Jumat, 22 Juli 2022

TUHAN, AJARLAH KAMI BERDOA

Minggu Biasa XVII

Kejadian 18:20-32 | Mazmur 138 | Kolose 2:6-15 | Lukas 11:1-13


Mengapa gereja-gereja protestan di Indonesia, termasuk GKI, menempatkan Doa Bapa Kami setelah Doa Syafaat? Karena salah kaprah. Sebelum abad ke-6, Doa Bapa Kami belum masuk dalam liturgi. Barulah kemudian Gereja Roma merasa perlu menambahkan sebuah landasan yang memperkuat makna Perjamuan Kudus. Berdasarkan pemaknaan atas 1 Korintus 11 tentang makan yang secukupnya untuk mengingat yang lain, maka Doa Bapa Kami ditempatkan sebagai penutup Doa Ekaristi dan sebelum umat melakukan komuni atau makan roti dan minum anggur. Kalimat “berilah kami makanan yang secukupnya” serta “apunilah kami seperti kamu mengampuni” dijadikan landasan untuk memaknai bahwa makan yang tidak secukupnya itu berpangkal dari hidup yang tidak berdamai dengan sesama. Karena itulah, Doa Bapa Kami juga selalu diikuti dengan salam damai. Doa Bapa Kami kemudian menjadi doa yang selalu ada dalam liturgi Perjamuan Kudus, sebagai penutup Doa Ekaristi yang panjang dan untuk mengawali komuni. Masalahnya, dalam gereja-gereja protestan di Indonesia, Perjamuan Kudus hanya dirayakan empat kali dalam setahun, sehingga tidak selalu ada Doa Ekristi dalam liturgi. Namun, karena kekurangpahaman soal formula liturgi, doa panjang dalam Perjamuan Kudus disejajarkan dengan doa syafaat, yang biasanya sangat panjang. Maka jadilah kebiasaan menempatkan Doa Bapa Kami sebagai penutup doa syafaat. Bahkan, Doa Bapa Kami dijadikan “doa sempurna” untuk mengakhiri doa syafaat. Saat ini, kita berupaya untuk mengembalikan posisi Doa Bapa Kami sebagai landasan Perjamuan Kudus, dan mengidentikkannya dengan Perjamuan Kudus.

Dalam kesaksian Injil Lukas (yang versinya lebih pendek), Doa Bapa Kami diajarkan Yesus kepada murid-murid-Nya ketika ada seorang murid-Nya yang meminta agar Yesus mengajarkan mereka berdoa sebagaimana Yohanes mengajarkan murid-muridnya berdoa. Menurut beberapa penafsir, para rabi Yahudi punya kebiasaan mengajarkan doa-doa sederhana kepada murid-murid mereka sebagai hapalan yang kemudian menjadi seperti mantra yang dirapal. Yohanes pembaptis juga mengajarkan rumuasan doa sederhana kepada murid-muridnya. Karena itulah, murid Yesus juga meminta diajarkan doa untuk dapat mereka hapalkan dan bisa mereka gunakan, seperti murid-murid Yohanes. Namun, Yesus sendiri tidak berniat mengajarkan doa untuk dihapal atau dirapal dan menjadi formalitas. Sayangnya, sekarang doa yang Yesus ajarkan menjadi hapalan, bahkan dikultuskan menjadi “doa sempurna”. Yesus mengajarkan Doa Bapa Kami sebagai sebagai contoh rumusan doa yang dapat digunakan murid-murid, yang fokusnya adalah soal relasi dengan Allah.

Kedekatan relasi dengan Allah dapat kita lihat melalui apa yang dilakukan oleh Abraham dalam bacaan pertama Minggu ini. Abraham berani untuk tawar-menawar dengan Tuhan. Abraham tidak menerima begitu saja keputusan Tuhan untuk memusnakan Sodom dan Gomora. Ia menawar agar Sodom dan Gomora tidak dimusnahkan jika ada orang-orang benar di sana, dari 50 sampai 10 orang benar. Dari tindakan Abraham, kita melihat bahwa doa menjadi media bagi manusia untuk mempertanyakan Allah. Apakah keputusan Allah bisa dipertanyakan? Allah memang mahakuasa, tetapi Ia bukan hakim yang kaku dan dan dingin. Ia mau mendengarkan umat-Nya. Karena itu dalam Alkitab kita sering membaca mengenai tokoh-tokoh yang tawar-menawar, mempertanyakan Allah, dan berkeluh kesah. Semuanya itu tidak salah, asal tidak dilakukan dengan niat menghujat. Mempertanyakan keputusan Allah dapat terjadi jika relasi manusia dekat dengan Allah.

Ketika relasi kita dekat dengan Allah, doa bukan lagi menjadi formalitas dan hapalan atau menjadi alat untuk sekadar meminta sesuatu kepada Tuhan. Relasi dekat dengan Allah itu dilandasi pada ketaatan dan kejujuran di hadapan Allah. Yesus tidak berhenti dengan mengajarkan rumusan doa, tetapi juga mengajarkan soal makna doa itu, yakni seperti relasi bapak dan anak. Seorang bapak tahu apa yang dibutuhkan anaknya. Karena itu ia tidak akan memberikan yang buruk kepada anaknya. Namun, seorang anak juga perlu taat dan menerima jawaban bapaknya. Seorang anak percaya bahwa yang diberikan bapaknya adalah yang terbaik. Demikian juga Allah. Ia tahu kebutuhan umat-Nya, dan memberikan yang terbaik bagi umat-Nya. Karena itu, kita sebagai anak-anak Allah juga perlu memiliki sikap iman untuk percaya bahwa apa yang diperbuat Allah adalah yang terbaik. Memang kita bisa berkeluh kesah, mempertanyakan Allah, bahkan tawar-menawar dengan Allah, tetapi itu semua dalam iman yang selalu percaya bahwa apa yang diperbuat Allah itu baik adanya.  Dengan demikian, doa bukan lagi soal meminta, apalagi formalitas, melainkan sebuah kedekatan relasi, ketaatan, dan kepercayaan kepada Allah.

Yesus juga mengajarkan bahawa doa bukan sekadar diucapkan, melainkan diusahakan. Di dalam doa, ada ketulusan dan ketaatan. Ketaatan itu nyata juga dalam tindakan kita yang menghidupi apa yang kita doakan. Perumapamaan Yesus tentang tetangga yang meninta roti ke rumah sahabatnya untuk diberikan kepada sahabatnya yang datang ke rumahnya tidak hanya menunjukkan permintaan yang dikabulkan, tetapi juga soal mengusahakan apa yang didoakan. Orang yang menerima tamu di rumahnya mengusahakan dengan berbagai upaya agar dia bisa memberikan keramahtamahan yang layak kepada sehabatnya yang bertamu, sekalipun itu sudah tengah malam.

Doa yang kita ucapkan juga perlu kita usahakan. Jika kita berdoa untuk rekan yang sakit, kita juga perlu memperhatikan mereka, menjenguk dan menghibur mereka. Jika kita berdoa untuk korban bencana, kita juga mengusahakan bantuan bagi mereka, baik secara langsung di lapangan maupun dengan menyalurkan kebutuhan pasca-bencana. Jika kita berdoa untuk bangsa negara, kita juga berkontribusi untuk kemajuan negara. Jika kita berdoa untuk pelayanan gereja, kita pun ikut terlibat dalam pelayanan gereja. Jika kita berdoa untuk perdamaian dunia, kita pun hidup berdamai dengan semua orang yang kita jumpai. Jika kita berdoa untuk pelestarian lingkungan, kita juga mengusahakan kelestarian lingkungan dengan bijak mengelola sampah, hemat energi, dan berbagai cara lain. Doa bukan soal meminta, apalagi sebagai formalitas belaka. Doa sejatinya adalah soal kedekatan relasi dan ketataan kepada Allah. Jika kita dekat dan taat, hidup kita pun mencerminkan apa yang kita doakan. Ketaatan kita ketika berkata “jadilah kehendak-Mu” di dalam doa adalah dengan mengusahakan agar kehendak Allah dinyatakan dalam kehidupan di dunia. Ketika kita berkata “datanglah kerajaa-Mu”, maka kita pun bertanggung jawab untuk menghadirkan Kerajaan Allah itu kini dan di sini. Berdoa bukan hanya menutup mata dan melipat tangan, tetapi juga membuka mata dan mengulurkan tangan. Membuka mata untuk melihat sekitar kita, dan mengulurkan tangan untuk mengushakan kebaikan bagi sekitar kita. Tuhan menyertai kita. Amin. (thn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar