Minggu IV dalam Masa Prapaska
Yosua 5:9-12 | Mazmur 32 | 2 Korintus 5:16-21 | Lukas
15:1-3, 11-132
![]() |
Rembrandt van Rijn, The Return of The Prodigal Son, c. 1661-1669 |
Lukisan di atas adalah karya Rembrandt van Rijn,
seorang pelukis berkebangsaan Belanda, yang berjudul “The Return of the Prodigal Son”. Lukisan
itu adalah interpretasi Rembrandt atas perumpamaan tentang “Anak yang Hilang”
dalam Injil Lukas. Jika melihat lukisan di atas, apa yang bisa kita pelajari?
Atau lebih, tepatnya, siapa yang hilang? Pada lukisan itu ada tokoh sang bapa,
anak bungsu, dan anak sulung, serta para pelayan. Lukisan Rembrandt ini menginterpretasikan
bahwa yang hilang bukan hanya si anak bungsu, tetapi juga anak sulung. Si
bungsu menghambur-hamburkan uang, sementara si sulung merasa tidak memiliki dan
dimiliki. Berikutnya, perhatikanlah sang bapa. Tangan kirinya terlihat kekar
dan maskulin, sementara tangan kanannya lebih lembut dan feminin. Ini merupakan
simbol dari Allah yang adalah bapa dan ibu sekaligus. Ini menunjukkan Allah
yang berbelas kasih dan pengampun.
Dari lukisan Rembrandt itu, kita bisa melihat bahwa
perumpamaan ini sebenarnya adalah kisah Bapa yang berbelas kasih dan pengampun. Namun,
kenapa kita mengenalnya dengan kisah anak yang hilang, bahkan LAI pun
memberikan judul perikop demikian? Mungkin karena ia termasuk dalam trilogi
kisah “yang hilang”, bersama domba yang hilang dan dirham yang hilang. Dalam Bahasa
Inggris, anak yang hilang disebut the
prodigal son, seperti judul lukisan Rembrandt. Jika kita kurang memperhatikan, mungkin kita akan menduga bahwa prodigal itu berarti hilang, tapi ternyata bukan. Prodigal berarti boros,
menghambur-hamburkan. Jadi, the prodigal
son adalah anak yang boros, yang menghambur-hamburkan. Namun, apakah benar
anak bungsu ini boros? Atau jangan-jangan ada tokoh lain dalam kisah ini yang
lebih boros?
Mari
kita telaah ketiga tokoh dalam perumpamaan ini.
1. Anak bungsu. Jika kita melihat perjalanan
hidupnya dari meminta warisan sampai makan makanan babi, kita pasti akan
menilai dia boros. Namun, jika kita perhatikan, si bungsu ini sangat
perhitungan. Saat sedang susah, ia masih sempat berpikir untung-rugi. Buktinya
ada pada ayat 17. Ia menyadari keadaanya saat itu, lalu membandingkan dengan
keadaan di rumah bapanya. Ternyata keadaan di rumah bapa lebih enak dan
menguntungkan, jadi lebih baik kembali. Walaupun hanya menjadi budak, tetapi
lebih baik daripada makan makanan babi.
2. Anak sulung. Jelas dia ini sangat perhitungan. Ia merasa bahwa sang bapa tidak pernah membuat pesta untuknya, padahal sudah bertahun-tahun hidup bersama bapanya, setia di samping bapanya. Sebaliknya, si anak yang nakal ini dibuatkan pesta, padahal seharusnya dihukum. Si sukung terlihat hitung-hitungan dengan ganjaran, dan karena itu dia tidak terima jika si bungsu diampuni, bahkan dipestakan.
3. Sang bapa. Ketikan si bungsu meminta warisan, sang bapa tidak berpikir panjang, langsung membagikan warisannya. Kepada si anak sulung, ia tidak berpikir sial hartanya, dan menyatakan bahwa harta dan kepemilikannya adalah harta dan kepemilikan si anak sulung juga. Selain itu, ketika anak bungsu kembali, ia langsung mengampuni si bungsu, memberikan pakaian yang terbaik, dan mengadakan pesta kepada anak bungsu ini. Ia tidak curiga jika sewaktu-waktu anak bungsu ini akan mencuri darinya, atau mungkin suatu saat mengkhianatinya dan pergi lagi. Ia tidak perhitungan, bahkan menghambur-hamburkan hartanya dan cintanya.
Dari ketiga tokoh itu, bisa kita simpulkan bahwa yang
boros dan menghambur-hamburkan adalah sang bapa, bukan anak bungsu, apalagi
anak sulung. Karena itulah, fokus perumpamaan ini bukanlah soal anak yang
hilang atau anak yang boros, melainkan bapa yang boros akan cinta kasih dan
pengampunan. Dan itulah gambaran tetang Allah kita. Allah yang tidak
memperhitungkan pelanggaran, sebagaimana juga dipersaksiakan dalam bacaan kedua
dan Mazmur tanggapan leksionari Minggu ini. Allah yang memberi rahmat tanpa
syarat, cinta kasih tanpa transaksi, pengampunan tanpa hitung-hitungan.
Celakanya, orang Kristen sendiri yang menjadikan Allah
sebagai pribadi peritungan dan transaksional. Banyak orang Kristen yang
beranggapan bahwa jika mereka rajin beribadah, rajin memberi persembahan nanti
Tuhan akan memberkati mereka. Parahnya lagi, ada yang berjudi dengan Allah;
Memberikan persepuluhan supaya Allah melimpahkan berkat sepuluh kali lipat.
Allah yang penuh rahmat itu dijadikan Allah yang transaksional dan
hitung-hitungan, yang memberikan berkat-Nya karena umat-Nya taat beribadah.
Bukan hanya itu, selain Allah dijadikan transaksional, Ia juga dijadikan sosok
penagih utang yang kejam. Jika tidak beribadah dan memberi persembahan, tidak
diberkati; Jika berdosa harus dihukum; Jika menyakiti harus disakiti. Allah
dijadikan Allah yang transaksional oleh orang-orang Kristen yang tidak terima
jika Allah memberikan rahmat-Nya dan menyambut semua orang. Mereka merasa bahwa
Allah harus memberi ganjaran setimpal, seperti si anak sulung. Karena itu,
dalam kisah ini, yang hilang sebenarnya bukan hanya anak bungsu melainkan juga
anak sulung.
Perumpamaan ini sebenarnya ditujukan kepada
orang-orang Farisi yang tidak terima jika para pelacur dan pemungut cukai
disamput dan dikasihi Yesus. Mereka ingin Yesus menjauhi para pelacur dan
pemungut cukai itu. Mereka seperti anak sulung yang menuntut ganjaran setimpal
dan marah jika orang yang dianggap berdosa itu disambut oleh Allah. Untuk
menegur merekalah, Yesus menyampaikan perumpamaan ini. Bukan tidak mungkin,
perumpamaan ini pun menegur kita. Kisah ini mengajarkan dan mengingatkan kita bahwa Allah
adalah Allah yang berlimpah dan menghamburkan cinta kasih, Allah yang boros
akan belas kasihan dan pengampunan, yang menyambut siapa pun tanpa syarat.
Dengan begitu, kita diajak juga untuk meneruskan cinta kasih Allah yang
menyambut itu. Amin (thn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar