| JUMAT AGUNG |
| Yesaya 52:13-53:12 | Mazmur 22 | Ibrani 10:16-25 | Yohanes 19:16b-37 |
Yang patah
tumbuh, yang hilang berganti.
Yang hancur
lebur akan terobati.
Yang
sia-sia akan jadi makna.
Yang terus
berulang suatu saat henti.
Yang pernah
jatuh ‘kan berdiri lagi.
Yang patah
tumbuh, yang hilang berganti.
Itu adalah penggalan lagu grup musik Banda Neira. Lagu di atas
memperlihatkan gambaran sebuah proses kehidupan di mana
jatuh dan bangkit datang silih berganti bahkan berkelindan menjadi satu. Ada
kalanya hidup membawa pada kekecewaan, kemarahan, ketakutan dan kejatuhan.
Tetapi ada masa di mana kita bangkit dan berdiri.
Inilah makna salib. Bagi
banyak orang, salib mungkin bermakna kemenangan, kemuliaan, kabanggaan. Tetapi
salib pun merupakan simbol kerendahan, penderitaan, dan kematian. Jürgen Moltmann, teolog Protestan asal Jerman, melihat bahwa
karya Allah dalam sejarah ini terpusat pada salib dan
kebangkitan Kristus. Salib yang adalah simbol kehinaan, kehancuran dan kematian
diterima oleh Allah dalam Kristus yang bangkit untuk memberi pengharapan.
Namun, salib dan kebangkitan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karena
Kristus yang bangkit adalah juga Kristus yang tersalib. Salib harus dilihat
dari perspektif kebangkitan, yakni salib Kristus adalah akhir dari penghakiman
Allah dan karenanya ciptaan baru dan harapan baru dimulai di dalam Kristus.
Namun, kebangkitan juga perlu dilihat dari perspektif salib, yakni kebangkitan
tidak serta merta menggantikan salib, justru kebangkitan menjadi signifikan dan
relevan karena salib. Salib dan kebangkitan adalah dua sisi keterlibatan Allah
dalam hidup manusia, yang artinya Allah hadir bersama umat-Nya dalam segala waktu
dan tempat. Ia Allah yang turut menderita bersama kita, tetapi juga yang
mengangkat kita. Di sini, salib dan kebangkitan merupakan satu kesatuan
yang memiliki dua dimensi, yakni maut dan pengharapan. Pengharapan hanya akan
ada jika ada pengalaman maut, namun pengalaman akan maut diangkat dalam kebangkitan yang membawa pengharapan.
Salib menjadi simbol
kematian, tetapi juga pengharapan. Satu kata yang dingkapkan Yesus dalam kisah
sengsara menurut Injil Yohanes menunjukkan dua dimensi paradoks dari salib.
Kata ini adalah tetelestai, yang
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia “sudah selesai.” Kata tetelestai dapat kita maknai bahwa itu adalah akhir dari semuanya,
Yesus merangkul kematiaanNya sampai akhir di salib. Namun, di samping itu, tetelestai juga bermakna berakhirnya
suatu tugas, yakni tugas melaksanakan karya keselamatan Allah bagi dunia. Ia
merangkul kematian dengan kesadaran dan kerelaan untuk membawa pengharapan akan
pengampunan dan kehidupan bagi seluruh ciptaan. Injil Yohanes juga mencatat
ketika lambung Yesus ditikam, keluarlah darah dan air. Ini juga merupakan
simbol yang merangkul kedua dimensi salib. Darah merupakan simbol penderitaan
dan kematian, sementara air adalah simbol kehidupan. Jalan salib adalah jalan
yang paradoksal, kematian dan kehidupan.
Salib yang menjadi akhir
kehidupan Yesus membuka jalan bagi pendamaian Allah dan ciptaan. Surat Ibrani
menyebutkan bahwa salib menjadi jalan baru yang memulihkan hubungan Allah
dengan ciptaan-Nya. Penulis Ibrani memakai gambaran Bait suci yang
tersekat-sekat. Melalui kematian Yesus, sekat-sekat itu ditiadakan. Dalam
kesaksian Injil Matius, Markus, dan Lukas, ketika Yesus mati, tirai Bait Suci
yang memisahkan tempat kudus dan tempat mahakudus terkoyak. Dengan terkoyaknya
tirai Bait Suci, maka tidak ada lagi pemisah antara Allah dan manusia. Allah di
dalam Kristus merangkul kematian untuk berdamai dengan ciptaan-Nya. Salib
menunjukkan terkoyaknya tubuh Kristus yang membawa pengharapan dan
rekonsiliasi.
Namun demikian, salib
tidak dapat dimaknai bahwa Yesus mati supaya kita hidup. Kematian Yesus adalah
kematian semesta. Salib adalah karya Allah yang merangkul penderitaan dan
kematian bersama-sama dengan manusia yang menderita dan mati karena dosa. Seperti
yang Moltmann katakan, Allah adalah Allah yang turut
menderita bersama ciptaan, tetapi juga yang mengangkat ciptaan. James Cone, teolog
pembebasan kulit hitam yang mengembangkan teologi hitam, merefleksikan salib
Kristus ke dalam pengalaman penindasan yang dialami oleh orang-orang kulit
hitam di Amerika pada era 1880-1940an. Orang-orang kulit hitam pada masa itu mengalami ketakutan dan teror akan kematian pada pohon gantungan (lynching
tree). Banyak orang kulit hitam, yang merupakan budak orang kulit putih,
dihukum mati dengan cara digantung di pohon tanpa diadakan pengadilan terlebih
dulu. Dari pengalaman ini, Cone
menghubungkan orang-orang kulit hitam yang mendapat perlakuan tidak adil dengan
salib Kristus. Cone memandang salib Kristus seperti pohon gantungan yang
digunakan untuk menggantung orang kulit hitam. Layaknya orang kulit hitam yang
digantung di pohon, Yesus pun digantung di salib. Ia dihina dan dianggap kotor,
ia dipertontonkan di tengah publik dan direndahkan. Yesus dan orang kulit hitam
sama-sama menderita. Salib menjadi simbol bahwa Yesus yang menderita di salib
juga merasakan penderitaan orang kulit hitam Amerika yang menderita di pohon
gantungan. Namun, iman pada Allah dalam Kristus yang tersalib juga memberikan kekuatan
dan keberanian untuk menanggung penderitaan serta kemampuan untuk mencari makna
dan pengharapan dalam situasi yang berat. Kematian dan penderitaan bukanlah
akhir, tetapi makna kematian bermanifestasi dalam kebangkitan Kristus. Salib tidak
hanya menawarkan penderitaan, tetapi juga pengharapan, sebuah tempat untuk rekonsiliasi,
tempat untuk melihat ke belakang bersama dan meratap bersama.
Melalui refleksi akan
kisah sengsara Yesus, kita melihat bahwa salib adalah jalan yang paradoksal. Salib bukan hanya bermakna kematian dan penderitaan, tetapi juga
bermakna pengharapan. Malalui salib dan penderitaan Kristus, umat yang tertekan
dan putus asa karena penderitaan menerima pengharapan bahwa mereka tidak
sendiri dalam menjalani penderitaan itu. Yesus yang tersalib juga merasakan apa
yang mereka rasakan. Yesus juga menanggung penderitaan yang sama, bahkan lebih
besar. Salib dan kematian bukan akhir, justru salib adalah jalan yang harus
dilalui untuk menuju kebangkitan. Salib akan menjadi kesia-siaan tanpa
kebangkitan, namun kebangkitan juga menjadi tidak relevan tanpa salib. Dalam kehidupan
manusia ada fase di mana kita mengalami kejatuhan, kekecewaan, kehancuran,
trauma dan keputusasaan. Namun, pandanglah pada salib Kristus, maka kita
mendapat pengharapan bahwa penderitaan dan salib tidak pernah hadir tanpa
kebangkitan. Kejatuhan dan keterpurukan tidak pernah ada tanpa pengharapan
akan masa depan.
Kembali ke lagu tadi, “Yang patah tumbuh, yang hilang
berganti.” Pengalaman patah
dan jatuh bukanlah akhir. Selalu ada yang tumbuh dari yang
patah, ada yang berganti dari yang hilang, ada pemulihan dari kehancuran, dan
ada makna dari kesia-siaan. Salib dan
kebangkitan Kristus menunjukkan bahwa yang patah akan tumbuh, dan yang hilang
akan berganti. Pengalaman trauma dan ketakutan yang dialami dalam teror
kematian di salib tidak lantas mematikan pengharapan. Justru dari situ timbul
pengharapan, dan pengharapan menjadi kekuatan dan dasar yang kuat bagi karya
Kristen di dalam dunia. Pengharapan menjadi pendorong bagi rekonsiliasi dari
trauma kekerasan dan penindasan. Pengharapan menjadi kekuatan bagi murid
Kristus melanjutkan kehidupan dan menjadi saksi atas karya kehidupan, kematian
dan kebangkitan Kristus bagi dunia. Itulah paradoks salib, kematian dan kehidupan, ketakutan dan pengharapan.
(ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar