Sabtu, 29 Januari 2022

MENGHADAPI PENOLAKLAN DENGAN KASIH

Minggu ke-4 seduah Epifani

Lukas 4:21-30

Minggu ini kita akan berbicara mengenai penolakan. Kata orang, hal paling menakutkan di dunia adalah penolakan. Entah ditolak pendapatnya, ditolak keberadaannya, apalagi ditolak cintanya. Meski demikian, ternyata ada juga orang-orang yang mengalami penolakan tidak tumbang. Sebut saja seorang penulis yang bernama J. K. Rowling. Dia ditolak 13 penerbit ketika mengusung cerita yang telah ditulisnya dengan alasan ceritanya terlalu rumit untuk anak-anak. Namun, apa dia berhenti? Tidak. Ternyata, ada penerbit yang mau menerbitkan tulisannya. Dan, Rowling menjadi miliarder pertama karena sebuah tulisan fiksi. Bukan hanya Rowling, seorang tentara yang mencoba mendaftarkan resep ayamya, juga ditolak berkali-kali. Ada yang mencatat, 1009 kali ia ditolak. Mungkin, penolakan sekali dua kali kita masih bisa berkata “berjuang”, namun jika belasan bahkan ribuan?

Kisah yang kita renungkan Minggu ini, adalah lanjutan dari Minggu lalu; Yesus di Nazaret. Jika teks Minggu lalu hanya sampai pada Yesus selesai membaca nas Yesaya mengenai Tahun Rahmat Tuhan, minggu ini adalah bagaimana respon orang-orang setelahnya. Apakah mereka suka akan ajaran Yesus? Jelas. Dituliskan bahwa mereka ‘membenarkann’ apa yang dikatakan oleh Yesus (lih. Luk 4:22). Namun kemudian, mereka menolak Yesus. Mengapa demikian?

Setidaknya ada dua alasan pokok mengenai mengapa Yesus ditolak menurut Injil Lukas. Lukas menceritakan dengan lugas dan sederhana, dan memaparkan sesuatu yang bisa kita renungkan bersama.

Alasan pertama; status sosial. Mengapa? Ya, jika kita perhatikan, setelah mereka terkagum-kagum, mereka mempertanyakan asal muasal Yesus. “Bukankah Ia ini anak Yusuf?”. Legitimasi sosial Yesus dipertanyakan mereka. Orang Yahudi terbiasa berpikir tentang keturunan dan semua latar belakang manusia. Keabsahan Yesus membaca nas Yesaya yang tadinya indah, kemudian mereka ragu dan tolak karena status sosial Yesus. Mungkin mereka hendak berkata, “anak tukang kayu saja mau berbicara mengenai Taurat”. Menjengkelkan jika dipikir-pikir, namun itu ada sejak dulu, bahkan sekarang.

Ada pun alasan kedua, adalah karena Yesus berkata jujur. Bukannya ‘jujur itu mujur’ dan bukan sebaliknya, ‘jujur itu hancur’? Yesus menunjukkan kenyataan tentang kasih Allah bagi ciptaan. Yesus menjelaskan bagaimana Elia, yang bisa saja memiliki kisah epik bersama janda-janda Israel, namun justru dengan janda di Sarfat, daerah Sidon. Allah merahmati janda Sarfat itu. Bukan hanya itu, Yesus juga mengingatkan mereka tentang Elisa yang bisa saja menyembuhkan orang-orang sakit kusta, namun justru Naaman, yang jelas-jelas bukan orang Israel. Mengapa kejujuran ini ditolak? Ya jelas saja ditolak. Orang Israel selalu PD dengan statusnya sebagai ‘umat pilihan dan kepunyaan Allah’, justru Yesus berkata hal yang sama sekali tidak mengistimewakan mereka sebagai bangsa pilihan. Untuk itulah Yesus ditolak.

Apakah penolakan semacam ini bisa kita alami? Sangat bisa. Dimanapun, bahkan oleh siapapun. Penolak-penolakan itu mungkin bisa kita dapatkan dan bisa jadi itu sangat meyakinkan. Lalu bagaimana, ketika kenyataannya kita ditolak? Jika tema ini mengajak kita untuk menghadapi penolakan dengan kasih, bisakah kita mengasihi? Kita akan merespon, kedua alasan mengapa Yesus ditolak, dan mengandai-andai saja, bilamana kita ditolak.

Pertama, jika kita ditolak karena alasan status sosial kita. Mungkinkah? Ya tentu saja sangat mungkin. Manusia zaman sekarang, seakan-akan dibentuk untuk melihat siapa yang berbicara; apa latar belakang pendidikannya, siapa orangtuanya, pekerjaan apa yang ia miliki, dan alasan-alasan lainnya. Dengan alasan-alasan itu, orang bisa saja memandang kita sebelah mata, menyepelekan, akhirnya menolak kita. Apakah kita akan merasa sakit hati? Sebenarnya, ketika kita sakit hati, berarti kita mengiyakan dan membenarkan apa yang mereka katakan. Jika demikian, berarti kita ikut memandang rendah diri dan tidak mengasihi diri sendiri. Bukankah sebelum kita mengasihi sesama, kita harus mengasihi diri sendiri terlebih dahulu (lih. Mat 22:37-40)? Sebenarnya, jika kita memiliki cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, kita tidak akan mudah terprovokasi oleh anggapan-anggapan buruk orang lain. Itulah kaish, yakni bagaimana kita mengasihi diri sendiri. Mengapa demikian? Bukankah kita ini berharga di mata Allah? Kasih Allah dalam penebusan Yesus, menunjukkan bahwa kita ini berharga. Jika Allah saja menganggap kita berharga, mengapa kita harus terprovokasi omongan orang lain.

Kedua, mengenai hal kejujuran. Yesus mengatakan apa adanya. Ia jujur tentang kasih Allah bagi semua manusia, dan bukan hanya Israel. Lalu, Ia ditolak beramai-ramai. Bagaimana jika kita juga jujur kepada yang lain, lalu ditolak? Misalkan saja, ada seorang pemandu pujian yang suaranya kurang jelas. Jemaat kasak-kusuk karena merasa tidak terpandu dengan baik. Kita coba jujur, mengingatkan dengan baik dan sopan, namun orang itu mengamuk dan marah. Pertanyaannya, apakah anda akan berhenti jujur untuk mengingatkan karena kapok? Bisa jadi kita akan ‘mogok jujur’, tidak mau berbuat baik lagi. Namun, jika kita memiliki kasih, apakah respon itu akan mematikan hati kita yang selalu ingin mengasihi? Tentu tidak. Bunda Teresa pernah berkata, what you spend years building maybe destroyed overnight; built it anyway. Kita tetap harus mengasihi, dan tidak kapok meski kita dikecewakan karena sebuah penolakan.

Kedua model penolakan itu bisa ada di sekitar kita, namun bagaimana kita menghadapinya tetap dengan kasih. Kita tidak ditolak oleh Tuhan, bahkan diundangnya masuk dalam kesatuan dengan-Nya. Makan di meja perjamuan-Nya yang kudus. Itu adalah modal bagi kita untuk tetap mengasihi meski ditolak.

Satu hal perenungan terakhir untuk menutup renungan kita. Yesus ditolak, adalah ketika Ia belum mulai pelayanan-Nya. Ia baru ambil ancang-ancang, yakni ketika Ia sudah dibaptis, dicobai, lalu pulang kampung. Kalau Yesus ditolak dan dia tidak melanjutkan karya kasih, tidak akan ada mujizat-mujizat dan karya penebusan di atas kayu salib. Jadi, bila ditolak? Tetaplah mengasihi, tetaplah berkarya.

ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar