Selasa, 12 Mei 2020

BERGEREJA DALAM KASIH DAN RELASI


Minggu Paska VI #masihdirumah
Yohanes 14:15-21

Dalam situasi pandemi sekarang ini, ada banyak orang yang mengalami kehilangan. Sejak kasus pertama di Indonesia tanggal 2 Maret 2020 sampai 12 Mei 2020, ketika tulisan ini diunggah, sudah ada 991 orang yang meninggal akibat Covid-19. Di seluruh dunia bahkan sudah ada 287.245 orang meninggal dunia. Bayangkan betapa banyak orang di Indonesia yang kehilangan orang terkasih dan terdekat mereka dalam waktu dua bulan. Begitu banyak kehilangan di dunia ini selama empat bulan jika kita hitung dari kasus pertama di Wuhan. Ini belum termasuk orang-orang yang meninggal bukan karena Covid, namun terjadi pada masa pandemi Covid. Juga ada dokter dan tenaga medis yang terpapar virus selama merawat pasien. Ada jemaat yang kehilangan pendeta mereka yang meninggal baik karena Covid maupun karena hal lain pada masa pandemi Covid. Indonesia juga kehilangan tokoh-tokoh hebat yang menginspirasi, seperti Glenn Fredly, Didi Kempot, dan Adi Kurdi dalam waktu yang berdekatan. Banyak orang yang berduka dan berkabung akibat kehilangan.

Kehilangan yang kita alami bukan hanya kehilangan orang terdekat, orang terkasih, atau orang yang menjadi inspirasi kita. Ada orang-orang yang harus kehilnagan pekerjaannya karena di-PHK. Kehilangan pendapatan karena jualannya sepi pembeli. Ada yang merasa kehilangan karena saudaranya tidak bisa pulang kampung/mudik sampai entah kapan. Ada yang keluarga dan saudaranya adalah tenaga media yang mendedikasikan dirinya merawat pasien Covid di Rumah Sakit, dan tidak bisa pulang ke rumah. Ada juga yang kehilangan jaminan akan masa depannya, kebutuhan pokok hidupnya, kehilangan rasa aman, dan kehilangan-kehilangan yang lain. Bukan saja kehilangan, banyak dari antara kita juga yang pasti mengalami tekanan karena terdampak secara ekonomi oleh pandemi covid-19 ini. Ada banyak yang mengalami kemalangan pada masa-masa ini.

Namun demikian, berbicara soal kehilangan dan kemalangan yang menimpa kita bukanlah hal yang mudah. Tidak banyak dari antara kita yang mau terbuka mengungkapkan kehilangan atau kemalangannya kepada orang lain. Minggu lalu, waktu Majelis Jemaat mendata warga jemaat terdampak Covid dan membutuhkan bantuan, ada orang yang sangat membutuhkan bantuan dan ini diketahui oleh seorang penatua. Akan tetapi begitu ditawarkan, orangnya menolak. Entah karena ia merasa masih mampu atau karena tidak mau terbuka tentang keadaannya. Di lain pihak, ketika berhadapan dengan orang yang tertimpa kemalangan atau kehilangan, kita sering gagap. Kita tidak tahu mau bicara apa, karena kata-kata penghiburan rasanya tidak cukup untuk menguatkan mereka. Bahkan kadang akhirnya kita malah jadi menjauh dari mereka. Apalagi dalam kondisi #dirumahaja seperti ini.

Firman Tuhan hari ini bicara tentang saat-saat terakhir Yesus dengan murid-murid-Nya. Yesus berbincang dengan murid-murid-Nya pada Kamis malam setelah perjamuan terakhir. Sebelumnya, Yesus sudah banyak bicara soal kasih dan mengajarkan mereka untuk saling mengasihi, saling peduli satu sama lain, dan inilah saat Yesus mau pamit dari mereka. Mereka gelisah, mereka tertekan. Seperti Firman Minggu lalu, Yesus sebenarnya sudah menasihati mereka untuk tidak gelisah dan takut. Tapi ketakutan mereka akan kehilangan sosok Yesus sebagai Guru, Sahabat, dan Gembala mereka ternyata masih ada. Ada perasaan kehilangan yang mungkin sulit untuk mereka ungkapkan. Karena itu, Yesus berkata bahwa Ia tidak akan membiarkan mereka menjadi yatim piatu, karena akan datang penolong yang lain, yakni Roh Kudus.

Sang Penolong ini disebut parakletos dalm Bahasa Yunani, artinya penolong, penghibur, pembela, penyokong, atau konselor. Jadi, Yesus adalah pendamping dan penolong yang utama bagi murid-murid. Saat ini, Yesus akan pergi, dan karena itu akan ada penolong yang lain atau parakletos ini, yakni Roh Kudus yang mendorong, menyokong, dan menguatkan. Makna parakletos yang paling mendasar adalah “to come alongside another”, “berada di samping satu sama lain”, atau “menjadi pendamping bagi satu sama lain”. Dengan ini sebenarnya, kehadiran Roh Kudus itu menjadi nyata ketika kita sebagai gereja mampu untuk saling mendampingi, untuk berada di samping satu sama lain, untuk menjadi penolong dan penghibur bagi satu sama lain; ketika kita menjalin relasi kasih satu dengan yang lain, ketika kita mau peduli kepada rekan kita, ketika kita mau mendengarkan keluh kesahnya; atau ketika kita mau terbuka dan percaya pada rekan kita untuk menceritakan pengalaman kita. Kehadiran Roh Kudus ini justru memampukan kita untuk menjadi penolong dan penghibur bagi satu sama lain, saling menjadi parakletos bagi satu sama lain.

Saudara, dalam keadaan krisis seperti ini, ada banyak kehilangan, banyak duka, banyak luka dan kemalangan. Pada masa ini, kita dipanggil menjadi komunitas Roh Kudus dalam relasi dan cinta kasih. Kita dipanggil untuk berada di samping satu sama lain, menjadi penlong bagi satu sama lain. Dengan demikian kita sedang menyatakan bahwa kita sepenuhnya mengasihi Yesus, dan meneladani apa yang Ia lakukan. Saat ini mungkin kita tidak bisa berada di samping sesama kita secara fisik, tetapi “to come alongside” itu bisa kita lakukan dengan kepeduliaan kita, sapaan kita lewat WA, kiriman sembako ke rumah teman, atau sumbangan kepada orang-orang yang terdampak melalui gereja, pesanan kepada mereka yang buka usaha supaya usahanya tetap jalan. Bahkan sangat mungkin kita saling menjadi sabahat yang mau mendengarkan keluh kesah teman-teman kita yang kehilangan, yang tertimpa kemalangan karena pandemi ini. Di lain pihak kita pun bisa berkeluh kesah kepada rekan kita, sahabat kita. Kita bisa terbuka dan mengungkapkan isi hati kita yang mungkin kehilangan atau tertimpa kemalangan. Kita menjadi penolong dan penghibur bagi satu sama lain.

Pada saat ini, ketika kita lebih banyak #dirumahaja, tantangan terberat kita justru adalah menjadi penolong dan penghibur bagi keluarga kita sendiri di rumah. Banyak kasus di mana justru ketika pasangan selama beberapa bulan ini selelu bertemu setiap saat di rumah, mereka jadi sering berantem. Bahkan ada sampai terjadi KDRT, karena kehilangan privasi atau karena kebosanan kejenuhan. Ada juga yang saling curiga, si istri keluar rumah untuk kerja, suaminya curiga dia jadi carrier. Atau sebaliknya, suami keluar rumah untuk kerja, istrinya menurigai dia dan takut tertular. Kita malah jadi takut dan curiga dengan pasangan kita sendiri. Saudara, ketika keadaan membuat kita untuk saling curiga, bahkan dengan anggota keluarga kita sendiri, saat ini justru kita diajak untuk berada di samping mereka, menjadi sahabat, penolong, penghibur, menjadi parakletos dalam relasi cinta kasih.

Saudara, mungkin saat ini kita bertanya, “Bagaimana saya mau menolong yang lain kalau saya saja susah?” Semua orang saat ini pasti terdampak, besar atau pun kecil. Di antara kita semua pasti banyak pula yang merasakan tekanan, ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran. Ada pula yang merasakan kehilangan dan kemalangan akibar pandemi ini. Tapi di sinilah panggilan kita bukan hanya untuk menjadi penghibur bagi yang lain, tetapi saling menghibur. Kita diajak bukan untuk berada “di samping yang lain”, tetapi “berada di samping satu sama lain.” Katika saudara kita lemah, kita yang menguatkan. Ketika kita lemah, saudara kita yang menguatkan. Kita terluka bersama, kita saling memulihkan. Dengan inilah, karya Roh Kudus itu menjadi nyata dalam kehidupan bergereja. Mari menjadi parakletos bagi satu sama lain sambil tetap beriman dan berpengharapan pada penghiburan dan pertolongan dari Sang Parakletos, yaitu Allah dalam Roh Kudus. Amin.
(thn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar