Jumat, 04 November 2022

DIA ALLAH YANG HIDUP

Minggu Biasa XXXII 

Ayub 19:23-27 | Mazmur 17:1-9 | 2 Tesalonika 2:1-5, 13-17 | Lukas 20:27-38

 

Selama pandemi Covid-19, kita melihat banyak kematian di sekitar kita. Ada orang-orang yang ketakutan, tetapi ada juga yang apatis dengannya. Mereka yang apatis lalu berkata bahwa mereka tidak takut Covid, tidak takut mati. Namun, apakah mereka berani hidup? Mati itu memang mudah, tetapi hidup dan berbuah serta berjuang di dalam dunia yang penuh dengan penderitaan – pandemi, resesi, krisis pangan, krisis iklim, dan lainnya – bukanlah perkara mudah. Mungkin banyak orang yang berkata mereka berani mati adalah mereka yang sebenarnya lebih takut menghadapi kehidupan daripada kematian. Masalahnya adalah, orang-orang yang siap mati ini, apakah siap menghadapi kematian karena telah menjalani hidup bermakna dan berdampak? Atau jangan-jangan, mereka tidak berbuah dalam hidupnya, tidak berkarya dan membawa dampak, lalu mencari cara yang mudah? Namun, kita tidak bisa juga menghakimi orang yang memutuskan mati karena menanggung beban yang begitu berat dalam hidupnya. Terkadang, ketidakpedulian kita, sebagai orang-orang di sekitarnya juga yang berpengaruh pada ini. Seorang ahli Pendidikan Kristiani, Jack Seymour, mengatakan bahwa salah satu karakteristik Pendidikan Kristiani adalah memperlengkapi naradidik untuk hidup di dalam dunia. Artinya, Pendidikan Kristiani harus menyiapkan orang untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama. Orang kristen seharusnya belajar untuk menjalani hidup dan berbuah dalam keadaan tertekan dan penderitaan sekalipun.

Bacaan pertama Ayub merupakan jawaban Ayub terhadap temannya, Bildad. Ayub merasa hidupnya penuh dengan penderitaan yang sangat berat, sekalipun ia tidak berbuat salah. Ditmbah dengan pengahakiman oleh teman-temanya, bisa saja Ayub semakin putus asa dan terpuruk. Namun, ia memohon keadilan Tuhan. Dalam keputusasaannya, Ayub masih berpengharapan. Ia menyerukan, “Tetapi aku tahu bahwa penebusku hidup.” Di tengah kehidupannya yang hancur bekeping-keping, Ayub memilih untuk beriman kepada Allah yang hidup. Hidup artinya masih terus ada, bekerja, bergerak. Ayub yakin bahwa di tengah tekanan dan pergumulan hidupnya, Allah yang dia percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya. Oleh sebab itulah Ayub berpengharapan dan tetap menjalani hidup dalam pergumulannya. Bahkan hidupnya menjadi kesaksian bagi banyak orang.

Kita belajar dari Ayub bahwa hidup bukan sekadar hidup dan menanti ajal menjemput, apalagi hidup yang dipenuhi ketakutan akan kematian. Ada orang Kristen yang ketakutan apakah nanti setelah mati masuk surga atau neraka. Karena penekanan pada yang menakutkan, akhirnya melalaikan tanggung jawabnya dalam kehidupan di dunia saat ini. Sudah takut hidup, takut mati pula. Akhirnya hanya memikirkan diri sendiri, dan tidak peduli kepada orang lain. Jemaat Tesalonika yang menerima pengajaran-pengajaran palsu tentang Hari Tuhan merasa takut akan kengerian-kengerian dan kebinasaan saat Hari Tuhan. Dalam menantikan hari Tuhan, mereka diliputi perasaan takut akan kematian. Mereka gelisah karena ada yang berkata bahwa hari Tuhan segera datang. Oleh karena itu Paulus memberikan pengharapan kepada mereka akan kehidupan. Paulus mengajarkan untuk teguh berdiri karena Tuhan sendiri yang akan menghibur dan menguatkan jemaat, sehingga dapat melakukan pekerjaan dan perkataan baik. Dengan keyakinan iman itu, mereka dapat hidup dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama, bukannya diliputi kegelisahan dan kebingungan yang membuat jemaat hanya memikirkan diri sendiri.

Kematian janganlah menjadi sesuatu yang menggerakkan kita untuk bertindak, karena jadinya adalah ketakutan dan kita pun menebar ketakutan dan kengerian akan kematian. Kita percaya setelah kematian pun, ada kehidupan abadi dalam persekutuan dengan Allah. Yesus sendiri yang mengajarkannya ketika Ia menjawab ujian orang-orang Saduki tentang kehidupan setelah kematian. Ia tegas berkata bahwa bahwa Allah Abraham, Ishak, dan Yakub adalah Allah orang-orang yang hidup. Dari Yesus kita tahu bahwa Allah yang hidup itu memberikan kehidupan kepada mereka yang sudah mati sekalipun. Ia adalah Allah yang hidup dan menghidupkan. Kematian bukan menjadi akhir yang menakutkan, karena ada pengharapan akan kehidupan dan kebangkitan orang mati. Itulah pengharapan bagi kita juga untuk berkarya dalam kehidupan, bukan takut menanti kematian.

Dengan demikian, tepatlah apa yang dikatakan Seymour, kekristenan itu menyiapkan umatnya untuk hidup, bukan untuk mati. Orang Kristen diajarkan untuk berfokus kehidupan, memperjuangkan dan berbagi kehidupan dengan sesama lewat dengan sikap positif, bekerja dan berkata baik, menjadi berkat bagi sesama. Tanggal 10 November nanti kita merayakan Hari Pahlawan. Kita mengenang para pahlawan yang rela memberikan nyawanya untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka rela mati untuk memperjuangkan kehidupan dan kemerdekaan bangsa Indoensia. Dalam keadaan perang dan terjajah, gugur untuk memperjuangkan suatu yang lebih mulia itu salah satu tindakan heroik. Kematian jadi alat perjuangan untuk kehidupan, bukan jadi tujuan. Karena itu, kita mengenang dan merayakan pengurbanan para pahlawan yang gugur untuk memberi dampak kehidupan bagi masyarakat sekarang. Namun, kepahlawanan janganlah menjadi romatisasi berani mati. Dulu pada zamannya, berani mati, rela mengurbankan diri dalam perang adalah jalan untuk membebaskan dan membawa kehidupan. Sekarang keadaannya sudah berbeda. Karenanya diajak untuk menghargai jasa para pahlawan dengan hidup baik, berjungan dalam kehidupan kita, berjuang mempertahankan kemerdekaan ini dengan kepedulian kepada sesama, membangun masyarakat yang adil dan beradab, saling menghormati, saling membantu, dan berbagi hidup dengan sesama.

Itulah juga perjuangan kita sebagai orang Kristen, yang mengimani Allah yang hidup. Memperjuangkan dan merawat kehidupan. Sebagai orang Kristen, kita memang mengimani Yesus Kristus yang mati demi menyelamatkan. Namun, Ia juga bangkit dan hidup, serta memberikan kehidupan. Dalam kebangkitan-Nya, kita diberikan pengharapan akan kehidupan. Maka, iman kepada Allah yang hidup seharusnya menjadi penggerak bagi kita untuk hidup berbuah, memperjuangkan kehidupan melalui karya kita yang membangun dan berdampak bagi masyarakat. Amin. (thn)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar