Jumat, 04 Maret 2022

MENGAKRABI KESUSAHAN, MERANGKUL KEHIDUPAN

Minggu I Masa Prapaska

Ulangan 26:1-11 | Mazmur 91:1-2, 9-16 | Roma 10:8-13 | Lukas 4:1-12


Kita pasti tidak ingin merasakan kesusahan. Apa pun akan kita lakukan untuk menghidari kesusahan. Atau jika sudah telanjur jatuh dalam kesusahan, kita akan berusaha keluar dari kesusahan itu dengan cara apa pun. Namun, sekeras apa pun kita berusaha, yang namanya, kesusahan, penderitaan, pergumulan itu pasti ada. Ia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pandemi Covid saat ini misalnya. Tidak ada yang ingin virus kecil itu menyebar ke seluruh dunia dan membuat kesusahan di berbagai aspek kehidupan. Pandemi yang terjadi telah mengakibatkan banyak duka, penderitaan, dan pergumulan. Namun, bagaimana cara kita menghadapi dan bertahan dalam kesusahan itulah yang yang membentuk jati diri kita. Ketangguhan yang membuat kita bertahan itu disebut resiliensi atau daya lenting.

Resiliensi atau daya lenting adalah kemampuan seseorang untuk menahan atau menyerap tekanan dan kembali pulih lagi. Seperti rotan yang ditarik sampai melengkung kemudian akan melenting kembali kepada posisinya semula. Resiliensi atau daya lenting bukan hanya soal menahan kesusahan, tetapi juga mampu berimprovisasi terhadap keadaan. Orang yang tangguh atau berdaya lenting adalah orang yang mampu menerima kenyataan, memiliki iman yang mendalam, dan memiliki kemampuan untuk berimprovisasi dengan keadaan dan berpulih. Jadi, daya lenting atau resiliensi kita juga terlihat dari bagaimana mengakrabi kesusahan itu sambil tetap berpengharapan kepada Allah.

Pada Minggu pertama dalam masa Prapaska ini, bacaan Injil mengajak kita untuk melihat Yesus yang memulai pelayanan-Nya dengan berpuasa selama empat puluh hari di padang gurun. Masa empat puluh hari inilah yang menjadi acuan bagi gereja untuk mempraktikkan puasa dan pantang selama empat puluh hari masa Prapska. Dalam empat puluh hari ini, Yesus diperhadapkan pada godaan iblis yang menuntut-Nya memilih menyelesaikan persoalan dengan pendekatan kekuasaan dan cara mudah, atau taat kepada kehendak Allah dan merangkul penderitaan. Masa empat puluh hari puasa Yesus ini menunjukkan kualitas Yesus dalam menghadapi kesusahan dan penderitaan.

Godaan pertama yang Yesus hadapi adalah mengubah roti menjadi batu. Ini adalah jalan mudah ketika menghadapi kelaparan. Dengan roti gratis, maka tidak ada lagi kelaparan. Jika ada cara yang mudah dan gratis, manusia akan memilih cara mudah dan gratis itu untuk lepas dari pergumulan, terutama masalah perut. Tetapi Yesus memilih untuk merangkul derita itu. Bagi Yesus, roti dan Firman Allah harus seimbang, maka Ia memilih jalan salib, proses yang panjang, tidak mudah dan murah, namun menjadikan kasih Allah lebih berharga dan bermakna. Sebab, walaupun tersedia banyak makanan namun jika hati tidak dipenuhi cinta kasih yang bersumber dari Tuhan maka semua itu akan mubazir, malah menjadi sumber konflik.

Hal lain yang menggoda adalah kekuasaan yang didapat dengan menyembah iblis. Dalam keadaan terjepit, manusia cenderung mengambil kesempatan untuk mendapatkan kekuasaan sekalipun harus berkompromi dengan yang tidak benar. Dengan kekuasaan, manusia bisa dengan mudah keluar dari penderitaan dan kesusahan. Namun bagi Yesus, bukan kuasa yang penting, melainkan kasih Allah. Ia tahu bahwa kehendak berkuasa akan membuat manusia menjadi arogan dan tak pernah puas. Yesus memilih jalan pengurbanan dan pelayanan dengan menerima kenyataan penderitaan.

Godaan ketiga adalah menguji kesetiaan dan penyertaan Allah. Yesus ditantang menjatuhkan diri dari bubungan Bait Allah sebagai pembuktian iman. Tidak memenuhi permintaan itu berarti pengecut, namun melakukannya sama dengan mencobai Allah sendiri. Dalam kesusahan, terkadang manusia tergoda untuk mempertanyakan apakah Allah menyertai, apakah aku dikasihi, jika Tuhan mahakasih mengapa aku menderita, dan pertanyaan-pertanyaan pembuktian iman sehingga tergoda untuk mencobai Allah. Namun Yesus memilih untuk merangkul keprihatinan dalam ketulusan. Ia tahu bahwa Allah menyertai-Nya, dan Ia tidak butuh pembuktian bahwa Ia dikasihi. Yesus tahu itu karena setelah pembaptisan-Nya, Allah menegaskan itu, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk. 3:22).

Dari cara Yesus menghadapi kesusahan selama empat puluh hari di padang gurun, kita melihat daya lenting Yesus yang mampu menerima kenyataan tanpa mencari jalan pintas yang mudah dan murah, Ia memiliki iman kepada Allah yang mengasihi-Nya, serta mampu untuk tetap teguh dan dengan kreatif menghadapi tantangan yang dialami-Nya tanpa mencobai Allah. Pengalaman Yesus ini adalah pengalaman kita juga dalam menghadapi penderitaan. Kadang ktia tergoda untuk mengabil jalan yang mudah, atau menggunakan cara kekuasaan, bahkan sampai meragukan penyertaan Tuhan dan mencobai-Nya. Kita memang takut, khawatir, bahkan frustasi menghadapi kesusahan. Namun, dari Yesus kita belaja untuk menerima kesusahan itu sebagai bagian akrab dari kehidupan kita, dan tetap percaya bahwa Allah mengasihi kita dan tidak pernah meninggalkan kita, sehingga kita bisa menghadapi kesusahan itu dengan kreativitas untuk tetap teguh, tidak goyah, dan setia, serta pada saatnya mengalami pemulihan. (thn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar