Sabtu, 22 Januari 2022

MEWARTAKAN TAHUN RAHMAT TUHAN

MINGGU III SESDUAH EPIFANI

Lukas 4:14-21


Selama masa pandemi, kita diajak untuk setia di dalam rumah saja (stay at home). Keinginan kita untuk bepergian harus ditunda. Rencana-rencana travelling yang tersusun sedemikian rapinya, bahkan harus batal karena adanya peraturan baru yang muncul secara mendadak. Tak hanya rencana-rencana liburan saja, bahkan untuk pulang kampung saja tidak bisa. Padahal, pulang kampung selalu membawa perasaan unik tersendiri. Kadang, pulang kampung membuat kita recharge kembali, dari segala lelah dan penat aktivitas kita. Bacaan Injil kita juga bercerita tentang Yesus yang sedang pulang kampung. Tepatnya ke Nazaret, tempat ia dibesarkan. Tentu, hal ini punya makna dan bukan sekedar iseng belaka. Biasanya, ketika kita mendengar bahwa Yesus pulang kampung ke Nazaret, kita akan terarah pada kisah penolakan mereka akan kehadiran Yesus. Tunggu, bukan ke sana. Itu ksiah Injil minggi depan. Teks bacaan Injil kita diambil dari Lukas 4:14-21, hanya sampai ketika Yesus selesai membaca Nas Yesaya.

Bacaan Injil kita bercerita tentang Yesus yang pulang kampung, dan seperti biasanya pada hari sabat, orang-orang berkumpul ke rumah ibadat untuk membaca Taurat. Ada hal unik di sini. Kalau kita perhatikan, Injil Lukas mencatat awal kisah pelayanan Yesus secara runut dan naratif. Dimulai ketika Ia mulai keluar, dan berjumpa dengan Yohanes pembaptis. Di sana, Ia dibaptis, lalu melanjutkan lakunya masuk ke padang gurun. Di sana Ia dicobai iblis. Begitu kisahnya. Baru setelah dua kejadian itu, Yesus pulang kampung. Bila kita bayangkan, Yesus seakan-akan mengambil ancang-ancang untuk memulai segala karya-Nya. Yesus siap tancap gas untuk melakukan ini dan itu. Namun, yang menarik bukan hanya itu. Yesus membaca satu teks nubuatan Yesaya tentang datangnya tahun Rahmat Tuhan. Lukas 4:17 mencatat demikian, kepada-Nya diberikan kitab Nabi Yesaua dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas… . Memang, Yesus disodoro bacaan dari kitab Yesaya, namun ia ‘menemukan’. Dalam terjemahan KJV atau NIV ditulis begini, he found the place where it was written, atau ia menemukan letak dimana itu telah dituliskan. Berarti, ada unsur kesengajaan dari Yesus untuk memilih dan membaca nas terkenal itu. Jika memang Yesus sedang ambil ancang-ancang, dan mengambil nas itu, nas tersebut akan menjadi intisari dari perjalanan karya layan Yesus nantinya; memberitakan kabar baik bagi orang miskin, membebaskan bagi para tawanan, penglihatan bagi orang-orang buta, juga membebaskan yang tertindas. Itulah Tahun Rahmat Tuhan yang yesus kabarkan.

Ketika Nas itu dituliskan oleh nabi Yesaya, kondisi bangsa mereka sedang berusaha memulihkan diri pasca pembuangan (exile). Tentu, ketika kondisi hidup begitu sulit, ada nabi Allah yang bernubuat seperti ini, akan memberi kelegaan besar. Peristiwa pembuangan membuat kehidupan mereka kocar-kacir. Tradisi kemurnian yang dijaga selama ini lebur begitu saja. Mereka rindu Taurat Allah, mereka rindu beribadah di Kota Suci. Mereka membutuhkan kelegaan bagi bangsa emreka. Untuk itulah, nubuat tentang Tahun Rahmat Tuhan akan membuat mereka begitu puas dan lega. Hidup kembali memiliki pengharapan besar.

Pada zaman Yesus, apakah nas ini punya gaung yang besar? Tentu. Bagaimana tidak. Zaman Yesus hidup, kaisar Agustus adalah yang paling ditakuti hingga pelosok dunia. PAX ROMANA menjadi momok besar yang menghantui kehidupan sesehari mereka. Sehingga, penjajahan yang dialami orang-orang di zaman Yesus begitu mengerikan. Mereka memiliki raja, namun raja itu hanyalah boneka bagi Romawi. Selain itu, harapan masyarakat akan kepemimpinan Imam-imam ternoda dengan bercampurnya urusan agama dan politik. Betapa mereka membutuhkan pembebasan. Untuk itu, orang-orang begitu antusias dan berbahagia mendengar apa yang dibaca oleh Yesus pada saat itu. Mereka memiliki pengharapan, bahwa Tahun Rahmat Tuhan akan segera mereka rasakan bersama-sama.

Lalu, bagaimana di zaman kita sekarang? Bangsa Indonesia khususnya, sudah merdeka dari penjajahan. Iya, benar. Namun, hampir 2 (dua) tahun kita menjalani hidup dalam bayang-bayang virus COVID-19. Sejak awal, kita dibiasakan dengan pemikiran bahwa “SING PENTING KUDU SLAMET”. Jaga jarak, mencuci tangan, vaksinasi. Semua agar kita menjaga diri. Memang, tujuan komunalnya adalah agar kita saling menjaga, namun bukankah ajakan itu untuk menjaga diri. Ada yang harus kita waspadai. Sebuah peristiwa besar yang berkepanjangan bisa melahirkan sebuah kebiasaan (habit) baru. Apa itu? Kebiasaan untuk mengutamakan diri sendiri, abai kepada yang lain.  Bagaiman mungkin kita berbicara Tahun Rahmat Tuhan jika kita tidak memiliki kepedulian dalam diri?

Tahun Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Ya, dalam keseharian kita. Yesus menjadi teladan utama dan satu-satunya dalam kita mewartakan pembebasan ini. Namun, Yesus tidak hanya mengatakan atau mengajarkan, Ia memberikan diri-Nya bagi kepentingan semua orang. Bukankah itulah kepedulian yang sejati? Ia memberi diri-Nya  hingga akhirnya harus mati di atas kayu salib. Sekali lagi, Tahun Rahmat Tuhan itu harus diwartakan dengan kesadaran bahwa kita harus hidup saling mempedulikan. Kalau kita membuka mata hati kita, kita akan melihat bahwa di sekitar kita ada yang membutuhkan bantuan kita. Tetangga, sahabat, rekan kerja, rekan sepelayananan, merekalah representasi jiwa yang tertindas, yang miskin, buta, dan tertawan oleh keadaan. Kepada merekalah Tahun Rahmat Harus diwartajan.

Kehidupan kita sebagai umat Kristiani sangat lekat dengan musik. Apalagi di zaman modern ini, musik berkembang begitu pesat. Apa hubungannya dengan Tahun Rahmat Tuhan? Ada satu musik yang sangat sumbang dan memekikkan telinga yang sampai zaman sekarang masih ada. Musik apa itu? Musik itu berasal dari meja makan yang dipenuhi makanan dengan lauk berlimpah, dimana ada gelak tawa puas, diiringi orkestra sendok yang menabuh piring dengan suara nyaring, sedangkan ada tetangga kanan atau kirinya yang beras saja tak ada untuk dimasak. Apakah itu bisa terjadi? Coba kita lihat meja makan kita. Adakah Tahun Rahmat Tuhan yang keluar dari sana? Semoga bukan hanya unggahan foto makanan yang mewah, tanpa ada perasaan bersalah.

Kita renungkan satu hal sederhana, untuk menutup renungan ini. Bacaan kita diawali dengan sebuah informasi; Dalam kuasa Roh kembalilah Yesus ke Galilea (ay. 14). Sederhana, bukan? Tapi kita perhatian lagu urutan narasi Injil Lukas: turunlah Roh Kudus (Luk 3:21); penuh dengan Roh Kudus (Lukas 4:1); Dalam kuasa Roh (Lukas 4:14). Ternyata, semua perjalanan Yesus adalah dengan kuasa Roh Kudus. Ia memulai segala sesuatu dan mengerjakan segala sesuatu dengan kuasa Roh Kudus. Dari situlah ada kekuatan untuk menggenapi datangnya Tahun Rahmat Tuhan. Bagaimana dengan kita?

Saya ingin bertanya secara sederhana. Perhatikan kalimat saya; “Ya Roh Kudus, kuasailah  hidup kami”. Ada amin? Saya rasa, kita akan mengaminkan dengan yakin dan tegas. Baik. Lalu, perhatikan kalimat kedua; “Ya Roh Kudus, terima kasih bila seluruh hidup kami ada dalam kuasa-Mu”. Ada amin? Saya rasa tak sekeras yang pertama. Pertanyaan saya, pernahkah Roh Kudus tak berkuasa dalam hidup kita? Ia memiliki kuasa untuk membimbing, namun kadang kita yang tak setia taat pada jalan yang Ia beri.

Tahun Rahmat Tuhan harus kita wartakan. Kita harus melihat pada sekitar kita, ada yang bisa kita tolong. Itu pasti! Dan, biarlah kita selalu menyadari, bahwa Roh Kudus berkuasa untuk menuntun kita menjadi pewarta-pewarta yang setia dalam kehidupan. Selamat mewarta. Roh Kudus menyertai laku-layan kita.

ftp


Tidak ada komentar:

Posting Komentar