Minggu I Masa Prapaska
Ulangan 26:1-11 |
Mazmur 91:1-2, 9-16 | Roma 10:8-13 | Lukas 4:1-12
Kita pasti tidak ingin
merasakan kesusahan. Apa pun akan kita lakukan untuk menghidari kesusahan. Atau
jika sudah telanjur jatuh dalam kesusahan, kita akan berusaha keluar dari
kesusahan itu dengan cara apa pun. Namun, sekeras apa pun kita berusaha, yang
namanya, kesusahan, penderitaan, pergumulan itu pasti ada. Ia adalah bagian
yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pandemi Covid saat ini misalnya.
Tidak ada yang ingin virus kecil itu menyebar ke seluruh dunia dan membuat
kesusahan di berbagai aspek kehidupan. Pandemi yang terjadi telah mengakibatkan
banyak duka, penderitaan, dan pergumulan. Namun, bagaimana cara kita menghadapi
dan bertahan dalam kesusahan itulah yang yang membentuk jati diri kita.
Ketangguhan yang membuat kita bertahan itu disebut resiliensi atau daya
lenting.
Resiliensi atau daya
lenting adalah kemampuan seseorang untuk menahan atau menyerap tekanan dan
kembali pulih lagi. Seperti rotan yang ditarik sampai melengkung kemudian akan
melenting kembali kepada posisinya semula. Resiliensi atau daya lenting bukan
hanya soal menahan kesusahan, tetapi juga mampu berimprovisasi terhadap
keadaan. Orang yang tangguh atau berdaya lenting adalah orang yang mampu
menerima kenyataan, memiliki iman yang mendalam, dan memiliki kemampuan untuk
berimprovisasi dengan keadaan dan berpulih. Jadi, daya lenting atau resiliensi
kita juga terlihat dari bagaimana mengakrabi kesusahan itu sambil tetap
berpengharapan kepada Allah.
Pada Minggu pertama
dalam masa Prapaska ini, bacaan Injil mengajak kita untuk melihat Yesus yang
memulai pelayanan-Nya dengan berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun.
Masa empat puluh hari inilah yang menjadi acuan bagi gereja untuk mempraktikkan
puasa dan pantang selama empat puluh hari masa Prapska. Dalam empat puluh hari
ini, Yesus diperhadapkan pada godaan iblis yang menuntut-Nya memilih
menyelesaikan persoalan dengan pendekatan kekuasaan dan cara mudah, atau taat
kepada kehendak Allah dan merangkul penderitaan. Masa empat puluh hari puasa
Yesus ini menunjukkan kualitas Yesus dalam menghadapi kesusahan dan penderitaan.
Godaan pertama yang
Yesus hadapi adalah mengubah roti menjadi batu. Ini adalah jalan mudah ketika
menghadapi kelaparan. Dengan roti gratis, maka tidak ada lagi kelaparan. Jika
ada cara yang mudah dan gratis, manusia akan memilih cara mudah dan gratis itu
untuk lepas dari pergumulan, terutama masalah perut. Tetapi Yesus memilih untuk
merangkul derita itu. Bagi Yesus, roti dan Firman Allah harus seimbang, maka Ia
memilih jalan salib, proses yang panjang, tidak mudah dan murah, namun
menjadikan kasih Allah lebih berharga dan bermakna. Sebab,
walaupun tersedia banyak makanan namun jika hati tidak dipenuhi cinta kasih
yang bersumber dari Tuhan maka semua itu akan mubazir, malah menjadi sumber
konflik.
Hal lain yang menggoda
adalah kekuasaan yang didapat dengan menyembah iblis. Dalam keadaan terjepit,
manusia cenderung mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan sekalipun
harus berkompromi dengan yang tidak benar. Dengan kekuasaan, manusia bisa
dengan mudah keluar dari penderitaan dan kesusahan. Namun bagi Yesus, bukan
kuasa yang penting, melainkan kasih Allah. Ia tahu bahwa kehendak berkuasa akan
membuat manusia menjadi arogan dan tak pernah puas. Yesus memilih jalan
pengurbanan dan pelayanan dengan menerima kenyataan penderitaan.
Godaan ketiga adalah
menguji kesetiaan dan penyertaan Allah. Yesus ditantang menjatuhkan diri dari
bubungan Bait Allah sebagai pembuktian iman. Tidak memenuhi permintaan itu berarti pengecut,
namun melakukannya sama dengan mencobai Allah sendiri. Dalam kesusahan, terkadang manusia tergoda
untuk mempertanyakan apakah Allah menyertai, apakah aku dikasihi, jika Tuhan
mahakasih mengapa aku menderita, dan pertanyaan-pertanyaan pembuktian iman
sehingga tergoda untuk mencobai Allah. Namun Yesus memilih untuk merangkul
keprihatinan dalam ketulusan. Ia tahu bahwa Allah menyertai-Nya, dan Ia tidak
butuh pembuktian bahwa Ia dikasihi. Yesus tahu itu karena setelah
pembaptisan-Nya, Allah menegaskan itu, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi,
kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk. 3:22).
Dari cara Yesus
menghadapi kesusahan selama empat puluh hari di padang gurun, kita melihat daya
lenting Yesus yang mampu menerima kenyataan tanpa mencari jalan pintas yang
mudah dan murah, Ia memiliki iman kepada Allah yang mengasihi-Nya, serta mampu
untuk tetap teguh dan dengan kreatif menghadapi tantangan yang dialami-Nya
tanpa mencobai Allah. Pengalaman Yesus ini adalah pengalaman kita juga dalam
menghadapi penderitaan. Kadang ktia tergoda untuk mengabil jalan yang mudah,
atau menggunakan cara kekuasaan, bahkan sampai meragukan penyertaan Tuhan dan
mencobai-Nya. Kita memang takut, khawatir, bahkan frustasi menghadapi
kesusahan. Namun, dari Yesus kita belaja untuk menerima kesusahan itu sebagai
bagian akrab dari kehidupan kita, dan tetap percaya bahwa Allah mengasihi kita
dan tidak pernah meninggalkan kita, sehingga kita bisa menghadapi kesusahan itu
dengan kreativitas untuk tetap teguh, tidak goyah, dan setia, serta pada
saatnya mengalami pemulihan. (thn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar