Jumat, 07 Oktober 2022

KELUARGA YANG MEMILIKI UCAPAN SYUKUR

 

                2 Raja-raja 5 : 1 – 15; Mazmur 111; 2 Timotius 2 : 8 – 15; Lukas 17 : 11 – 19

 

Saudaraku dalam Tuhan, mengucap syukur adalah hal yang sederhana. Namun, sering kali terlupakan. Jangankan di waktu sukar, di waktu suka pun mengucap syukur menjadi hal yang seringkali terlewatkan. Hal ini pun terungkap lewat kisah 10 orang kusta yang diceritakan dalam Injil Lukas 17 : 11 – 19. Dikisahkan ada 10 orang yang sakit kusta.

Entah sejak kapan dan kenapa mereka bisa sakit kusta hal itu tidak diceritakan, namun yang pasti di masa itu orang yang terkena sakit kusta menderita secara fisik karena sakit mereka, tetapi juga secara sosial. Sebab di masa itu, sakit selalu dimaknai sebagai akibat dari dosa yang dilakukan. Apalagi jika sakitnya tidak kunjung sembuh. Itu sebabnya, orang yang sakit kusta akan dijauhi oleh masyarakat dan juga keluarga karena dianggap sebagai orang yang berdosa dan mendekat kepada mereka hanya akan membuat orang yang sehat menjadi najis.

Sebagai orang yang sakit, tentu orang-orang yang sakit kusta ini berharap bisa sembuh. Itu sebabnya ketika mereka tahu Yesus memasuki desa mereka, sekalipun mereka berdiri agak jauh karena mereka dijauhi masyarakat dan harus menjauh dari masyarakat, namun mereka tidak kehabisan ide dan terus berusaha untuk menarik perhatian Yesus dan pertolonganNya. Mereka berteriak: Yesus, Guru, kasihanilah kami! Hal itu dilakukan tentu berkali-kali dengan seluruh daya mereka supaya Yesus memperhatikan mereka juga di tengah banyaknya orang yang mengikuti Yesus saat itu.

Alhasil, usaha mereka tidak sia-sia sebab Yesus berhenti dan memandang mereka. Namun Yesus tidak langsung menyembuhkan mereka seperti yang mereka harapkan. Yesus justru meminta mereka untuk pergi dan memperlihatkan diri mereka kepada imam-imam di Yerusalem. Jika kita berada di posisi mereka, apakah yang akan kita lakukan? Mungkin saja kita akan merasa kesal dan mengeluh, “sudah lelah berteriak ternyata ngga bisa langsung sembuh. Lagi sakit kusta, ini malah disuruh melakukan perjalanan lumayan jauh dari perbatasan Galilea dan Samaria ke Yerusalem. Belum lagi sampai di Yerusalem, bukannya ketemu tabib yang hebat untuk menyembuhkan malah ke imam-imam yang rata-rata bisanya mengajar dan berkhotbah. Nanti bukannya disembuhkan, malah dikhotbahin.”

Kisah ini mirip dengan kisah Naaman dalam 2 Raja-raja 5 : 1 – 15. Ia seorang pahlawan yang juga sakit kusta. Ketika ia pergi menjumpai nabi Elisa dengan harapan disembuhkan langsung seperti kesaksian pelayan istri Namaan, namun ternyata bukan Elisa yang berjumpa dengannya melainkan suruhannya. Ditambah lagi proses penyembuhan tidak langsung terjadi karena Naaman harus pergi ke sungai Yordan dan mandi di sana sebanyak 7x (ay. 10). Hal ini membuat Naaman gusar dan panas hati.

Kita kembali ke kisah 10 orang kusta di kitab Injil. Memang tidak diceritakan apakah mereka menggerutu atau tidak dalam perjalanan. Namun kemungkinan seperti yang dialami oleh Naaman, ada kemungkinan 10 orang kusta ini juga mengeluh. Tetapi sekalipun hal itu terjadi, mereka tetap pergi seperti yang Yesus sampaikan kepada mereka. Mengapa?

1)   Ingin membuktikan apa kata orang yang selama ini mereka dengar tentang Yesus. Kesaksian orang lain, Yesus bisa menyembuhkan banyak orang dan banyak penyakit. Yesus punya kuasa untuk menyembuhkan dengan cepat dan hebat.

2)   Ingin coba dulu karena tidak ada salahnya mencoba. Ya siapa tahu coba kali ini berhasil. Yang penting bisa sembuh, apa saja akan dicoba.  

3)   Percaya pada kuasa Yesus. Sekalipun apa yang Yesus perintahkan tidak masuk di akal dan bahkan penuh misteri. Sebab mungkin saja sesampai di Yerusalem, mereka akan diperintahkan hal lain lagi oleh imam dan tidak langsung sembuh. Namun, percaya pada Yesus tanpa tapi, membuat hal-hal yang nampaknya sulit dipahami dan diterima menjadi tetap bisa dinikmati dan dijalani.

Dan ternyata sekalipun awalnya Yesus tidak menyembuhkan mereka, namun ternyata sementara mereka di tengah jalan, mereka menjadi tahir alias sembuh. Kenapa Yesus tidak lakukan saja di awal ketika Ia berjumpa dengan mereka? Kenapa harus menyuruh mereka melakukan perintah dulu baru disembuhkan? Beberapa penafsir, menafsirkan karena Yesus mau mengajar mereka bahwa percaya pada Yesus bukan hanya keinginan dan perkataan semata, tetapi juga melalui tindakan.

Namun sayangnya, dari 10 orang yang disembuhkan, hanya 1 orang saja yang kembali untuk memuliakan Allah dan mengucap syukur. Hal ini memperlihatkan bahwa mengucap syukur itu sekalipun sederhana, namun mudah dilewatkan. Pertanyaannya kenapa hanya 1 orang yang kembali untuk mengucap syukur? Karena ia mengingat Allah. Ia sadar walaupun belum sampai ia di Yerusalem, namun penyembuhan yang ia terima tidak dapat dipungkiri adalah pekerjaan Allah. Saudaraku yang terkasih, dari kisah ini kita hendak belajar:

1.   Kita tidak bisa memaksa Allah memberi apa yang kita mau. Seperti 10 orang kusta atau Naaman yang tidak bisa memaksa Allah untuk langsung menyembuhkan mereka secara instan. Dari bacaan ini kita justru belajar bukan memaksa Allah mengikuti apa yang kita mau, tetapi kita belajar memaksa diri kita untuk mengikuti apa yang Tuhan mau.

2.   Percaya bukan hanya sebatas kata dan keinginan, namun juga tindakan. Tindakan percaya dengan mengikuti apa yang Tuhan mau akan mendatangkan kebaikan untuk kita.

3.   Jangan lupa untuk mengucap syukur pada Allah sebab sekalipun kita seringkali lupa akan kebaikanNya dan tidak setia kepadaNya, (2 Timotius 2 : 13) Dia tetap setia. Mengucap syukur itu perlu dibiasakan. Mulailah dari diri sendiri dan mulailah dalam keluarga kita.

Selamat mengucap syukur. Tuhan memberkati. Amin. (mc)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar