Selasa, 28 Juli 2020

ARAHKANLAH HATIMU KEPADA TUHAN


Yes 55:1-5 | Mzm 145:8-9, 14-21 | Rm 9:1-5 | Mat 14:13-21


Kisah bacaan kita Minggu ini diawali dengan sebuah rasa duka yang mendalam yang dialami Yesus. Bagaimana tidak, Ia mendengar kabar bahwa Yohanes Pembaptis mati dibunuh. Dengan duka itu, Yesus ingin mencoba menyendiri, mengasingkan diri dengan perahu (ay. 13). Namun, orang-orang mengikutinya. Sekali lagi, Yesus tak diberi kesempatan menyendiri. Apa Yesus menolak mereka atas kesedihan yang sedang dirasakanNya? Mat 14:14 menuliskan, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka dan Ia menyembuhkan mereka yang sakit. Ya, begitulah Yesus. Dalam segala hal, Ia tetap menaruh kasih pada manusia. Namun, bagian epic dari kisah ini tidak dalam hal ini, namun ketika tiba saat malam hari, dan orang-orang yang mengikutinya belum makan. Kisah bagaimana mereka bisa makan bersama ini akan menjadi bagian yang akan kita cermati dengan lebih mendalam.

Kisah Yesus memberi makan lima ribu orang adalah salah satu peristiwa yang paling dikenal dalam sejarah kehidupan Yesus yang disaksikan Alkitab. Bagi saya sendiri secara pribadi, kisah ini begitu melekat sejak diajarkan saat Sekolah Minggu. Yang membuat begitu luar biasa dan melekat adalah bayangan bagaimana Yesus bisa melakukannya, “Bukankah tadi rotinya cuma 5 dan ikannya cuma 2, kok bisa dibagikan kepada lima ribu orang, ya?” Demikian kira-kira yang saya bayangkan. Entah bagaimana dulu Guru Sekolah Minggu mengajarkannya, namun yang terbangun dalam imaji pada saat itu adalah Yesus menyulap lima roti dan dua ikan itu, dan voilaaa, ikan dan rotinya tidak habis-habis dibagikan, bahkan sisa. Selain imaji tentang Yesus menjadi seorang pesulap hebat, ide itu diperkuat dengan sebuah film lawas tentang Yesus. Film itu menunjukkan ketika Yesus mengangkat roti dan ikan itu, lalu tidak habis saat dibagikan. Film lawas itu makin memantapkan imaji. Apakah memang demikian cara Yesus membuat lima roti dan dua ikan itu menjadi cukup dimakan lima ribu orang atau lebih?

Mari kita tidak terburu-buru. Ingat, teks Matius 14:13-21 tidak sekalipun berbicara bagaimana Yesus menjadikan lima roti dan dua ikan itu cukup bahkan lebih. Berarti, peristiwa abracadabra di atas juga merupakaan terkaan (baca: tafsiran). Adakah tafsiran lain? Pasti ada.

Coba kita perhatikan teksnya, Tetapi orang banyak mendengarnya dan mengikuti Dia dengan mengambil jalan darat dari kota-kota mereka. Ketika Yesus mendarat, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya... Yang ikut makan kira-kira lima ribu laki-laki, tidak termasuk perempuan dan anak-anak. Jelas, yang mengikut Yesus semakin bertambah dari kota ke kota, hingga akhirnya menjadi ribuan. Ada laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Mari bersepakat bahwa di antara laki-laki dan perempuan itu adalah ayah dan ibu, atau dengan kata lain adalah para orangtua dari anak-anak itu. Ketika mereka berjalan jauh, masakan mereka tidak membawa bekal, paling tidak untuk anak-anaknya? Lalu, bagaimana dengan perkataan para murid, "Tempat ini sunyi dan hari sudah mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat membeli makanan di desa-desa." (Mat 14:15) Mereka semua belum makan! Bukankah mereka membawa, namun mengapa belum makan? Di sinilah banyak kalangan penafsir sepakat bahwa sebenarnya mereka membawa makanan, namun mereka kuatir jika harus mengeluarkan makanan mereka. Mereka takut jika makanan mereka keluarkan, sedangkan yang lain tidak membawa, mereka kuatir makanan mereka tidak akan cukup. Jika disederhanakan dengan bahasa yang lebih ringkas; PELIT. Namun, Yesus yang mengangkat roti dan ikan lalu membagikannya, membuat mereka semua ikut membuka hati  dengan cara membuka bekal makan mereka dan membagikannya. Kisah ini akan semakin menyentuh jika kita membaca dalam Markus 6:30-44 dimana seorang anak kecil yang dipakai. Ya, tafsiran lain dari teks ini adalah mujizat terjadi ketika Yesus membuka hati mereka semua, membuat jiwa-jiwa yang tadi dipenuhi rasa kuatir dan rasa takut akan kekurangan, menjadi hati yang berlimpah dengan sukacita untuk memberi.

Lalu, bagaimana sekarang? Anda tim apa? Tim Abracadabra atau Tim Pembuka Hati? Apapun pilihan kita, dua pilihan di atas adalah tafsiran, dan kita tahu bahwa sejatinya tafsiran tidak ada yang absolut benar, hanya saja selalu bersifat mendekati kebenaran. Yang jadi soal adalah ketika kita memutlakkan salah satu tafsiran yang menganggap tafsiran lain salah, bahkan sesat atau bidat. Namun itulah kita manusia, seringkali terlalu berfokus pada ‘cara’. ‘Cara’ yang sebenarnya bisa menjadi begitu banyak dan bervariasi, namun karena alasan subjektif, kita mendewakan salah satu cara. Bukankah banyak perpecahan terjadi karena adanya perbedaan cara, madzab, dalil, tafsiran, isme-isme, serta hal lain?

Coba kita menengok kembali pada teks. Di awal perikop sudah dijelaskan bahwa Yesus sedang ingin menyendiri karena duka kehilangan saudara. Namun, ketika Ia sendiri sedang berjuang dengan dukaNya, Ia tetap punya cinta untuk dibagikan bagi manusia, Ia melihat orang banyak yang besar jumlahnya, maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan kepada mereka (Mat 14:13). Bagaimana jika anda di posisi Yesus? Kalau saya, saya akan semakin muak. Saya meyakini, Yesus sengaja mengambil waktu untuk benar-benar menyendiri. Entah itu karena sedih yang begitu mendalam, atau Ia sedang mempergumulkan panggilanNya, bahwa suatu saat Ia juga akan mati atas ketaatan kepada Sang Bapa. Namun, Ia tetaplah Yesus, yang memiliki hati penuh kasih bagi manusia. Oleh sebab itu, Ia menghampiri mereka dan menyembuhkan mereka. Ingat, Ia sendiri sedang terluka, namun Ia nekat menyembuhkan yang lain. Tidak berhenti di situ, ketika para murid menyarankan agar Yesus menyuruh mereka pergi ke desa-desa untuk membeli makan, Ia justru berkata, "Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan.” Ia juga memikirkan perut mereka. Ketika Yesus meminta lima roti dan dua ikan itu, Ia mengucap berkat. Ada sebuah peristiwa yang begitu memesona sebelum akhirnya Yesus membagikan itu bagi mereka. Dikatakan dalam Matius 14:19, Yesus menengadah ke langit dan mengucap berkat. Kata ‘menengadah ke langit’ berasal dari bahasa Yunani ἀναβλέψας (anablepsas), yang artinya ‘melihat ke atas’. Kata ini juga dipakai dalam Markus 7:34, ketika Yesus menyembuhkan seorang tuli, Kemudian sambil menengadah ke langit (ἀναβλέψας) Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! Sebuah gerak ilahi yang benar-benar ditunjukkan oleh Yesus yang begitu sarat makna. Apakah itu hanya sebuah ritual? Saya rasa bukan. Menengadah ke langit memiliki sebuah dimensi bahwa Ia mengarahkan hatiNya kepada Bapa di Sorga. Dalam belarasa yang Yesus miliki bagi manusia, ia membawa pergumulan dunia dan menaikannya kepada Bapa. Sebuah tindakan yang begitu mempesona di antara perut-perut yang lapar. Jika memang demikian, Yesus meneladankan kepada kita sebuah gerak liturgi dalam hidup untuk terus menengadah ke langit (baca: Allah). Tindakan inilah yang seharusnya mendapat perhatian penuh dari kita. Hati Yesus yang penuh belas kasih itulah hati yang mengarah kepada Allah untuk memelihara segenap ciptaanNya. Yesus menjadi perantara antara pergumulan perut-perut yang lapar kepada Allah. Yesus secara sengaja memasukkan rasa lapar itu dalam karya kasih Allah Tritunggal. Pergumulan perut-perut yang lapar itu dilayakkan untuk menjadi sebuah agenda karya Allah Tritunggal untuk merawat ciptaan yang sedang berduka. Seorang Teolog Asia, Choan Seng Song pernah menuliskan dalam bukunya, “jika kita hendak memberi orang-orang miskin sebuah Injil, kenyangkan dulu perutnya”. Song ingin berkata bahwa pergumulan perut lapar adalah pergumulan yang layak mendapatkan sentuhan, yakni rasa kenyang. Dalam peristiwa Yesus yang menengadah ke langit itulah seharusnya kita konsentrasikan perenungan kita. Hati Yesus itulah tempat kita mengarahkan perhatian kita, sehingga kita akan terlepas dari perdebatan mujizat Yesus, antara abracadabra atau Pembuka Hati.

Dalam tradisi liturgi gereja Reformasi, peristiwa mengarahkan hati kepada Allah disebut sursum corda, dimana arti harafiahnya bukan mengarahkan hati, namun mengangkat hati kepada Allah. Kita sebagai GKI juga akrab dengan formula ini, yakni dalam pengutusan:
PF        Arahkanlah hatimu kepada Tuhan!
U         Kami mengarahkan hati kami kepada Tuhan

Ajakan untuk mengarahkan hati inilah yang harus kita refleksikan dalam hidup kita, apalagi di masa pandemi ini. Apakah kita tetap mengarahkan hati kita kepada Allah meskipun kita ada dalam kesesakan? Yesus menunjukkan bahwa hatiNya tertuju kepada Allah untuk menolong umatNya. Seorang Teolog Indonesia, yang juga pendeta GKI, Pdt. Joas Adiprasetya, pernah mengkritik perihal sursum corda, menjadi extra-sursum corda. Adiprasetya mempunyai pendapat bahwa kita dalam ibadah sudah mengarahkan hati kita kepada Allah, sehingga ketika pulang sudah selayaknya kita mengarahkan hati kita kepada dunia, dan menjadi sahabat bagi seluruh ciptaan. Iya, memang demikianlah bagaimana Yesus mengarahkan hati kepada Allah. Ia menengadah ke langit (ἀναβλέψας) untuk memelihara anak-anakNya, yakni dengan memberi mereka makan. Sebenar-benarnya mengarahkan hati kita kepada Allah adalah ketika hati kita mengarah kepada sekitar kita. Mata kita tidak buta melihat kelaparan. Hidung kita tidak mampet untuk mencium adanya ketidakadilan. Telinga kita tidak tuli untuk mendengar keluh kesah teman kita. Tangan kita tidak menjadi lumpuh untuk mengusap air mata sahabat yang sedang berduka. Itulah makna mengarahkan hati kepada Allah.

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar