Sabtu, 06 Januari 2024

DIKASIHI DAN BERKENAN KEPADA ALLAH

Minggu Pembaptisan Yesus

Kejadian 1:1-5 | Mazmur 29 | Kis 19:1-7 | Mrk 1:4-11

 

Beberapa waktu lalu, kota Kupang dihebohkan dengan adanya KKR yang berujung pada pelaksanaan baptis ulang secara masal. Tak heran, kejadian ini  mengundang berbagai macam respon, baik yang menentang atau mendukung dengan tegas. Harus diakui, perkara baptisan memang menjadi isu klasik yang selali asyik untuk diperdebatkan, entah secara metodologis, teologis, tradisi, atau sesepele masalah like and dislike. Tak jarang, kita mendengar kesaksian orang-orang Kristen sepulang dari Yerusalem dan dengan bangga menceritakan keikutsertaannya pada baptisan di Sungai Yordan. “Mirip sama Tuhan Yesus..”, kata mereka lugu. Tentu hal ini musti mendapat respon yang rendah hati dari gereja, bahwa kerap kali gereja menyuarakan keadilan dan cinta kasih Allah dari mimbar, namun jarang sekali mengajarkan perkara doktrinal. Mungkin gereja berpikir sudah sangat membekali calon jemaat saat katekisasi. Ya, mungkin saja.

Minggu ini, kita berhenti pada bacaan Injil mengenai pembaptisan Yesus. Ada beberapa poin yang bisa kita renungkan bersama mengenai kisah ini. Perenungan kita berangkat dari sebuah pertanyaan; mengapa Yesus dibaptis?

Pertama, bila kita membaca kisah ini secara sekilas, wajar bila kita merasa ada yang aneh. Kita tau, bahwa Yohanes Pembaptis melakukan pembaptisan dengan seruan pertobatan (Mat 3:2, Mrk 1:4). Lantas, berdosakah Yesus? Yesus adalah Yang Maha Kudus yang keluar dan datang dari Sang Bapa (lih. Yoh 8:42) yang sudah pasti bersih dari salah dan dosa. Lalu untuk apa?

Ada alasan menarik bila kita melihat pada kekhasan Markus dalam menempatkan kisah pembaptisan Yesus pada perikop pertama dalam keseluruhan Injil. Kita mengetahui, keempat Injil Sinoptik memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing. Hanya Injil Matius dan Lukas yang menceritakan dengan indah mengenai kisah kelahiran Sang Raja Semesta di atas dunia. Peristiwa inkarnasi dalam drama Natal menuturkan kesudian Yang Maha Tidak Terbatas lahir ke dunia dalam wujud manusia yang dipenuhi segala keterbatasan. Lahirnya Yesus ke dunia menjadi tanda bahwa Ia adalah Allah yang berbelarasa kepada umat-Nya yang menderita sengsara dalam segala pergumulan hidup. Ya, Matius dan Lukas menarasikan belarasa itu dengan baik. Lantas, apakah Markus menganggap belarasa Allah itu tidak penting? Tentu, Markus sebagai Injil tertua memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan belarasa Allah. Baptisan, dalam tradisi Perjanjian Lama adalah ritus yang digunakan untuk pembersihan diri dan dikhususkan untuk kaum proselit, yakni orang bukan Yahudi yang mau percaya kepada Allah YHWH dan mengikuti cara hidup sebagai orang Yahudi (lihat kisah Naaman). Berarti, baptisan memang diperuntukkan bagi orang-orang berdosa. Tak heran, Yohanes pembaptis menyerukan pertobatan dalam pembaptisannya. Yesus sebagai orang Yahudi tentu mengenal konsep ini dengan baik, tetapi Ia dengan sengaja memberi diri-Nya dibaptis sebagai bentuk belarasa kepada manusia yang berdosa meski ia tidak pernah berbuat dosa (lih. 2 Kor 5:21). Injil Markus memang tidak mencatat proses inkarnasi Yesus dalam kelahiran-Nya, namun Injil Markus menempatkan kisah pembaptisan Yesus sebagai pembuka Injil yang berrarti bahwa Yesus adalah Allah yang mau menjadi sama dengan manusia yang berdosa.

Kisah pembaptisan Yesus dalam Markus ini menggemakan kasih Allah yang berbelarasa kepada umat-Nya. Ia melakukan itu, dengan sadar bahwa Ia merendahkan diri-Nya dan menjadi setara dengan manusia berdosa. Belarasa dan empati inilah yang menjadi keagungan cinta-Nya. Hal yang tidak mudah bahkan sulit ditemui pada zaman modern. Manusia semakin ingin dimengerti namun tidak ingin dimengerti. Kita mengenal istilah ‘walking on other shoes’ namun tidak mau melakukannya. Orangtua yang sering memarahi anaknya karena anaknya dianggap nakal dan kurang ajar. Orangtua itu lupa, bahwa pola piker dan kematangan mental si anak sedang bertumbuh. Bukannya memahami mereka, yang terjadi justru memaksakan anak untuk bisa berpikir dan bersikap seperti orang dewasa. Yesus mengajarkan itu melalui pembaptisannya. Orang di seluruh Yudea dan Yerusalem datang pada saat itu (Mrk 1:5) dan Yesus mendemonstrasikan kerendahan hati itu kepada mereka.

Kedua, ada alasan lain mengapa Yesus memberi diri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bila meminjam narasi dari Injil Matius, kita akan menemukan beragam emosi ketika Yohanes berhadapan dengan Yesus yang memintanya untuk membaptiskan-Nya. Matius 3:14-15; Tetapi Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan Engkau yang datang kepadaku?" Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya: "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya. Ada rasa sungkan, takut, tidak layak, bahagia, dan segala rasa yang bercampur dalam satu adegan itu. Tentu hal itu dikarenakan Yohanes pembaptis tau siapa yang sedang berada di hadapannya. Namun yang perlu kita perhatikan adalah respon Yesus, "Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh kehendak Allah.". Yesus meyakinkan Yohanes Pembaptis bahwa pembaptisan itu harus dilakukan dalam rangka penggenapan seluruh kehendak Allah. Kata ‘Kehendak Allah’ ini bisa kita pahami sekilas sebagai ketaatan dari satu pihak kepada pemilik otoritas yang lebih tinggi—dalam hal ini Anak kepada Bapa. Namun, kita tidak bisa melihatnya demikian. Kisah pembaptisan ini ditutup dengan peristiwa teofani yang membagongkan, yang memerlihatkan panggung teatrikal ilahi, dimana Allah Trinitas hadir bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama serta bisa ditangkap oleh indrawi manusia. Sehingga ‘Kehendak Allah’ ini bukanlah sebuah perintah atasan kepada bawahan, namun sebuah ungkapan cinta dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang selalu rindu untuk bersama dan tak terpisahkan oleh ruang dan waktu. Kehadiran Roh Kudus dalam wujud burung merpati yang hinggap ke atas Yesus dan suara Allah yang datang dari langit ini bukan menunjukkan awal kebersamaan atas ketiga-Nya. Bacaan Pertama Minggu ini dalam Kejadian 1:1-5 pada narasi penciptaan sudah menceritakan bagaimana Bapa, Anak, dan Roh Kudus sudah ada dan tidak pernah terpisahkan. Hal ini dipertegas dalam kisah pembaptisan Yesus yang begitu indah nan romantis. Kehendak Allah yakni kerinduan itu juga diiyakan oleh Yesus yang meyakinkan Yohanes Pembaptis, bahwa peristiwa itu harus terjadi. Kita tidak boleh lupa, bahwa pembaptisan Yesus adalah langkah start bagi Yesus untuk memulai karya penyelamatan-Nya. Sejak memulai karya-Nya di dunia, hingga detik-detik kematian-Nya, Ia selalu rindu untuk ada Bersama dengan Sang Bapa dan Roh Kudus. Erangan Yesus yang dicatat dalam Alkitab; Eli Eli Lama Sabakhtani menjadi isyarat bahwa Kehendak Allah Trinitas adalah selalu ada dan bersama dalam segala ruang dan waktu.

Yesus memberikan teladan bahwa dalam segala karya, Ia menyadari bahwa Ia ada dalam persekutuan cinta Bersama Sang Bapa dan Roh Kudus. Ia berani menjalani karya pelayanan di dunia bukan sebagai cara melaksanakan perintah, namun karena kehendak bersama dalam Ketiganya untuk mewujudkan cinta dalam misi penebusan dosa. Misi yang berujung pada derita bahkan kematian itu dimulai dengan sadar karena ada cinta dalam diri-Nya dari Sang Bapa yang mengasihi dan berkenan kepada-Nya. Bila demikian, kita pun sudah semestinya berani menjalani kehidupan yang sulit dan penuh misteri dengan keyakinan iman bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian. Minggu ini adalah kebaktian Minggu pertama di tahun 2024. Kita selalu ada dalam sebuah kepastian bahwa kita tidak tau pasti apa yang akan terjadi di sepanjang tahun ini, namun biarlah keyakinan bahwa kita dihisab dalam persekutuan Allah Trinitas, dan tidak ada satupun kuasa di dunia yang sanggup memisahkan kita dari kasih-Nya (Roma 8:38-39).

Tema ibadah kita adalah ‘Dikasihi dan Berkenan kepada Allah’. Kita bisa saja berpikir bahwa agar kita dikasihi Tuhan dan berkenan di hadapan-Nya, kita harus hidup dengan berbelarasa dan berempati pada yang lain serta melakukan segala kebaikan dalam hidup. Bila demikian standar yang dipasang, adakah di antara kita yang berani mengangkat tangan dan mengaku bahwa kita sudah hidup baik, berbelarasa, berempati pada sesama, sehingga kita layak dikasihi dan berkenan kepada Allah? Jujurly, saya sendiri akan berpikir belasan kali untuk meyakini hal itu. Namun, bukankah kita mengenal Allah yang senantiasa berbelarasa kepada umat-Nya? Ia mengasihi kita dengan segala kondisi kita. Yesus mau dibaptis adalah tanda bahwa Ia memahami dan mengerti segala kondisi kita. Ketika Ia mau memebri diri dibaptis, itu adalah tanda bahwa memang kita dalam segala keberdosaan kita tetaplah dicintai dan berkenan di hadapan-Nya! Lantas, bagaimana? Saya punya sebuah cerita.

Ada seorang anak yang lapar sepulang sekolah. Ia sangat ingin makan. Untuk itu, dia menyapu dan mengepel seisi rumah dengan sungguh-sungguh. Ia melakukannya agar ibunya segera iba dan mememberikan ia makan siang. Apakah akhirnya ibunya memberikan ia makan? Pasti! Namun, apa yang akan terjadi bila ia tak menyapu dan mengepel? Apakah ia akan tetap mendapat makanan? Pasti! Meski ia tidak menyapu dan mengepel, ibunya akan selalu memberinya makan seperti biasa karena ibunya sangat mencintai anaknya. Lantas, dengan makanan, kasih sayang, perawatan kala sakit, dan jutaan cinta yang diterima oleh si anak, bukankah sudah seyogyanya anak itu hidup berbakti kepada ibunya? Dengan syukur dan rasa terima kasih, ia akan membantu ibunya melakukan pekerjaan rumah. Bukan atas dasar rayuan, tapi karena ia merasa dicintai selalu dan selalu oleh ibunya.

Yesus memulai karya-Nya yang berujung pada kematian karena Ia dicinta oleh Sang Bapa dan Roh Kudus. Sang Bapa mencintai dan berkenan kepada-Nya, dan karena itulah Ia mengambil jalan penderitaan bahkan kematian. Sang Bapa, juga berkenan dan mengasihi kita senantiasa apapun kondisi dan keberadaan kita. Jadi, bagaimana?

FTP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar