Rabu, 15 Juli 2020

LALANG DI TENGAH GANDUM

Minggu Biasa
Yesaya 44:6-8 | Mazmur 86:11-17| Roma 8:12-25 | Matius 13:24-30, 36-43


Minggu ini, bacaan Injil masih berbicara soal dunia pertanian seperti Minggu lalu. Jika Minggu lalu, perumpaan Yesus tentang seorang penabur menunjukkan seorang penabur yang sembrono, yang menaburkan benihnya di sembarang tempat, kali ini orang yang menaburkan benih itu terlihat lebih siap. Ia manaburkan benih di ladangnya, yang sepertinya sudah diolah dan dipersiapkan untuk ditaburi benih. Ia tidak menaburkan benih di tanah yang berbatu-batu atau di antara semak-semak berduri, melainkan di tanah yang subur. Apa buktinya? Buktinya ada musuh yang menaburkan benih lalang atau alang-alang di ladang dan dapat bertumbuh dengan baik. Apa hubungannya?

Lalang adalah sejenis rumput berdaun tajam yang dapat mencapai tinggi satu meter. Lalang atau alang-alang tidak suka tumbuh di tanah yang miskin unsur hara, gersang atau berbatu-batu. Tumbuhan ini tumbuh dengan baik pada tanah yang cukup subur, banyak disinari matahari sampai agak teduh, dengan kondisi lembap atau kering. Dengan demikian, maka ladang yang ditaburi gandum dalam bacaan Injil kita, dapat dikatakan sebagai tanah subur dan tidak berbatu-batu. Hanya saja, lalang kerap menjadi gulma pada lahan pertanian, sehingga harus disingkirkan dari lahan pertanian. Ia juga mengambil unsur hara yang dibutuhkan tanaman-tanaman pertanian.

Dalam perumpamaan-Nya, Yesus mengatakan bahwa ada seorang yang menaburkan benih di ladangnya. Namun, pada waktu malam, datanglah musuh yang sengaja menabur benih lalang di ladang gandumnya. Tujuannya jelas untuk merusak ladang gandum dan menggangu pertubuhan gandum, karena lalang memang menjadi gulma pada lahan pertanian. Di ladang gandum itu, kedua tumbuhan ini tumbuh bersama tanpa disadari pemilik ladang. Ketika pada akhirnya ketahuan bahwa ada lalang yang tumbuh di antara gandum, para hamba pemilik ladang mengusulkan untuk mencabut lalang dari ladang gandumnya, “Jadi maukah tuan supaya kami pergi mencabut lalang itu?”

Saudara, orang Kristen kerap kali bertindak seperti para hamba pemilik lahan. Jelas kita yang percaya adalah hamba-hamba Kristus, Sang Anak Manusia. Namun, kadang kita bertindak secara spesifik seperti hamba-hamba dalam perumpaan ini. Kita merasa berhak untuk memisahkan orang benar dan orang jahat atau orang sesat. Kadang kita menjadi hakim yang merasa diri selalu benar lalu memasukkan orang-orang ke dalam kelompok-kelompok, yang benar dan yang sesat, yang layak dan yang tidak layak, yang masuk kelompok kita dan kelompok mereka. Bahkan di dalam kehidupan bergereja kita sering membedakan mana gandum dan mana lalang, lalu mencabut lalang itu dari persekutuan gereja. Kita menjadi lebih buruk daripada hamba-hamba itu. Hamba-hamba dalam perumpamaan Yesus masih meminta izin tuannya, sedangkan kita kadang berlagak seperti tuan dan merasa berhak untuk menghakimi.

Masalah bertambah besar karena kita menghakimi orang lain dan memasukkan mereka ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan subjektivitas kita yang belum tentu benar. Subjektivitas ini membuat yang benar dan yang salah menjadi kabur. Kecurigaan dan stereotipe kerap menjadi ukuran kita dalam menilai, sehingga apa yang belum tentu memang benar-benar salah kita nilai salah dan kita hakimi. Siapa yang kita kategorikan orang berdosa dan tidak layak, jangan-jangan dia layak bagi Allah. Karena itulah, dalam perumpamaan Yesus, sang pemilik lahan tidak mengizinkan para hamba untuk bertindak mencabut lalang di ladang gandum.


Lalang memang menjadi gulma bagi tanaman gandum. Hanya saja, bentuk lalang yang menjulang naik ke atas tanah dan berbunga ini agak sulit dibedakan dengan tanaman padi-padian, terutama gandum, yang belum berbiji dan masih hijau. Ini yang menyebabkan pemilik ladang berkata, “Jangan, sebab mungkin gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu.” Karena bentuknya yang mirip, sang pemilik ladang khawatir jika para hambanya nanti tidak sengaja mencabut gandum, padahal tujuannya adalah mencabut lalang. Sang tuan tahu bahwa para hamba mungkin menilai secara subjektif dan bisa salah mencabut lalang. Karena itu sebenarnya kita tidak berhak untuk menghakimi orang lain dan mengelompokkan orang-orang ke dalam kelompok benar-salah, kudus-berdosa, layak-tak layak yang kita buat sendiri. Karena subjektivitas manusia bisa saja salah dalam menilai dan mengategorikan orang.

Tindakan yang diambil sang tuan ladang adalah membiarkan kedua tumbuhan ini tumbuh bersama sampai masa menuai. Di sini kita melihat gambaran Allah yang penuh rahmat kepada semua yang diciptakan-Nya, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar (Mat. 5:45). Ia memberikan kesempatan bagi semua untuk bertumbuh hingga saat menuai, yakni pada penghakiman terakhir. Pada saat menuai, gandum yang siap dituai akan mudah dibedakan dari lalang. Juga kedua tumbuhan itu dapat dicabut bersamaan, lalu disortir. Artinya, biarkan penghakiman Allah berlaku nanti pada kedatangan Tuhan kembali. Sebagaimana Ia memisahkan kambing dari domba, Ia juga memisahkan lalang dari gandum. Penghakiman bukanlah hak kita para hamba-Nya, melainkan hak Allah sendiri sebagai Tuhan dan penguasa atas seluruh semesta ini.

Perumpamaan ini sebenarnya mau mengkritik orang-orang Farisi yang merasa selalu benar dan menghakimi orang lain. Mereka senang memisahkan diri dari sesama yang mereka anggap najis lalu mengucilkan orang najis dari masyarakat. Ini juga menjadi kritik bagi kita yang selalu merasa diri benar dan membatasi rahmat Allah hanya pada diri dan kelompok kita, bahkan mungkin yang berniat mengucilkan “orang-orang berdosa” dari tengah jemaat. Yesus tidak mau para pengikut-Nya menjadi hamba-hamba yang merasa diri benar dan menghakimi orang lain.

Kita sebenarnya dipanggil menjadi gandum yang hidup di ladang. Gandum adalah sumber makanan pokok yang memberi kehidupan. Ia adalah gambaran manusia yang mau menghadirkan dan berbagi kehidupan. Kita diminta untuk tetap teguh dan berbagi hidup dengan orang lain, bahkan di tengah situasi dan kondisi yang berbahaya tetap bertumbuh menjadi baik. Tapi kita juga bisa menjadi lalang yang adalah tanaman liar yang merusak. Ia menjadi gambaran ketidakpedulian terhadap sesama dan sifat yang merusak dan mengganggu kehidupan. Sebenarnya tindakan para hamba yang mau mencabut tanaman pun tidak berbeda dengan ini, tindakan yang merusak kehidupan. Karena itu marilah terus berbagi kehidupan. Sebagaimana Allah menyatakan rahmat-Nya kepada semua orang, marilah kita juga menghadirkan kehidupan bagi sesama. Amin.
(thn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar