Jumat, 21 Oktober 2022

KELUARGA YANG TETAP PERCAYA PADA PERTOLONGAN TUHAN


Yeremia 14 : 7 – 10, 19 – 22; Mazmur 84 : 1 – 7; 2 Timotius 4 : 6 – 8, 16 – 18; Lukas 18 : 9 – 14

 

Saudaraku, sebagai orang-orang yang percaya kepada Tuhan, kita seringkali berdoa. Namun apakah berdoa sudah menjadi bukti bahwa kita percaya? atau berdoa hanya sebatas rutinitas dan hanya sebagai sarana kita meminta sesuatu pada Tuhan. Dalam kitab Yeremia 14, mengisahkan orang-orang Yehuda yang saat itu mengalami kekeringan yang berdampak pada manusia dan juga binatang (ay. 1 – 6). Masalah yang mereka hadapi ini merupakan hukuman Tuhan atas Yehuda karena mereka sering kali memilih untuk menyembah berhala-berhala ketimbang Allah, dan enggan mendengar peringatan dari Allah (bc. Yer. 7, 8, 10 - 11). Itu sebabnya dalam ay. 10 Tuhan berfirman bahwa Ia tidak berkenan kepada mereka tetapi Ia mau mengingat kesalahan mereka dan mau menghukum dosa mereka.

 Dalam persoalan yang orang Yehuda ini alami, sangatlah baik ketika mereka menyadari kemurtadan dan dosa mereka kepada Tuhan (ay. 7), juga berdoa memohon pertolongan Tuhan (ay. 8a). Karena dengan menyadari kesalahan dan berdoa pada Tuhan menunjukkan bahwa mereka masih mengandalkan Tuhan. Namun demikian, berdoa ternyata tidak berarti mereka percaya pada Tuhan. Sebab ketika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, (ay. 8b – 9a) mereka mengatakan Tuhan itu seperti orang asing, seperti orang perjalanan yang hanya singgah untuk bermalam, seperti orang yang bingung, seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong.

Berdoa tidak selalu menunjukkan bahwa seseorang percaya pada pertolongan Tuhan. Karena dalam konteks Yeremia, orang Yehuda justru menggunakan doa hanya sebagai sarana untuk meminta apa yang mereka mau dan meminta Tuhan memberi apa yang mereka minta. Jika Tuhan tidak memberi apa yang mereka mau, mereka menganggap Tuhan seperti pahlawan yang tidak sanggup menolong, orang asing, orang yang bingung karena tidak bisa melakukan apa-apa. Hal ini menunjukkan bahwa rasa percaya orang-orang Yehuda pada Allah itu 0 (nihil). Mereka berdoa namun tidak sungguh-sungguh percaya. Mereka berdoa hanya supaya Tuhan memberi pertolongan.  

Saudara, apa yang dilakukan oleh orang-orang Yehuda berbeda sekali dengan apa yang dilakukan oleh Paulus. Dalam suratnya yang kedua kepada Timotius 4 : 6 - 8, Paulus yang saat itu menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak akan lama lagi (ay. 6) sebab ia sedang dalam penjara di Roma dan akan dieksekusi mati. Dalam refleksi imannya, ia mengatakan “aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” Apa yang dikatakan Paulus ini menunjukkan bahwa pertandingan yang ia lalui menunjukkan berbagai persoalan hidup yang harus ia lewati. Namun ia tetap percaya, tetap setia bukan hanya sampai di tengah perlombaan tetapi sampai garis akhir. Dan di garis akhir, ia tetap memelihara iman kepada Tuhan. Ia tetap percaya pada pertolongan Tuhan.

Paulus bisa mengatakan hal ini karena dia punya pengalaman dengan Tuhan. Ia sampaikan (ay. 16) di dalam sidang pembelaan, tidak seorang pun yang membantu aku, semuanya (artinya orang-orang yang mengenalnya, orang-orang terdekatnya, orang-orang yang bisa ia andalkan) meninggalkannya. Tetapi (ay. 17) Tuhan telah mendampingi aku dan menguatkan aku, (ay. 18) Tuhan akan menyelamatkan aku. BagiNyalah kemuliaan selama-lamanya! Amin.

Apa yang ditunjukkan Paulus bukan hanya berkata bahwa ia percaya atau ia beriman tapi sebuah sikap di mana ia setia, percaya, memelihara iman dalam setiap persoalan sampai garis akhir kehidupannya. Ada aksi yang ia tunjukkan ketika ia berusaha untuk memelihara iman. Hal ini juga terlihat dalam kondisi yang hampir mati itu, ia tetap memuliakan Tuhan. Karena ia percaya pada pertolongan Tuhan bahkan dalam hidupnya yang penuh dengan sengsara.

Berbicara tentang percaya pada pertolongan Tuhan dalam sikap dan doa, Yesus juga mengajar para muridNya lewat sebuah perumpamaan orang Farisi dan pemungut cukai dalam Lukas 18 : 9 – 14. Diceritakan dalam perumpamaan itu, kalau keduanya suka berdoa di Bait Allah. Hal ini bisa jadi karena orang Yahudi lebih senang berdoa di Bait Allah seperti yang dituliskan dalam Mazmur 84 : 2. Berdoa di rumah Allah pun membawa kebahagiaan (ay. 5) dan pemazmur juga sampaikan mendekat kepada Allah di sion membuat orang percaya berjalan makin kuat (ay. 8). Maka berdoa bagi orang Yahudi merupakan hal yang baik. Apalagi jika dilakukan di kediaman Allah.

Saat orang Farisi yang adalah salah 1 pemuka agama Yahudi pada masa itu berdiri dan berdoa dalam hati, ia bersyukur karena tidak sama dengan perampok, lalim, pezinah dan pemungut cukai. Ia berpuasa 2x seminggu dan 1/10 hasilnya diberikan sebagai persembahan. Jika kita memperhatikan perkataan dalam doanya, di satu sisi memang menampilkan ungkapan syukur, namun di sisi yang lain ia menggap dirinya tinggi, benar, dan juga flexing (pamer) atas perbuatan-perbuatannya pada Tuhan.  

Sementara pemungut cukai yang adalah pemungut pajak untuk pemerintahan Romawi dan dianggap sebagai orang berdosa oleh masyarakat pada masa itu karena pekerjaannya. Ketika berdoa ia berdiri jauh-jauh dan tidak berani menengadah ke langit melainkan memukul diri dan berkata “Ya Allah kasihilah aku orang yang berdosa ini.” Dalam tradisi Yahudi, langit dipahami sebagai tempat kediaman Allah. Sehingga sikap pemungut cukai saat berdoa menunjukkan bahwa ia begitu takut atau tidak berani untuk melihat Allah (menengadah ke langit). Ia juga memukul dirinya sebagai tanda penyesalan, juga mengaku bahwa dirinya berdosa dan butuh dikasihi Allah.

Dari dua sikap orang ini, Yesus katakan (ay. 14) “Orang ini pulang ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah dan orang lain tidak. Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Tentu dari perumpamaan yang Yesus sampaikan, orang yang dibenarkan adalah pemungut cukai. Bukan hanya karena ia berdoa tapi karena sikapnya ketika berdoa kepada Allah. Saudaraku, dari kumpulan bacaan hari ini. Kita kembali mau diingatkan:


1)   Ingatlah untuk berdoa kepada Allah dalam segala kondisi hidup kita. Sebab dengan berdoa, kita berkomunikasi dengan Allah. Berkomunikasi dengan Allah ini pun tanpa kuota dan pulsa, tanpa batas ruang dan waktu. Maka teruslah berdoa kepada Tuhan. Karena seperti kata Paulus, ketika tidak ada seorang pun yang membantu kita dan semuanya meninggalkan kita, Tuhan akan terus mendampingi dan menguatkan kita dalam segala keadaan yang kita hadapi.

 

2)   Berdoa bukan sebatas kata indah yang diucapkan. Berdoa adalah sikap percaya pada pertolongan Tuhan. Sikap percaya pun bukan kita wujudkan dengan memaksa Tuhan seperti yang dilakukan orang-orang Yehuda tapi dengan rendah hati seperti pemungut cukai yang diceritakan Yesus. Karena dengan percaya dan rendah hati, kita memberi ruang bagi Allah untuk berkarya dalam hidup kita. Entah dengan memberi kita kemampuan untuk mencari dan mendapat jalan keluar, bantuan dari orang-orang sekitar, dll.

 

Saudaraku, di bulan keluarga ini. Mari kita kembali menyegarkan keluarga kita untuk sama-sama kembali berdoa bersama dan mewujudkan doa itu lewat sikap percaya kita pada pertolongan Tuhan. Ia mengenal isi hati kita, Ia juga mengenal keluarga kita. Ia tahu kebutuhan kita, Ia punya banyak cara menolong kita. Untuk itu, berdoa, percaya dan lihatlah karya Allah dalam hidup kita. Allah bersama kita semua. Amin (mc)  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar