Kamis, 10 Maret 2022

BERARAK MENUJU HIDUP SEJATI

Minggu II dalam Masa Prapaska

Kejadian 15:1-12, 17-18 | Mazmur 27 | Filipi 3:17-4:1 | Lukas 13:31-35


Beriman membutuhkan keberanian. Pengakuan iman dalam bahasa Latin disebut credo, yang berarti "aku percaya". Kata credo sendiri punya arti yang lain, yakni "menaruh hati". Ia berasal dari akar kata cor, yang artinya "jantung" atau "hati", pusat perasaan dan emosi, di dalamnya terkandung jiwa yang menggerakkan manusia. Kata cor inilah yang menjadi akar kata courage dalam bahasa Inggris, yang berarti "keberanian". Jadi, beriman dan keberanian itu memiliki akar kata yang sama, dan ini bukan hanya kebetulan, karena beriman memang membutuhkan keberanian. Keberanian ada dua jenis. Yang pertama adalah keberanian spontan dan situasional, yang muncul pada saat dibutuhkan. Misalnya ada seorang anak yang tenggelam di sungai, dan seseorang secara heroik loncat ke sungai untuk menyelamatkan anak itu. Keberanian ini adalah keberanian yang muncul saat dibutuhkan. Keberanian yang kedua bukanlah keberanian spontan, situasional, dan heroik. Keberanian ini dicontohkan dengan seseorang bersedia tetap menghadapi tantangan tanpa lari atau menghindarinya, keberanian untuk menghadapi ketakutan dan memikul beban. Keberanian ini adalah karakter.

Keberanian kedua inilah yang dimiliki oleh Yesus. Ketika itu orang-orang Farisi datang untuk memperingati-Nya bahwa Herodes berniat untuk membunuh-Nya. Mereka menyuruh-Nya untuk meninggalkan Galilea. Namun Yesus bergeming. Jawaban Yesus justeru menujukkan bahwa tidak semestinya Ia mati di luar Yerusalem. Ia malah sudah mantap untuk menuju tantangan yang lebih mengerikan, Yerusalem. Herodes hanya punya kekuasaan di Galilea. Namun di Yerusalem ada Gubernur Romawi serta Mahkamah Agama yang siap menekan Yesus. Yesus malah menuju ke sana. Namun, bukan berarti Yesus putus asa dan siap untuk mati. Kematian adalah risiko yang harus Ia ambil untuk menunaikan misi-Nya. Yesus tahu bahwa Ia akan ditolak dan mati di Yerusalem, tetapi ia tidak menghindar atau melarikan diri dan mencari solusi mudah. Ia menuju Yerusalem, menghadapi kesulitan dan gelapnya tantangan demi cinta-Nya bagi dunia yang rapuh ini.

Keberanian Yesus bukanlah keberanian spontan dan heroik, melainkan keberanian yang sehari-hari dan menjadi karakter. Inilah keberanian (courage) yang berasal dari hati (cor), melakukan sesuatu sepenuh hati; Keberanian untuk mencintai tanpa takut kehilangan, untuk menunaikan misi Allah tanpa enggan, karena pada akhirnya akan ada kesejatian dan kehidupan. Keberanian seperti ini timbul dari kesadaran bahwa kehidupan adalah embara bersama Allah. Jika kita menilik kisah Abram, kita melihat bahwa ia sempat merasa ragu karena usianya sudah tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan, sehingga ia memilik Eliezer untuk menjadi ahli warisnya. Ia takut kehilangan dan mencari rasa aman. Namun Allah menjanjikannya keturunan yang banyak seperti bintang di langit dan pasir di laut. Di dalam janji itu juga Allah mengingatkan Abram bahwa dirinya adalah pengembara, pendatang di tanah asing, dan keturunannya pun akan menjadi orang asing di negeri yang bukan milik mereka.

Allah menegaskan tentang kehidupan sebagai pengembara karena kemelekatan akan kepemilikan dan kemapanan membuat manusia enggan untuk kehilangan, takut memgambil risiko, ragu untuk beriman dengan hati, lalu mengambil jalan pintas yang mudah. Jika kita adalah pengembara dan pendatang, dan hidup ini adalah embara bersama Allah, kita pun memiliki keberanian untuk beriman, untuk mencinta tanpa takut kehilangan, untuk terus berkarya demi Kerajaan Allah. Karena itulah juga, Rasul Paulus menegaskan kepada jemaat di Filipi dan kita bahwa kewargaan kita bukanlah di dunia ini, melainkan warga Kerajaan Allah. Dengan begitu, kita tidak menjadi gereja yang melekat pada tempat dan kepemilikan. Dengan demikian, kita dapat beriman dengan berani tanpa takut kehilangan.

Masa pandemi ini kembali menegaskan identitas kita sebagai pengembara di tanah asing. Sebagai gereja, kita diingatkan kembali bawha kita tidak bisa melekat dengan tempat dan kepemilikan. Kita menyadari bahwa segala sesuatu tidak pasti, tidak stabil, dan bisa berubah. Rasa takut kehilangan serta keinginan untuk mempertahankan kemapanan dan kestabilan membuat kita gagal untuk melanjutkan karya kita menebarkan cinta Allah dan melakukan misi Allah dari hati. Kita adalah gereja yang terus mengembara di tengah dunia ini, yang berjalan bersama Allah di tengah segala ketidakpastian, perubahan, dan ancaman. Karena itu marilah terus berarak bersama Allah untuk menghadirkan kehidupan, memperjuangkan cinta kasih meskipun ditolak, mewartakan keadilan dan perdamaian sekalipun kehilangan, menunaikan misi Allah sekalipun jalan di depan penuh ancaman dan ketidakpasti, terus beriman dengan keberanian karena percaya bahwa Allah menuntun kita kepada hidup yang sejati. (thn)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar