MINGGU III SESDUAH EPIFANI
Lukas 4:14-21
Selama
masa pandemi, kita diajak untuk setia di dalam rumah saja (stay at home).
Keinginan kita untuk bepergian harus ditunda. Rencana-rencana travelling yang
tersusun sedemikian rapinya, bahkan harus batal karena adanya peraturan baru
yang muncul secara mendadak. Tak hanya rencana-rencana liburan saja, bahkan
untuk pulang kampung saja tidak bisa. Padahal, pulang kampung selalu membawa
perasaan unik tersendiri. Kadang, pulang kampung membuat kita recharge kembali,
dari segala lelah dan penat aktivitas kita. Bacaan Injil kita juga bercerita
tentang Yesus yang sedang pulang kampung. Tepatnya ke Nazaret, tempat ia
dibesarkan. Tentu, hal ini punya makna dan bukan sekedar iseng belaka. Biasanya,
ketika kita mendengar bahwa Yesus pulang kampung ke Nazaret, kita akan terarah
pada kisah penolakan mereka akan kehadiran Yesus. Tunggu, bukan ke sana. Itu ksiah
Injil minggi depan. Teks bacaan Injil kita diambil dari Lukas 4:14-21, hanya
sampai ketika Yesus selesai membaca Nas Yesaya.
Bacaan
Injil kita bercerita tentang Yesus yang pulang kampung, dan seperti biasanya
pada hari sabat, orang-orang berkumpul ke rumah ibadat untuk membaca Taurat. Ada
hal unik di sini. Kalau kita perhatikan, Injil Lukas mencatat awal kisah
pelayanan Yesus secara runut dan naratif. Dimulai ketika Ia mulai keluar, dan
berjumpa dengan Yohanes pembaptis. Di sana, Ia dibaptis, lalu melanjutkan
lakunya masuk ke padang gurun. Di sana Ia dicobai iblis. Begitu kisahnya. Baru setelah
dua kejadian itu, Yesus pulang kampung. Bila kita bayangkan, Yesus seakan-akan
mengambil ancang-ancang untuk memulai segala karya-Nya. Yesus siap tancap gas
untuk melakukan ini dan itu. Namun, yang menarik bukan hanya itu. Yesus membaca
satu teks nubuatan Yesaya tentang datangnya tahun Rahmat Tuhan. Lukas 4:17
mencatat demikian, kepada-Nya diberikan kitab Nabi Yesaua dan setelah dibuka-Nya,
Ia menemukan nas… . Memang, Yesus disodoro bacaan dari kitab Yesaya, namun
ia ‘menemukan’. Dalam terjemahan KJV atau NIV ditulis begini, he found the
place where it was written, atau ia menemukan letak dimana itu telah
dituliskan. Berarti, ada unsur kesengajaan dari Yesus untuk memilih dan membaca
nas terkenal itu. Jika memang Yesus sedang ambil ancang-ancang, dan mengambil
nas itu, nas tersebut akan menjadi intisari dari perjalanan karya layan Yesus
nantinya; memberitakan kabar baik bagi orang miskin, membebaskan bagi para
tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, juga membebaskan yang tertindas.
Itulah Tahun Rahmat Tuhan yang yesus kabarkan.
Ketika
Nas itu dituliskan oleh nabi Yesaya, kondisi bangsa mereka sedang berusaha
memulihkan diri pasca pembuangan (exile). Tentu, ketika kondisi hidup
begitu sulit, ada nabi Allah yang bernubuat seperti ini, akan memberi kelegaan
besar. Peristiwa pembuangan membuat kehidupan mereka kocar-kacir. Tradisi
kemurnian yang dijaga selama ini lebur begitu saja. Mereka rindu Taurat Allah,
mereka rindu beribadah di Kota Suci. Mereka membutuhkan kelegaan bagi bangsa
emreka. Untuk itulah, nubuat tentang Tahun Rahmat Tuhan akan membuat mereka
begitu puas dan lega. Hidup kembali memiliki pengharapan besar.
Pada
zaman Yesus, apakah nas ini punya gaung yang besar? Tentu. Bagaimana tidak.
Zaman Yesus hidup, kaisar Agustus adalah yang paling ditakuti hingga pelosok
dunia. PAX ROMANA menjadi momok besar yang menghantui kehidupan sesehari
mereka. Sehingga, penjajahan yang dialami orang-orang di zaman Yesus begitu
mengerikan. Mereka memiliki raja, namun raja itu hanyalah boneka bagi Romawi.
Selain itu, harapan masyarakat akan kepemimpinan Imam-imam ternoda dengan
bercampurnya urusan agama dan politik. Betapa mereka membutuhkan pembebasan.
Untuk itu, orang-orang begitu antusias dan berbahagia mendengar apa yang dibaca
oleh Yesus pada saat itu. Mereka memiliki pengharapan, bahwa Tahun Rahmat Tuhan
akan segera mereka rasakan bersama-sama.
Lalu,
bagaimana di zaman kita sekarang? Bangsa Indonesia khususnya, sudah merdeka
dari penjajahan. Iya, benar. Namun, hampir 2 (dua) tahun kita menjalani hidup
dalam bayang-bayang virus COVID-19. Sejak awal, kita dibiasakan dengan
pemikiran bahwa “SING PENTING KUDU SLAMET”. Jaga jarak, mencuci tangan,
vaksinasi. Semua agar kita menjaga diri. Memang, tujuan komunalnya adalah agar
kita saling menjaga, namun bukankah ajakan itu untuk menjaga diri. Ada yang
harus kita waspadai. Sebuah peristiwa besar yang berkepanjangan bisa melahirkan
sebuah kebiasaan (habit) baru. Apa itu? Kebiasaan untuk mengutamakan
diri sendiri, abai kepada yang lain. Bagaiman
mungkin kita berbicara Tahun Rahmat Tuhan jika kita tidak memiliki kepedulian
dalam diri?
Tahun
Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Ya, dalam keseharian kita. Yesus menjadi
teladan utama dan satu-satunya dalam kita mewartakan pembebasan ini. Namun,
Yesus tidak hanya mengatakan atau mengajarkan, Ia memberikan diri-Nya bagi
kepentingan semua orang. Bukankah itulah kepedulian yang sejati? Ia memberi
diri-Nya hingga akhirnya harus mati di
atas kayu salib. Sekali lagi, Tahun Rahmat Tuhan itu harus diwartakan dengan
kesadaran bahwa kita harus hidup saling mempedulikan. Kalau kita membuka mata
hati kita, kita akan melihat bahwa di sekitar kita ada yang membutuhkan bantuan
kita. Tetangga, sahabat, rekan kerja, rekan sepelayananan, merekalah representasi
jiwa yang tertindas, yang miskin, buta, dan tertawan oleh keadaan. Kepada
merekalah Tahun Rahmat Harus diwartajan.
Kehidupan
kita sebagai umat Kristiani sangat lekat dengan musik. Apalagi di zaman modern
ini, musik berkembang begitu pesat. Apa hubungannya dengan Tahun Rahmat Tuhan?
Ada satu musik yang sangat sumbang dan memekikkan telinga yang sampai zaman
sekarang masih ada. Musik apa itu? Musik itu berasal dari meja makan yang
dipenuhi makanan dengan lauk berlimpah, dimana ada gelak tawa puas, diiringi
orkestra sendok yang menabuh piring dengan suara nyaring, sedangkan ada
tetangga kanan atau kirinya yang beras saja tak ada untuk dimasak. Apakah itu
bisa terjadi? Coba kita lihat meja makan kita. Adakah Tahun Rahmat Tuhan yang
keluar dari sana? Semoga bukan hanya unggahan foto makanan yang mewah, tanpa
ada perasaan bersalah.
Kita
renungkan satu hal sederhana, untuk menutup renungan ini. Bacaan kita diawali
dengan sebuah informasi; Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea (ay.
14). Sederhana, bukan? Tapi kita perhatian lagu urutan narasi Injil Lukas: turunlah
Roh Kudus (Luk 3:21); penuh dengan Roh Kudus (Lukas 4:1); Dalam kuasa
Roh (Lukas 4:14). Ternyata, semua perjalanan Yesus adalah dengan kuasa Roh
Kudus. Ia memulai segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu dengan kuasa
Roh Kudus. Dari situlah ada kekuatan untuk menggenapi datangnya Tahun Rahmat
Tuhan. Bagaimana dengan kita?
Saya
ingin bertanya secara sederhana. Perhatikan kalimat saya; “Ya Roh Kudus,
kuasailah hidup kami”. Ada amin? Saya
rasa, kita akan mengaminkan dengan yakin dan tegas. Baik. Lalu, perhatikan
kalimat kedua; “Ya Roh Kudus, terima kasih bila seluruh hidup kami ada dalam
kuasa-Mu”. Ada amin? Saya rasa tak sekeras yang pertama. Pertanyaan saya, pernahkah
Roh Kudus tak berkuasa dalam hidup kita? Ia memiliki kuasa untuk membimbing,
namun kadang kita yang tak setia taat pada jalan yang Ia beri.
Tahun
Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Kita harus melihat pada sekitar kita, ada
yang bisa kita tolong. Itu pasti! Dan, biarlah kita selalu menyadari, bahwa Roh
Kudus berkuasa untuk menuntun kita menjadi pewarta-pewarta yang setia dalam kehidupan.
Selamat mewarta. Roh Kudus menyertai laku-layan kita.
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar