Kamis Putih
Keluaran 12:1-14 | Mazmur 116:1-2, 12-19 | 1 Korintus
11:23-26 | Yohanes 13:1-17; 31-35
Dalam pembukaan Persidangan Majelis Sinode Wilayah atau
Persidangan Majelis Sinode GKI biasanya dilakukan ritus pengenangan/ in
memoriam. Ritus ini dijalani sebagai cara untuk mengenang pendeta, penatua
ataupun aktivis dalam ruang lingkup sinodal yang meninggal dalam suatu periode
persidangan. Ritus ini tidak bertujuan untuk mendoakan mereka yang telah
meninggal, akan tetapi menjadi media untuk mengenang karya Allah dalam
kehidupan saudari-saudara yang telah meninggal. Mengenang kembali karya Allah
tentu menjadi sebuah kekuatan tersendiri bahkan menghadirkan kembali
pengharapan yang baru untuk menapaki ziarah karya selanjutnya sebagai Sinode
Wilayah ataupun Sinode. Belakangan ritus pengenangan juga diadopsi dan diadaptasi
dalam lingkup jemaat untuk mengenang setiap anggota jemaat yang telah meninggal
dalam satu periode waktu tertentu. Hal ini menunjukkan betapa kenangan punya
dampak baik bagi kehidupan manusia.
Pada hari kamis putih kita juga melakukan tindakan
pengenangan. Kita mengenang kembali ukiran cinta kasih Kristus. Ya,
cinta kasih Kristus terukir dalam tindakan nyata dan bermakna. Mari kita
jelajahi satu demi satu.
Pertama, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam
kerendahan hati-Nya.
Perlu kita ingat bahwa tindakan pembasuhan kaki sejatinya adalah sebuah tindakan keramahan yang lazim dipraktekkan di Palestina kuno. Tuan rumah akan membukakan pintu, menyambut tamunya masuk, dan akan meminta seorang hamba (/budak) membasuh kaki para tamu setelah menempuh perjalanan berdebu dengan alas kaki yang terbuka (terutama dibanding sepatu yang kita gunakan bepergian hari-hari ini). Akan tetapi saat itu Yesus, yang adalah guru – berstatus lebih dari para murid, memeragakan tindakan yang agak lain. Sebab Ia-lah yang justru membasuh kaki para murid-Nya. Saat membasuh kaki itu Yesus harus memosisikan diri lebih rendah yakni, berlutut untuk sejajar dengan kaki murid-murid. Semua dilakukan-Nya karena Ia mau menjalani karya sebagai Guru sepenuhnya. Sebab Guru adalah sosok yang akan didengar ajarannya dan dicontoh tindakannya. Yesus sedang mengajar tentang kerendahan hati sekaligus menghidupi karakter rendah hati itu sendiri.
Perlu kita ingat bahwa tindakan pembasuhan kaki sejatinya adalah sebuah tindakan keramahan yang lazim dipraktekkan di Palestina kuno. Tuan rumah akan membukakan pintu, menyambut tamunya masuk, dan akan meminta seorang hamba (/budak) membasuh kaki para tamu setelah menempuh perjalanan berdebu dengan alas kaki yang terbuka (terutama dibanding sepatu yang kita gunakan bepergian hari-hari ini). Akan tetapi saat itu Yesus, yang adalah guru – berstatus lebih dari para murid, memeragakan tindakan yang agak lain. Sebab Ia-lah yang justru membasuh kaki para murid-Nya. Saat membasuh kaki itu Yesus harus memosisikan diri lebih rendah yakni, berlutut untuk sejajar dengan kaki murid-murid. Semua dilakukan-Nya karena Ia mau menjalani karya sebagai Guru sepenuhnya. Sebab Guru adalah sosok yang akan didengar ajarannya dan dicontoh tindakannya. Yesus sedang mengajar tentang kerendahan hati sekaligus menghidupi karakter rendah hati itu sendiri.
Bila pada Kamis Putih ini kita menyaksikan ritus pembasuhan
kaki selayaknyalah kita mengingat Kristus yang rendah hati dan meneladani
kerendahan hati-Nya. Sayang sekali bila kita sebagai umat-Nya, hanya mengingat peristiwa
pembasuhan kaki sebagai ritus yang harus dilakukan lantas pulang sebagai
pribadi yang punya sikap superior, merasa diri lebih penting, arogan dan
bersikap semena-mena terhadap sesama.
Kedua, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dalam tindakan-Nya
menciptakan relasi persahabatan.
Selain kerendahan hati, sejatinya pembasuhan kaki yang
dilakukan Yesus juga merupakan sikap Yesus menciptakan relasi baru yakni relasi
persahabatan. Hal ini bermula dari tindakan Yesus dalam 13:4 “Lalu bangunlah
Yesus dan menanggalkan jubah-Nya…” Bahasa asli untuk kata “menanggalkan”
di ayat ini sama dengan bahasa asli untuk kata “memberikan” dalam Yohanes 10:11
“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi
domba-dombanya.” Serta sama juga dengan bahasa asli untuk kata “memberikan”
dalam Yohanes 15:13 “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang
memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya.” Hal ini dipandang oleh Pdt. Joas
Adiprasetya sebagai kehendak Allah memberikan hidup-Nya untuk memulai sebuah relasi
persahabatan dengan umat-Nya. Penciptaan relasi persahabatan ini kemudian berlanjut
dengan penegasan yang tergambar dari jawaban Yesus terhadap Simon Petrus yang
menolak pembasuhan kaki. Yohanes 13:8 mengatakan Jawab Yesus, “Jikalau Aku
tidak membasuh engkau, engkau tidak mendapat bagian bersama Aku.” Jadi kenangan
kita terhadap tindakan pembasuhan mengingatkan kita bahwa Allah menciptakan
sebuah relasi baru dan kita dihisap dalam ikatan relasi persahabatan yang diinisiasi
oleh-Nya.
Penciptaan relasi cinta kasih Kristus ini ditempuh-Nya
dengan segala risiko. Bayangkan saja, seorang yang membasuh kaki sejatinya juga
menempatkan diri dalam keadaan rentan (vulnerable) dilukai. Saat berposisi
sejajar kaki para murid Yesus punya risiko ditolak dengan tangkisan tangan atau
bahkan hentakan kaki yang mungkin melukai fisik-Nya. Selain itu, Yesus membasuh
kaki dengan risiko akan dilukai oleh Petrus yang akan menyangkal Dia dan dilukai
Yudas yang sudah menjual-Nya. Tapi itulah cinta Kristus, cinta-Nya itu tetap
ada meski Dia harus terluka, dan cinta-Nya itu murni meski Dia harus mati.
Teladan Kristus adalah sebuah tantangan bagi kita. Sebab
hari ini banyak orang yang siap mencintai sahabat-sahabatnya tapi hanya jika
risikonya minim. Banyak pula orang yang menyatakan siap mencintai sahabat-sahabatnya
hanya jika ada banyak keuntungan yang diterima dirinya.
Ketiga, ukiran cinta Kristus dapat kita kenang dengan
meneladan Dia.
Dalam Yohanes 13:12-14 Yesus berkata “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku, Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu.” Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa Yesus tak menantikan balasan. Namun Yesus menghendaki kita mengenang ukiran cinta-Nya dengan tindakan nyata yang sama dengan Dia. Yakni, tindakan memelihara relasi persahabatan dengan sesama melalui tindakan saling membasuh meski itu berisiko.
Dalam Yohanes 13:12-14 Yesus berkata “Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu? Kamu menyebut Aku, Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi, jikalau Aku, Tuhan dan Gurumu, membasuh kakimu, kamu pun wajib saling membasuh kakimu.” Dari ayat-ayat ini kita melihat bahwa Yesus tak menantikan balasan. Namun Yesus menghendaki kita mengenang ukiran cinta-Nya dengan tindakan nyata yang sama dengan Dia. Yakni, tindakan memelihara relasi persahabatan dengan sesama melalui tindakan saling membasuh meski itu berisiko.
Jadi mengenang itu bukan hanya mengingat-ingat karya cinta
Kristus di masa lampau. Mengenang cinta Kristus itu juga dengan melakukan dan melanjutkan
segala tindakan cinta Kristus di masa kini. Sebab dengan melakukannya lagi dan
lagi, ulang dan ulang, kita pun akan makin melekat dengan Dia. Dan dengan lekat
pada-Nya maka hidup ini dapat kita jalani dengan gaya hidup yang makin serupa
dengan gaya hidup Kristus yang sempurna. Saat gaya hidup kita makin serupa
dengan Kristus, maka semakin kita punya peluang untuk menolong orang lain
mengenang ukiran cinta Kristus yang sempurna.
Maka bagi setiap kita yang hari ini mengenang cinta Kristus,
siapkanlah diri untuk mengasihi, mengampuni dan melayani dengan segala risikonya.
Karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi, mengampuni dan melayani kita dengan segala risikonya.
Karena Tuhan sudah lebih dulu mengasihi, mengampuni dan melayani kita dengan segala risikonya.
ypp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar