Selasa, 15 September 2020

BEKERJA UNTUK TUHAN DENGAN SUKACITA

 Minggu Biasa

Yunus 3:10-4:11 | Mazmur 145:1-8 | Filipi 1:21-30 | Matius 20:1-16


Dalam dunia pekerjaan, tentu sudah sangat wajar apabila orang yang berkeja lebih lama akan mendapatkan upah lebih besar, atau memiliki jabatan yang lebih tinggi. Jika yang terjadi adalah seseorang yang berkeja lebih lama mendapatkan upah yang sama dengan seseorang yang baru bekerja, tentu kita akan menyebutnya ketidakadilan. Ini juga yang dapat kita lihat dalam perumpamaan Yesus tentang orang-orang upahan di kebun anggur. Jika menggunakan prinsip ekonomi dan keadilan bagi para pekerja, tentu kita akan melihat bahwa yang dialami para pekerja yang seharian mengalami ketidakadilan karena mereka diupah sama dengan para pekerja yang hanya bekerja satu jam. Pemikiran ini tentunya baik, karena kita memikirkan tentang keadilan, dan ini membawa kita untuk memperjuangkan keadilan. Namun ini tidak selalu demikian. Terkadang keadilan yang disuarakan itu bersumber dari egosentrisme. Ini bisa juga kita lihat dalam perumpamaan Yesus tadi.

Mari kita lihat dari sudut pandang para pekerja. Pertama, pekerja yang datang terakhir. Mereka adalah orang-orang yang sudah menganggur seharian karena tidak ada yang mempekerjakan mereka. Bayangkan pada hari itu mereka memikirkan bagaimana mereka akan pulang ke rumah tanpa membawa apa-apa, sementara sudah pukul 5 sore dan jam kerja hanya sampai pukul 6, sementara mereka harus memberi makan keluarga. Dalam keadaan seperti, datanglah tuan tanah menawarkan mereka pekerjaan, tanpa menyebutkan upah. Dalam pikiran mereka mungkin mereka akan dapat bekerja walaupun sebentar, dan diupah walaupun sedikit. Mareka mungkin tidak mengharapkan banyak, apalagi mengharapkan uang saku tambahan. Yang penting adalah mereka bisa makan hari itu. Setelah bekerja, mereka semua dikumpulkan untuk menerima upah. Ternyata mereka yang bekerja satu jam menerima upah yang sama dengan mereka bekerja seharian penuh. Tentu ini membuat mereka sangat bersyukur karena apa yang mereka terima jauh melebih ekspektasi mereka.

Di lain pihak, ada orang-orang yang memang sudah dikontrak sejak awal untuk bekerja di kebun anggur. Biasanya mereka adalah orang-orang pilihan yang khusus dipekerjakan untuk memanen anggur. Dengan keutamaan mereka, mereka dijanjikan untuk menerima upah satu dinar sehari, sesuai dengan upah pekerja harian, dan mereka sepakat. Mereka bekerja seharian di bawah panas matahari, hingga sore hari waktu menerima upah. Ketika mendengar bahwa orang-orang yang bekerja satu jam menerima upah satu dinar, mereka berharap bahwa mereka akan menerima lebih karena mereka telah bekerja seharian. Namun apa yang mereka terima juga di luar ekspektasi mereka. Sama dengan yang datang terakhir, mereka pun menerima upah satu dinar. Ini membuat mereka protes karena merasa diperlakukan tidak adil. Mereka yang bekerja seharian penuh ini menerima upah yang sama dengan mereka yang bekerja satu jam saja. Tentu, jika berbicara soal kedailan, protes para pekerja ini sah-sah saja. Tetapi yang dikatakan oleh pemilik kebun kemudian, “Saudara, aku tidak berlaku tidak adil… Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?”

Para pekerja ini direkrut dengan perjanjian upah di awal, dan jika mereka profesional mereka akan menghargai perjanjian itu. Namun, karena iri hati terhadap para pekerja yang datang kemudian, mereka lalu menuntut kedilan dari pemilik lahan. Tidak ada yang salah memang dengan menuntut keadilan. Hanya saja tuntutan itu tidak datang dari kepedulian, melainkan dari egosentrisme dan rasa iri hari. Iri hati ini terlihat dari perkataan pemilik lahan, “Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?” juga dari perkataan para pekerja itu, “Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari.” Bagi mereka, tidak pantas menyamakan orang-orang yang hanya bekerja satu jam itu dengan mereka yang bekerja lebih berat dan lebih susah. Mereka iri karena pakerja yang datang terakhir menerima upah yang sama dengan mereka.

Jika kita melihat sikap pemilik lahan, tentu ia pun tidak profesinal karena ia menyamaratakan upah untuk semua pekerja. Ia berbuat sesuka hati dengan uang yang dimilikinya (bnd. Ayat 15). Namun perumpaan Yesus ini tidak bicara soal profesionalitas dalam dunia kerja. Melalui perumpamaan ini, Yesus hendak berbicara soal kemurahhatian Allah kepada semua ciptaan-Nya, tanpa pandang bulu. Di lain pihak, Yesus juga menunjukkan bahwa ada orang-orang yang merasa diri lebih baik, lebih giat bekerja, lebih utama, dan menganggap orang lain tidak layak menerima anugerah yang sama dengan mereka. Mereka menuntut keadilan bukan karena rasa keadilan, melainkan karena iri hati dengan orang lain.

Saudara, bukankah kita pun terkadang demikian; menuntut keadilan berdasarkan iri hati dan egosentrisme? Kita merasa diri kita yang paling Kristen, paling saleh, paling beragama, sehingga tidak terima ketika ada yang menyatakan bahwa Allah magasihi semua orang, bahkan orang yang dianggap paling berdosa. Kita merasa paling aktif melayani di gereja, dan menilai orang lain tidak seberjasa kita dalam melayani. Kita tidak melayani dengan sukacita, tetapi dengan iri hati. Mungkin ada yang tidak terima jika seorang yang baru dibaptis diangkat menjadi panitia Hari Raya Gerejawi. Atau merasa seorang janda/duda cerai tidak layak menjadi guru Sekolah Minggu, karena dianggap berdosa. Atau ada juga merasa bahwa pasangan hamil di luar nikah tidak layak diampuni dan diberkati pernikahannya di gereja. Ada juga yang mungkin tidak terima ketika ada seorang mantan narapidana diteguhkan menjadi penatua. Kita merasa orang lain tidak layak menerima pengharagaan yang sama seperti kita, karena mereka beru mengenal Tuhan atau pernah berdosa sementara kita lebih berjasa.

Saudara, tema Minggu ini adalah “Bekerja untuk Tuhan dengan Sukacita.” Namun, bagaimana kita bisa bekerja untuk Tuhan denganh sukacita, jika hati kita diliputi rasa iri terhadap orang lain, dan dipenuhi keinginan untuk mencari kepentingan diri sendiri? Bagaimana kita bisa bekerja dengan sukacita jika kita cemburu dan tidak suka jika ada orang lain yang dihargai, padahal kita merasa diri kita jauh lebih kompeten atau lebih saleh? Yunus, dalam bacaan pertama kita pun demikian. Ia tidak terima juga orang-orang Niniwe yang tidak dapat membedakan tangan kanan dan kiri itu menerima pengampunan dari Tuhan. Karena itulah ia tidak bekerja dengan sukacita, dan melarikan diri dari panggilan Tuhan. Tetapi, kemurahan Allah memang ditujukan bagi semua ciptaannya, dan tidak layak seorang Yunus (dan kita) mengeluh karena Allah bermurah hati bagi semua orang.

Kita bersama-sama bekerja di ladang Tuhan. Jika kita merasa lebih benar, lebih berjasa, atau lebih saleh daripada orang lain, tidak akan ada sukacita dalam hati kita ketika bekerja untuk Tuhan. Sukacita akan kita rasakan ketika kita bersyukur atas kebaikan dan anugerah Tuhan kepada sesama kita yang baru mengenal Tuhan, atau yang m bertobat dari kesalahan-kesalahan mereka di masa lalu. Jika Allah saja bermurah hati untuk memberi anugrah, mengapa kita iri hati karena menerima anugerah yang sama?

(ThN)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar