Minggu Biasa XXXII
Ayub 19:23-27 | Mazmur 17:1-9 | 2 Tesalonika 2:1-5, 13-17 | Lukas 20:27-38
Selama
pandemi Covid-19, kita melihat banyak kematian di sekitar kita. Ada orang-orang
yang ketakutan, tetapi ada juga yang apatis dengannya. Mereka yang apatis lalu
berkata bahwa mereka tidak takut Covid, tidak takut mati. Namun, apakah mereka
berani hidup? Mati itu memang mudah, tetapi hidup dan berbuah serta berjuang di
dalam dunia yang penuh dengan penderitaan – pandemi, resesi, krisis pangan,
krisis iklim, dan lainnya – bukanlah perkara mudah. Mungkin banyak orang yang
berkata mereka berani mati adalah mereka yang sebenarnya lebih takut menghadapi
kehidupan daripada kematian. Masalahnya adalah,
orang-orang yang siap mati ini, apakah siap menghadapi kematian karena telah
menjalani hidup bermakna dan berdampak? Atau jangan-jangan, mereka tidak
berbuah dalam hidupnya, tidak berkarya dan membawa dampak, lalu mencari cara
yang mudah? Namun, kita tidak bisa juga menghakimi orang yang memutuskan mati
karena menanggung beban yang begitu berat dalam hidupnya. Terkadang,
ketidakpedulian kita, sebagai orang-orang di sekitarnya juga yang berpengaruh
pada ini. Seorang ahli Pendidikan Kristiani, Jack Seymour,
mengatakan bahwa salah satu karakteristik Pendidikan Kristiani adalah
memperlengkapi naradidik untuk hidup di dalam dunia. Artinya, Pendidikan
Kristiani harus menyiapkan orang untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen
diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan
sesama. Orang kristen seharusnya belajar untuk menjalani hidup dan berbuah
dalam keadaan tertekan dan penderitaan sekalipun.
Bacaan pertama
Ayub merupakan jawaban Ayub terhadap temannya, Bildad. Ayub merasa hidupnya penuh
dengan penderitaan yang sangat berat, sekalipun ia tidak berbuat salah. Ditmbah
dengan pengahakiman oleh teman-temanya, bisa saja Ayub semakin putus asa dan
terpuruk. Namun, ia memohon keadilan Tuhan. Dalam keputusasaannya, Ayub masih
berpengharapan. Ia menyerukan, “Tetapi aku tahu bahwa penebusku hidup.” Di tengah
kehidupannya yang hancur bekeping-keping, Ayub memilih untuk beriman kepada
Allah yang hidup. Hidup artinya masih terus ada, bekerja, bergerak. Ayub yakin
bahwa di tengah tekanan dan pergumulan hidupnya, Allah yang dia percayai itu
hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya. Oleh sebab itulah Ayub
berpengharapan dan tetap menjalani hidup dalam pergumulannya. Bahkan hidupnya
menjadi kesaksian bagi banyak orang.
Kita belajar
dari Ayub bahwa hidup bukan sekadar hidup dan menanti ajal menjemput, apalagi
hidup yang dipenuhi ketakutan akan kematian. Ada orang Kristen yang ketakutan apakah nanti setelah mati masuk surga
atau neraka. Karena penekanan pada yang menakutkan, akhirnya melalaikan
tanggung jawabnya dalam kehidupan di dunia saat ini. Sudah takut hidup, takut mati pula. Akhirnya hanya memikirkan diri
sendiri, dan tidak peduli kepada orang lain. Jemaat
Tesalonika yang menerima pengajaran-pengajaran palsu tentang Hari Tuhan merasa
takut akan kengerian-kengerian dan kebinasaan saat Hari Tuhan. Dalam menantikan
hari Tuhan, mereka diliputi perasaan takut akan kematian. Mereka gelisah karena
ada yang berkata bahwa hari Tuhan segera datang. Oleh karena itu Paulus
memberikan pengharapan kepada mereka akan kehidupan. Paulus mengajarkan untuk
teguh berdiri karena Tuhan sendiri yang akan menghibur dan menguatkan jemaat,
sehingga dapat melakukan pekerjaan dan perkataan baik. Dengan keyakinan iman itu,
mereka dapat hidup dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi
berkat bagi sesama, bukannya diliputi kegelisahan dan kebingungan yang membuat
jemaat hanya memikirkan diri sendiri.
Kematian
janganlah menjadi sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak, karena
jadinya adalah ketakutan dan kita pun menebar ketakutan dan kengerian akan
kematian. Kita percaya setelah kematian pun, ada kehidupan abadi dalam
persekutuan dengan Allah. Yesus sendiri yang mengajarkannya ketika Ia menjawab
ujian orang-orang Saduki tentang kehidupan setelah kematian. Ia tegas berkata
bahwa bahwa Allah Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah orang-orang yang
hidup. Dari Yesus kita tahu bahwa Allah yang hidup itu
memberikan kehidupan kepada mereka yang sudah mati sekalipun. Ia adalah Allah
yang hidup dan menghidupkan. Kematian bukan menjadi akhir yang menakutkan, karena
ada pengharapan akan kehidupan dan kebangkitan orang mati. Itulah pengharapan bagi
kita juga untuk berkarya dalam kehidupan, bukan takut menanti kematian.
Dengan
demikian, tepatlah apa yang dikatakan Seymour, kekristenan itu menyiapkan
umatnya untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus
kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama lewat dengan
sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama. Tanggal 10
November nanti kita merayakan Hari Pahlawan. Kita mengenang para pahlawan yang
rela memberikan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka rela mati untuk memperjuangkan
kehidupan dan kemerdekaan bangsa Indoensia. Dalam keadaan perang dan terjajah,
gugur untuk memperjuangkan suatu yang lebih mulia itu salah satu tindakan
heroik. Kematian jadi alat perjuangan untuk kehidupan, bukan jadi tujuan. Karena
itu, kita mengenang dan merayakan pengurbanan para pahlawan yang
gugur untuk memberi dampak kehidupan bagi masyarakat sekarang. Namun,
kepahlawanan janganlah menjadi romatisasi berani mati. Dulu pada zamannya,
berani mati, rela mengurbankan diri dalam perang adalah jalan untuk membebaskan
dan membawa kehidupan. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Karenanya diajak
untuk menghargai jasa para pahlawan dengan hidup baik, berjungan dalam
kehidupan kita, berjuang mempertahankan kemerdekaan ini dengan kepedulian
kepada sesama, membangun masyarakat yang adil dan beradab, saling menghormati,
saling membantu, dan berbagi hidup dengan sesama.
Itulah juga
perjuangan kita sebagai orang Kristen, yang mengimani Allah yang hidup.
Memperjuangkan dan merawat kehidupan. Sebagai orang Kristen, kita memang
mengimani Yesus Kristus yang mati demi menyelamatkan. Namun, Ia juga bangkit
dan hidup, serta memberikan kehidupan. Dalam kebangkitan-Nya, kita diberikan
pengharapan akan kehidupan. Maka, iman kepada Allah yang hidup
seharusnya menjadi penggerak bagi kita untuk hidup berbuah, memperjuangkan
kehidupan melalui karya kita yang membangun dan berdampak bagi masyarakat.
Amin. (thn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar