Kamis, 11 April 2019

Menilik Hati, Meneguhkan Relasi

| MINGGU PRAPASKAH V |

| Yesaya 43:16-21 | Mazmur 126 | Filipi 3:4-14 | Yohanes 12:1-8 |

      Kurang dari dua minggu lagi, perhelatan akbar pesta demokrasi Indonesia akan digelar serempak di seluruh penjuru negeri. Aroma persainganpun makin kuat terasa. Lihat saja, pohon-pohon di tepian jalan sekarang berbuah poster caleg. Poster-poster itu bermain kata persuasif dan ‘adu rayu’ (single terbaru Yovie yang dinyanyikan Glen dan Tulus). Grafis-visual yang sangat menarik atau ada juga yang nampaknya tidak niat membuat poster. Namun kalau kita perhatikan konten poster tersebut, hampir setiap caleg menjanjikan pembelaannya kepada orang miskin (wong cilik). Janji demi janji diobral. Ada yang janji menghapuskan pajak kendaraan bermotor, bantuan tunai, semua fasilitas gratis, dll. Entah janji mereka masuk akal dan aplikatif atau hanya mengawang di angkasa, intinya mereka menampakkan keberpihakan mereka kepada orang miskin. Bukan hanya janji saja, penampilan para calon-calon inipun berubah. Selayaknya orang yang mendapatkan ‘pencerahan’ spiritual, mereka meninggalkan cara hidup mereka yang lama dan bertransformasi menjadi manusia baru. Para parlente yang tadinya hidup dengan bermewah-mewahan, tiba-tiba menjadi sosok yang sangat sederhana dan santun. Ugahari sekali! Tapi, ‘pencerahan’ itu seakan punya siklus, yang berlangsung tiap 5 tahun sekali. Yang tadinya tidak pernah makan di emperan jalan, sekarang bisa makan dimana saja asalkan mendapat simpati dari wong cilik. Ya, di sini orang miskin menjadi komoditas suara yang sangat menjanjikan. Yang berarti, keberpihakan mereka sangatlah tendensius. Pembelaan mereka adalah palsu!
      Hal yang sama ditunjukkan oleh Yudas dalam bacaan Injil kita. Dia memprotes keras tentang apa yang dilakukan oleh Maria. Bagaimana tidak, Maria menggunakan minyak narwastu murni yang mahal untuk meminyaki kaki Yesus (ay. 3), padaha minyak itu bisa digunakan untuk hal lain. Narwastu adalah sejenis tanaman wewangian yang digunakan untuk membuat minyak wangi (lih. Kid 4:13-14), dan cara disimpan di dalam guci tertutup, dan jika akan dibuka, leher gucinya harus dipatahkan (lih. Mrk 14:3). Dengan perlakuan istimewa terhadap minyak itu, tidak heran jikalau harganya menyentuh harga fantastis, yakni 300 dinar. Kita tahu bahwa 1 dinar adalah upah pekerja dalam satu hari. Berarti, minyak narwastu yang digunakan Maria untuk membasuh kaki Yesus berharga 300 kali upah pekerja harian. Pantas saja, sang bendahara protes terhadap tindakan Maria. “Mengapa minyak narwastu ini tidak dijual tiga ratus dinar dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?” Lihat! Betapa mulia hati Yudas Iskariot. Keberpihakannya kepada orang miskin begitu kuat terasa. Melalui perkataannya, seakan-akan ia sangat menyayangkan uang 300 dinar terbuang percuma, apalagi hanya untuk membasuh kaki. Tetapi, ada kekhasan Injil Yohanes disbanding Markus dan Matius. Hanya di dalam Injil Yohanes, motivasi Yudas Iskariot ditunjukkan dengan jelas. Hal itu dikatakannya bukan karena ia memperhatikan nasib orang-orang miskin, melainkan karena ia adalah seorang pencuri; ia sering mengambil uang yang dipegangnya (ay. 6). Ya, pembelaan Yudas ternyata adalah palsu, sama dengan pencitraan para orang-orang suci dadakan di masa pemilu!
      Brand orang miskin dijual demi mendapatkan simpati, dan setelah itu bisa melakukan manuver pribadi. Ini adalah kejahatan! Memang, Yesus adalah tokoh yang sangat berpihak pada orang kecil dan terpinggirkan, namun itu muncul karena Yesus mencintai setiap mereka. Kasih yang tanpa syarat ia berikan kepada orang-orang miskin. Cinta yang apa adanya, bukan ada apanya! Berbeda dengan Yudas. Yudas terjatuh karena uang. Bahkan, penulis Injil Yohanes memberinya predikat sebagai pencuri (ay. 6). Kita juga akhirnya akan tahu, bahwa demi uang juga, Yudas menjual Yesus. Apa yang dilakukan Yudas semata-mata karena ia terjebak oleh uang. Seseorang pernah berkata; bagi orang serakah, satu isi dunia diberikan dipangkuannya saja masih akan kurang. Hatinya dipenuhi keinginan untuk mendapatkan uang, uang, dan uang. Hal ini kontras dengan apa yang dilakukan Maria. Sebelum kisah pengurapan ini, Yesus membangkitkan Lazarus saudara Maria. Dalam kisah itu, Yesus bukan hanya membangkitkan Lazarus, namun juga ikut MENANGIS bersama mereka. Maria merasakan cinta Yesus kepada mereka. Atas sentuhan cinta itu, Maria melakukan tindakan pembasuhan itu. Ia tidak segan-segan mengucurkan minyak mahal itu untuk Yesus, sedangkan Yudas sangat matematis nan materialistis. Hati yang diluapi oleh cinta Tuhan, dibanding dengan hati yang hanya mengejar uang. Perlakuan orang yang hatinya sudah disentuh oleh cinta, tidak akan pernah itung-itungan. Budayawan Indonesia, Sujiwo Tejo pernah berkata; cinta itu tanpa pengorbanan, kalau kamu masih merasa berkorban, itu bukan cinta, tapi itung-itungan. Itulah yang dilakukan Maria. Sedikitpun ia tak merasa rugi!
      Paulus pun demikian dalam bacaan kedua, Filipi 3:4-14. Pada ayat 8 Paulus mengatakan “malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus,”. Kemantapan hati Paulus ini merupakan pendendapan rasa atas segala perjalanan spiritualnya. Dasar segala pelayanannya kini adalah cintanya kepada Yesus Kristus. Bahkan, ia menggunakan frasa  ‘ditangkap’ oleh Tuhan Yesus (ay. 12). TB-BIMK menerjemahkan ini dengan ‘merebut saya dan menjadikan saya milik-Nya’. Ketika seseorang merasa memiliki dan dimiliki, ia akan melakukan segalanya atas nama cinta, bukan untung-rugi.
       Tampaknya, gereja juga harus menilik hatinya sendiri. Melayani kepada kaum papa seringkali menjadi tagline aksi sosial, dan biasanya terjadi di aksi sosial Paskah. Keberpihakan ini apakah memang berasal dari hati kita yang dipenuhi cinta Tuhan, ataukah hanya sebuah tindakan pelaksanaan program. Alih-alih pelaksanaan program, gereja menjadi sangat superior ketika bisa membagikan mie instan kepada panti jompo atau tempat-tempat penampungan lainnya. Seakan-akan, ketika sudah bisa memberikan bantuan, gereja menjadi hebat dan luar biasa, dan menempatkan penerima sumbangan sebagai orang lemah dan patut dikasihani. Kalau memang akan melakukan aksi sosial, biarlah itu didasarkan pada jiwa (hati) yang melayani, dan ini bisa meneguhkan relasi kita kepada Tuhan. Meneguhkan relasi kepada Tuhan tentunya dengan cara berelasi baik dengan sesama, yang sekali lagi, didasari oleh hati yang diluapi oleh cinta Tuhan kepadanya. Dan untuk setiap kita, kita perlu menilik hati kita. Apakah kita sudah merasa disentuh oleh cinta Tuhan? Atau masihkan kita mengejar sesuatu yang justru bisa memenjarakan hati kita seperti Yudas? Tiliklah hatimu, teguhkan relasimu dengan relasi yang tulus dan penuh cinta.
(FTP)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar