Kamis, 18 April 2019

Salib: Jalan yang Paradoksal


| JUMAT AGUNG |

| Yesaya 52:13-53:12 | Mazmur 22 | Ibrani 10:16-25 | Yohanes 19:16b-37 |


Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.
Yang hancur lebur akan terobati.
Yang sia-sia akan jadi makna.
Yang terus berulang suatu saat henti.
Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi.
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.

Itu adalah penggalan lagu grup musik Banda Neira. Lagu di atas memperlihatkan gambaran sebuah proses kehidupan di mana jatuh dan bangkit datang silih berganti bahkan berkelindan menjadi satu. Ada kalanya hidup membawa pada kekecewaan, kemarahan, ketakutan dan kejatuhan. Tetapi ada masa di mana kita bangkit dan berdiri.
Inilah makna salib. Bagi banyak orang, salib mungkin bermakna kemenangan, kemuliaan, kabanggaan. Tetapi salib pun merupakan simbol kerendahan, penderitaan, dan kematian. JΓΌrgen Moltmann, teolog Protestan asal Jerman, melihat bahwa karya Allah dalam sejarah ini terpusat pada salib dan kebangkitan Kristus. Salib yang adalah simbol kehinaan, kehancuran dan kematian diterima oleh Allah dalam Kristus yang bangkit untuk memberi pengharapan. Namun, salib dan kebangkitan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena Kristus yang bangkit adalah juga Kristus yang tersalib. Salib harus dilihat dari perspektif kebangkitan, yakni salib Kristus adalah akhir dari penghakiman Allah dan karenanya ciptaan baru dan harapan baru dimulai di dalam Kristus. Namun, kebangkitan juga perlu dilihat dari perspektif salib, yakni kebangkitan tidak serta merta menggantikan salib, justru kebangkitan menjadi signifikan dan relevan karena salib. Salib dan kebangkitan adalah dua sisi keterlibatan Allah dalam hidup manusia, yang artinya Allah hadir bersama umat-Nya dalam segala waktu dan tempat. Ia Allah yang turut menderita bersama kita, tetapi juga yang mengangkat kita. Di sini, salib dan kebangkitan merupakan satu kesatuan yang memiliki dua dimensi, yakni maut dan pengharapan. Pengharapan hanya akan ada jika ada pengalaman maut, namun pengalaman akan maut diangkat dalam kebangkitan yang membawa pengharapan.
Salib menjadi simbol kematian, tetapi juga pengharapan. Satu kata yang dingkapkan Yesus dalam kisah sengsara menurut Injil Yohanes menunjukkan dua dimensi paradoks dari salib. Kata ini adalah tetelestai, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “sudah selesai.” Kata tetelestai dapat kita maknai bahwa itu adalah akhir dari semuanya, Yesus merangkul kematiaanNya sampai akhir di salib. Namun, di samping itu, tetelestai juga bermakna berakhirnya suatu tugas, yakni tugas melaksanakan karya keselamatan Allah bagi dunia. Ia merangkul kematian dengan kesadaran dan kerelaan untuk membawa pengharapan akan pengampunan dan kehidupan bagi seluruh ciptaan. Injil Yohanes juga mencatat ketika lambung Yesus ditikam, keluarlah darah dan air. Ini juga merupakan simbol yang merangkul kedua dimensi salib. Darah merupakan simbol penderitaan dan kematian, sementara air adalah simbol kehidupan. Jalan salib adalah jalan yang paradoksal, kematian dan kehidupan.
Salib yang menjadi akhir kehidupan Yesus membuka jalan bagi pendamaian Allah dan ciptaan. Surat Ibrani menyebutkan bahwa salib menjadi jalan baru yang memulihkan hubungan Allah dengan ciptaan-Nya. Penulis Ibrani memakai gambaran Bait suci yang tersekat-sekat. Melalui kematian Yesus, sekat-sekat itu ditiadakan. Dalam kesaksian Injil Matius, Markus, dan Lukas, ketika Yesus mati, tirai Bait Suci yang memisahkan tempat kudus dan tempat mahakudus terkoyak. Dengan terkoyaknya tirai Bait Suci, maka tidak ada lagi pemisah antara Allah dan manusia. Allah di dalam Kristus merangkul kematian untuk berdamai dengan ciptaan-Nya. Salib menunjukkan terkoyaknya tubuh Kristus yang membawa pengharapan dan rekonsiliasi.
Namun demikian, salib tidak dapat dimaknai bahwa Yesus mati supaya kita hidup. Kematian Yesus adalah kematian semesta. Salib adalah karya Allah yang merangkul penderitaan dan kematian bersama-sama dengan manusia yang menderita dan mati karena dosa. Seperti yang Moltmann katakan, Allah adalah Allah yang turut menderita bersama ciptaan, tetapi juga yang mengangkat ciptaan. James Cone, teolog pembebasan kulit hitam yang mengembangkan teologi hitam, merefleksikan salib Kristus ke dalam pengalaman penindasan yang dialami oleh orang-orang kulit hitam di Amerika pada era 1880-1940an. Orang-orang kulit hitam pada masa itu mengalami ketakutan dan teror akan kematian pada pohon gantungan (lynching tree). Banyak orang kulit hitam, yang merupakan budak orang kulit putih, dihukum mati dengan cara digantung di pohon tanpa diadakan pengadilan terlebih dulu.  Dari pengalaman ini, Cone menghubungkan orang-orang kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil dengan salib Kristus. Cone memandang salib Kristus seperti pohon gantungan yang digunakan untuk menggantung orang kulit hitam. Layaknya orang kulit hitam yang digantung di pohon, Yesus pun digantung di salib. Ia dihina dan dianggap kotor, ia dipertontonkan di tengah publik dan direndahkan. Yesus dan orang kulit hitam sama-sama menderita. Salib menjadi simbol bahwa Yesus yang menderita di salib juga merasakan penderitaan orang kulit hitam Amerika yang menderita di pohon gantungan. Namun, iman pada Allah dalam Kristus yang tersalib juga memberikan kekuatan dan keberanian untuk menanggung penderitaan serta kemampuan untuk mencari makna dan pengharapan dalam situasi yang berat. Kematian dan penderitaan bukanlah akhir, tetapi makna kematian bermanifestasi dalam kebangkitan Kristus. Salib tidak hanya menawarkan penderitaan, tetapi juga pengharapan, sebuah tempat untuk rekonsiliasi, tempat untuk melihat ke belakang bersama dan meratap bersama.
Melalui refleksi akan kisah sengsara Yesus, kita melihat bahwa salib adalah jalan yang paradoksal. Salib bukan hanya bermakna kematian dan penderitaan, tetapi juga bermakna pengharapan. Malalui salib dan penderitaan Kristus, umat yang tertekan dan putus asa karena penderitaan menerima pengharapan bahwa mereka tidak sendiri dalam menjalani penderitaan itu. Yesus yang tersalib juga merasakan apa yang mereka rasakan. Yesus juga menanggung penderitaan yang sama, bahkan lebih besar. Salib dan kematian bukan akhir, justru salib adalah jalan yang harus dilalui untuk menuju kebangkitan. Salib akan menjadi kesia-siaan tanpa kebangkitan, namun kebangkitan juga menjadi tidak relevan tanpa salib. Dalam kehidupan manusia ada fase di mana kita mengalami kejatuhan, kekecewaan, kehancuran, trauma dan keputusasaan. Namun, pandanglah pada salib Kristus, maka kita mendapat pengharapan bahwa penderitaan dan salib tidak pernah hadir tanpa kebangkitan. Kejatuhan dan keterpurukan tidak pernah ada tanpa pengharapan akan masa depan.
Kembali ke lagu tadi, “Yang patah tumbuh, yang hilang berganti.” Pengalaman patah dan jatuh bukanlah akhir. Selalu ada yang tumbuh dari yang patah, ada yang berganti dari yang hilang, ada pemulihan dari kehancuran, dan ada makna dari kesia-siaan.  Salib dan kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa yang patah akan tumbuh, dan yang hilang akan berganti. Pengalaman trauma dan ketakutan yang dialami dalam teror kematian di salib tidak lantas mematikan pengharapan. Justru dari situ timbul pengharapan, dan pengharapan menjadi kekuatan dan dasar yang kuat bagi karya Kristen di dalam dunia. Pengharapan menjadi pendorong bagi rekonsiliasi dari trauma kekerasan dan penindasan. Pengharapan menjadi kekuatan bagi murid Kristus melanjutkan kehidupan dan menjadi saksi atas karya kehidupan, kematian dan kebangkitan Kristus bagi dunia. Itulah paradoks salib, kematian dan kehidupan, ketakutan dan pengharapan.
(ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar