Minggu Pembaptisan Yesus
Kejadian 1:1-5 | Mazmur 29 | Kis 19:1-7 | Mrk 1:4-11
Beberapa
waktu lalu, kota Kupang dihebohkan dengan adanya KKR yang berujung pada
pelaksanaan baptis ulang secara masal. Tak heran, kejadian ini mengundang berbagai macam respon, baik yang
menentang atau mendukung dengan tegas. Harus diakui, perkara baptisan memang
menjadi isu klasik yang selali asyik untuk diperdebatkan, entah secara
metodologis, teologis, tradisi, atau sesepele masalah like and dislike. Tak
jarang, kita mendengar kesaksian orang-orang Kristen sepulang dari Yerusalem
dan dengan bangga menceritakan keikutsertaannya pada baptisan di Sungai Yordan.
“Mirip sama Tuhan Yesus..”, kata mereka lugu. Tentu hal ini musti
mendapat respon yang rendah hati dari gereja, bahwa kerap kali gereja
menyuarakan keadilan dan cinta kasih Allah dari mimbar, namun jarang sekali
mengajarkan perkara doktrinal. Mungkin gereja berpikir sudah sangat membekali
calon jemaat saat katekisasi. Ya, mungkin saja.
Minggu ini,
kita berhenti pada bacaan Injil mengenai pembaptisan Yesus. Ada beberapa poin
yang bisa kita renungkan bersama mengenai kisah ini. Perenungan kita berangkat
dari sebuah pertanyaan; mengapa Yesus dibaptis?
Pertama, bila
kita membaca kisah ini secara sekilas, wajar bila kita merasa ada yang aneh.
Kita tau, bahwa Yohanes Pembaptis melakukan pembaptisan dengan seruan pertobatan
(Mat 3:2, Mrk 1:4). Lantas, berdosakah Yesus? Yesus adalah Yang Maha Kudus yang
keluar dan datang dari Sang Bapa (lih. Yoh 8:42) yang sudah pasti bersih
dari salah dan dosa. Lalu untuk apa?
Ada alasan menarik
bila kita melihat pada kekhasan Markus dalam menempatkan kisah pembaptisan
Yesus pada perikop pertama dalam keseluruhan Injil. Kita mengetahui, keempat Injil
Sinoptik memiliki karakteristik dan kekhasan masing-masing. Hanya Injil Matius
dan Lukas yang menceritakan dengan indah mengenai kisah kelahiran Sang Raja
Semesta di atas dunia. Peristiwa inkarnasi dalam drama Natal menuturkan
kesudian Yang Maha Tidak Terbatas lahir ke dunia dalam wujud manusia yang dipenuhi
segala keterbatasan. Lahirnya Yesus ke dunia menjadi tanda bahwa Ia adalah Allah
yang berbelarasa kepada umat-Nya yang menderita sengsara dalam segala
pergumulan hidup. Ya, Matius dan Lukas menarasikan belarasa itu dengan baik.
Lantas, apakah Markus menganggap belarasa Allah itu tidak penting? Tentu,
Markus sebagai Injil tertua memiliki caranya sendiri untuk mengungkapkan
belarasa Allah. Baptisan, dalam tradisi Perjanjian Lama adalah ritus yang
digunakan untuk pembersihan diri dan dikhususkan untuk kaum proselit, yakni
orang bukan Yahudi yang mau percaya kepada Allah YHWH dan mengikuti cara hidup
sebagai orang Yahudi (lihat kisah Naaman). Berarti, baptisan memang
diperuntukkan bagi orang-orang berdosa. Tak heran, Yohanes pembaptis menyerukan
pertobatan dalam pembaptisannya. Yesus sebagai orang Yahudi tentu mengenal
konsep ini dengan baik, tetapi Ia dengan sengaja memberi diri-Nya dibaptis
sebagai bentuk belarasa kepada manusia yang berdosa meski ia tidak pernah
berbuat dosa (lih. 2 Kor 5:21). Injil Markus memang tidak mencatat
proses inkarnasi Yesus dalam kelahiran-Nya, namun Injil Markus menempatkan kisah
pembaptisan Yesus sebagai pembuka Injil yang berrarti bahwa Yesus adalah Allah
yang mau menjadi sama dengan manusia yang berdosa.
Kisah
pembaptisan Yesus dalam Markus ini menggemakan kasih Allah yang berbelarasa
kepada umat-Nya. Ia melakukan itu, dengan sadar bahwa Ia merendahkan diri-Nya dan
menjadi setara dengan manusia berdosa. Belarasa dan empati inilah yang menjadi
keagungan cinta-Nya. Hal yang tidak mudah bahkan sulit ditemui pada zaman
modern. Manusia semakin ingin dimengerti namun tidak ingin dimengerti. Kita
mengenal istilah ‘walking on other shoes’ namun tidak mau melakukannya.
Orangtua yang sering memarahi anaknya karena anaknya dianggap nakal dan kurang
ajar. Orangtua itu lupa, bahwa pola piker dan kematangan mental si anak sedang
bertumbuh. Bukannya memahami mereka, yang terjadi justru memaksakan anak untuk bisa
berpikir dan bersikap seperti orang dewasa. Yesus mengajarkan itu melalui pembaptisannya.
Orang di seluruh Yudea dan Yerusalem datang pada saat itu (Mrk 1:5) dan Yesus
mendemonstrasikan kerendahan hati itu kepada mereka.
Kedua, ada alasan
lain mengapa Yesus memberi diri dibaptis oleh Yohanes Pembaptis. Bila meminjam
narasi dari Injil Matius, kita akan menemukan beragam emosi ketika Yohanes berhadapan
dengan Yesus yang memintanya untuk membaptiskan-Nya. Matius 3:14-15; Tetapi
Yohanes mencegah Dia, katanya: "Akulah yang perlu dibaptis oleh-Mu, dan
Engkau yang datang kepadaku?" Lalu Yesus menjawab, kata-Nya kepadanya:
"Biarlah hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan
seluruh kehendak Allah." Dan Yohanes pun menuruti-Nya. Ada rasa
sungkan, takut, tidak layak, bahagia, dan segala rasa yang bercampur dalam satu
adegan itu. Tentu hal itu dikarenakan Yohanes pembaptis tau siapa yang sedang berada
di hadapannya. Namun yang perlu kita perhatikan adalah respon Yesus, "Biarlah
hal itu terjadi, karena demikianlah sepatutnya kita menggenapkan seluruh
kehendak Allah.". Yesus meyakinkan Yohanes Pembaptis bahwa pembaptisan
itu harus dilakukan dalam rangka penggenapan seluruh kehendak Allah. Kata ‘Kehendak
Allah’ ini bisa kita pahami sekilas sebagai ketaatan dari satu pihak kepada pemilik
otoritas yang lebih tinggi—dalam hal ini Anak kepada Bapa. Namun, kita tidak
bisa melihatnya demikian. Kisah pembaptisan ini ditutup dengan peristiwa
teofani yang membagongkan, yang memerlihatkan panggung teatrikal ilahi,
dimana Allah Trinitas hadir bersama-sama dalam ruang dan waktu yang sama serta
bisa ditangkap oleh indrawi manusia. Sehingga ‘Kehendak Allah’ ini bukanlah
sebuah perintah atasan kepada bawahan, namun sebuah ungkapan cinta dari Bapa, Anak,
dan Roh Kudus yang selalu rindu untuk bersama dan tak terpisahkan oleh ruang
dan waktu. Kehadiran Roh Kudus dalam wujud burung merpati yang hinggap ke atas
Yesus dan suara Allah yang datang dari langit ini bukan menunjukkan awal
kebersamaan atas ketiga-Nya. Bacaan Pertama Minggu ini dalam Kejadian 1:1-5 pada
narasi penciptaan sudah menceritakan bagaimana Bapa, Anak, dan Roh Kudus sudah
ada dan tidak pernah terpisahkan. Hal ini dipertegas dalam kisah pembaptisan Yesus
yang begitu indah nan romantis. Kehendak Allah yakni kerinduan itu juga
diiyakan oleh Yesus yang meyakinkan Yohanes Pembaptis, bahwa peristiwa itu
harus terjadi. Kita tidak boleh lupa, bahwa pembaptisan Yesus adalah langkah start
bagi Yesus untuk memulai karya penyelamatan-Nya. Sejak memulai karya-Nya di
dunia, hingga detik-detik kematian-Nya, Ia selalu rindu untuk ada Bersama dengan
Sang Bapa dan Roh Kudus. Erangan Yesus yang dicatat dalam Alkitab; Eli Eli
Lama Sabakhtani menjadi isyarat bahwa Kehendak Allah Trinitas adalah selalu
ada dan bersama dalam segala ruang dan waktu.
Yesus
memberikan teladan bahwa dalam segala karya, Ia menyadari bahwa Ia ada dalam persekutuan
cinta Bersama Sang Bapa dan Roh Kudus. Ia berani menjalani karya pelayanan di
dunia bukan sebagai cara melaksanakan perintah, namun karena kehendak bersama dalam
Ketiganya untuk mewujudkan cinta dalam misi penebusan dosa. Misi yang berujung
pada derita bahkan kematian itu dimulai dengan sadar karena ada cinta dalam
diri-Nya dari Sang Bapa yang mengasihi dan berkenan kepada-Nya. Bila demikian,
kita pun sudah semestinya berani menjalani kehidupan yang sulit dan penuh
misteri dengan keyakinan iman bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian.
Minggu ini adalah kebaktian Minggu pertama di tahun 2024. Kita selalu ada dalam
sebuah kepastian bahwa kita tidak tau pasti apa yang akan terjadi di sepanjang
tahun ini, namun biarlah keyakinan bahwa kita dihisab dalam persekutuan Allah Trinitas,
dan tidak ada satupun kuasa di dunia yang sanggup memisahkan kita dari kasih-Nya
(Roma 8:38-39).
Tema ibadah
kita adalah ‘Dikasihi dan Berkenan kepada Allah’. Kita bisa saja berpikir bahwa
agar kita dikasihi Tuhan dan berkenan di hadapan-Nya, kita harus hidup dengan berbelarasa
dan berempati pada yang lain serta melakukan segala kebaikan dalam hidup. Bila
demikian standar yang dipasang, adakah di antara kita yang berani mengangkat
tangan dan mengaku bahwa kita sudah hidup baik, berbelarasa, berempati pada sesama,
sehingga kita layak dikasihi dan berkenan kepada Allah? Jujurly, saya
sendiri akan berpikir belasan kali untuk meyakini hal itu. Namun, bukankah kita
mengenal Allah yang senantiasa berbelarasa kepada umat-Nya? Ia mengasihi kita
dengan segala kondisi kita. Yesus mau dibaptis adalah tanda bahwa Ia memahami
dan mengerti segala kondisi kita. Ketika Ia mau memebri diri dibaptis, itu
adalah tanda bahwa memang kita dalam segala keberdosaan kita tetaplah dicintai
dan berkenan di hadapan-Nya! Lantas, bagaimana? Saya punya sebuah cerita.
Ada seorang
anak yang lapar sepulang sekolah. Ia sangat ingin makan. Untuk itu, dia menyapu
dan mengepel seisi rumah dengan sungguh-sungguh. Ia melakukannya agar ibunya
segera iba dan mememberikan ia makan siang. Apakah akhirnya ibunya memberikan
ia makan? Pasti! Namun, apa yang akan terjadi bila ia tak menyapu dan mengepel?
Apakah ia akan tetap mendapat makanan? Pasti! Meski ia tidak menyapu dan mengepel,
ibunya akan selalu memberinya makan seperti biasa karena ibunya sangat
mencintai anaknya. Lantas, dengan makanan, kasih sayang, perawatan kala sakit, dan
jutaan cinta yang diterima oleh si anak, bukankah sudah seyogyanya anak itu
hidup berbakti kepada ibunya? Dengan syukur dan rasa terima kasih, ia akan membantu
ibunya melakukan pekerjaan rumah. Bukan atas dasar rayuan, tapi karena ia
merasa dicintai selalu dan selalu oleh ibunya.
Yesus memulai
karya-Nya yang berujung pada kematian karena Ia dicinta oleh Sang Bapa dan Roh
Kudus. Sang Bapa mencintai dan berkenan kepada-Nya, dan karena itulah Ia
mengambil jalan penderitaan bahkan kematian. Sang Bapa, juga berkenan dan
mengasihi kita senantiasa apapun kondisi dan keberadaan kita. Jadi, bagaimana?
FTP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar