang
keluarga dan saudaranya adalah tenaga media yang mendedikasikan dirinya merawat
pasien Covid di Rumah Sakit, dan tidak bisa pulang ke rumah. Ada juga yang
kehilangan jaminan akan masa depannya, kebutuhan pokok hidupnya, kehilangan
rasa aman, dan kehilangan-kehilangan yang lain. Bukan saja kehilangan, banyak
dari antara kita juga yang pasti mengalami tekanan karena terdampak secara
ekonomi oleh pandemi covid-19 ini. Ada banyak yang mengalami kemalangan pada
masa-masa ini.
Namun demikian, berbicara soal
kehilangan dan kemalangan yang menimpa kita bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak
dari antara kita yang mau terbuka mengungkapkan kehilangan atau kemalangannya
kepada orang lain. Minggu lalu, waktu Majelis Jemaat mendata warga jemaat
terdampak Covid dan membutuhkan bantuan, ada orang yang sangat membutuhkan
bantuan dan ini diketahui oleh seorang penatua. Akan tetapi begitu ditawarkan,
orangnya menolak. Entah karena ia merasa masih mampu atau karena tidak mau
terbuka tentang keadaannya. Di lain pihak, ketika berhadapan dengan orang yang
tertimpa kemalangan atau kehilangan, kita sering gagap. Kita tidak tahu mau
bicara apa, karena kata-kata penghiburan rasanya tidak cukup untuk menguatkan
mereka. Bahkan kadang akhirnya kita malah jadi menjauh dari mereka. Apalagi
dalam kondisi #dirumahaja seperti ini.
Firman Tuhan hari ini bicara
tentang saat-saat terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya. Yesus berbincang dengan
murid-murid-Nya pada Kamis malam setelah perjamuan terakhir. Sebelumnya, Yesus
sudah banyak bicara soal kasih dan mengajarkan mereka untuk saling mengasihi,
saling peduli satu sama lain, dan inilah saat Yesus mau pamit dari mereka.
Mereka gelisah, mereka tertekan. Seperti Firman Minggu lalu, Yesus sebenarnya
sudah menasihati mereka untuk tidak gelisah dan takut. Tapi ketakutan mereka
akan kehilangan sosok Yesus sebagai Guru, Sahabat, dan Gembala mereka ternyata
masih ada. Ada perasaan kehilangan yang mungkin sulit untuk mereka ungkapkan.
Karena itu, Yesus berkata bahwa Ia tidak akan membiarkan mereka menjadi yatim
piatu, karena akan datang penolong yang lain, yakni Roh Kudus.
Sang Penolong ini disebut parakletos dalm Bahasa Yunani, artinya
penolong, penghibur, pembela, penyokong, atau konselor. Jadi, Yesus adalah
pendamping dan penolong yang utama bagi murid-murid. Saat ini, Yesus akan
pergi, dan karena itu akan ada penolong yang lain atau parakletos ini, yakni Roh Kudus yang mendorong, menyokong, dan
menguatkan. Makna parakletos yang
paling mendasar adalah “to come alongside
another”, “berada di samping satu sama lain”, atau “menjadi pendamping bagi
satu sama lain”. Dengan ini sebenarnya, kehadiran Roh Kudus itu menjadi nyata
ketika kita sebagai gereja mampu untuk saling mendampingi, untuk berada di
samping satu sama lain, untuk menjadi penolong dan penghibur bagi satu sama
lain; ketika kita menjalin relasi kasih satu dengan yang lain, ketika kita mau
peduli kepada rekan kita, ketika kita mau mendengarkan keluh kesahnya; atau ketika
kita mau terbuka dan percaya pada rekan kita untuk menceritakan pengalaman kita.
Kehadiran Roh Kudus ini justru memampukan kita untuk menjadi penolong dan
penghibur bagi satu sama lain, saling menjadi parakletos bagi satu sama lain.
Saudara, dalam keadaan krisis
seperti ini, ada banyak kehilangan, banyak duka, banyak luka dan kemalangan.
Pada masa ini, kita dipanggil menjadi komunitas Roh Kudus dalam relasi dan
cinta kasih. Kita dipanggil untuk berada di samping satu sama lain, menjadi penlong
bagi satu sama lain. Dengan demikian kita sedang menyatakan bahwa kita
sepenuhnya mengasihi Yesus, dan meneladani apa yang Ia lakukan. Saat ini
mungkin kita tidak bisa berada di samping sesama kita secara fisik, tetapi “to come
alongside” itu bisa kita lakukan dengan kepeduliaan kita, sapaan kita lewat
WA, kiriman sembako ke rumah teman, atau sumbangan kepada orang-orang yang
terdampak melalui gereja, pesanan kepada mereka yang buka usaha supaya usahanya
tetap jalan. Bahkan sangat mungkin kita saling menjadi sabahat yang mau
mendengarkan keluh kesah teman-teman kita yang kehilangan, yang tertimpa
kemalangan karena pandemi ini. Di lain pihak kita pun bisa berkeluh kesah
kepada rekan kita, sahabat kita. Kita bisa terbuka dan mengungkapkan isi hati
kita yang mungkin kehilangan atau tertimpa kemalangan. Kita menjadi penolong dan
penghibur bagi satu sama lain.
Pada saat ini, ketika kita lebih
banyak #dirumahaja, tantangan terberat kita justru adalah menjadi penolong dan
penghibur bagi keluarga kita sendiri di rumah. Banyak kasus di mana justru ketika
pasangan selama beberapa bulan ini selelu bertemu setiap saat di rumah, mereka
jadi sering berantem. Bahkan ada sampai terjadi KDRT, karena kehilangan privasi
atau karena kebosanan kejenuhan. Ada juga yang saling curiga, si istri keluar
rumah untuk kerja, suaminya curiga dia jadi carrier.
Atau sebaliknya, suami keluar rumah untuk kerja, istrinya menurigai dia dan
takut tertular. Kita malah jadi takut dan curiga dengan pasangan kita sendiri. Saudara,
ketika keadaan membuat kita untuk saling curiga, bahkan dengan anggota keluarga
kita sendiri, saat ini justru kita diajak untuk berada di samping mereka,
menjadi sahabat, penolong, penghibur, menjadi parakletos dalam relasi cinta kasih.
Saudara, mungkin saat ini kita
bertanya, “Bagaimana saya mau menolong yang lain kalau saya saja susah?” Semua
orang saat ini pasti terdampak, besar atau pun kecil. Di antara kita semua
pasti banyak pula yang merasakan tekanan, ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran.
Ada pula yang merasakan kehilangan dan kemalangan akibar pandemi ini. Tapi di
sinilah panggilan kita bukan hanya untuk menjadi penghibur bagi yang lain,
tetapi saling menghibur. Kita diajak bukan untuk berada “di samping yang lain”,
tetapi “berada di samping satu sama lain.” Katika saudara kita lemah, kita yang
menguatkan. Ketika kita lemah, saudara kita yang menguatkan. Kita terluka
bersama, kita saling memulihkan. Dengan inilah, karya Roh Kudus itu menjadi
nyata dalam kehidupan bergereja. Mari menjadi parakletos bagi satu sama lain sambil tetap beriman dan
berpengharapan pada penghiburan dan pertolongan dari Sang Parakletos, yaitu Allah dalam Roh Kudus. Amin.
(thn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar