| Yesaya 65:17-25 | Mazmur 118:1-2, 14-24 | Kisah Para Rasul 10:34-43 | Lukas 24:1-12 |
Menjelang Paska tahun lalu, dirilis sebuah film berjudul Mary Magdalene.
Film ini berkisah tentang Yesus Kristus, namun dari sudut pandang seorang Maria
Magdalena. Film ini menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang pemikir bebas
yang melawan budaya patriarki. Film Mary Magdalene berusaha memulihkan nama
baik Maria Magdalena yang telah mengalami pembunuhan karakter selama
berabad-abad. Pembunuhan karakter itu telah terjadi sejak tahun 591, ketika
Paus Gregorius I menyebutnya sebagai perempuan pendosa yang terlibat dalam
praktik prostitusi. Selama berabad-abad banyak orang Kristen meyakini hal itu,
sekalipun tidak ada penjelasannya dalam Perjanjian Baru. Tahun 2016 lalu, Paus
Fransiskus secara resmi menghapus anggapan yang menyebut Maria Magdalena
sebagai seorang pelacur. Bahkan kesaksian Injil justru memperlihatkan bahwa
Maria Magdalena adalah perempuan istimewa. Semua Injil mencatat bahwa Maria
Magdalena adalah saksi (atau salah satu saksi) pertama dari kebangkitan
Kristus.
Semua Injil memberi kesaksian bahwa yang menjadi saksi kebangkitan
Kristus pertama kali adalah para perempuan. Namun demikian, selain sosok Maria
Magdalena yang mengalami peyorasi, peran perempuan setelah kebangkitan seperti
terlupakan, bahkan hilang dari catatan-catatan Perjanjian Baru. PB
memperlihatkan peran yang begitu besar dari para murid laki-laki. David
Hayward, seorang pastor dan seniman menggambar sebuah kartun yang
memperlihatkan para murid laki-laki berkata pada para murid perempuan, “So ladies, thanks for being the first
witness and report the resurrection and we’ll take it from here.” Kartun
ini mau menunjukkan bahwa setelah kebangkitan Kristus, yang disaksikan pertama
kali oleh perempuan, justru peran perempuan semakin tenggelam dalam gereja.
Peran itu diambil alih oleh para murid laki-laki.
Injil Lukas bahkan mencatat bahwa ketika para perempuan memberitahukan
berita kebangkitan kepada para rasul yang laki-laki itu, perkataan mereka
dianggap omong kosong oleh para rasul (Luk. 24:11). Para murid laki-laki itu
tidak percaya kepada para perempuan itu. Pada masa itu memang perempuan
mengalami diskriminasi. Selain tidak diberi tempat dalam masyarkat, mereka juga
kerap dianggap pembohong dan berbicara omong kosong. Tidak heran jika peran
perempuan dalam gereja mula-mula pun tidak terlalu disorot. Ini memperlihatkan
bahwa dalam gereja mula-mula terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Pengaruh
budaya Yahudi ternyata cukup kuat dalam gereja. Ini terlihat ketika gerejalah yang melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh perempuan yang penting dalam Injil. Namun demikian, kisah
kebangkitan dan penampakan diri Yesus pertama kali memperlihatkan bahwa Allah
merangkul mereka yang terdiskriminasi dan direndahkan dalam masyarakat. Sebagaimana
Allah menyapa para gembala melalui kelahiran Kristus, Ia pun menyapa dan
merangkul para perempuan melalui kebangkitan Kristus.
Pengaruh budaya Yahudi yang cukup kuat adalah juga yang melatarbelakangi
kisah pengakuan Petrus dalam bacaan kedua (Kis. 10:34-43). Sebelumnya, Petrus
diberi penglihatan berulang akan
hewan-hewan haram yang disuruh untuk dia sembelih dan makan (Kis. 10:-16).
Awalnya ia ragu-ragu karena ia memegang teguh trasidi Yahudi tentang makanan
halal dan haram. Namun dia diberitahu bahwa apa yang telah dinyatakan halal
oleh Allah tidak boleh dinyatakan haram olehnya. Penglihatan itu ternyata juga
berkaitan dengan panggilan dia untuk melayani seorang non-Yahudi, yakni
Kornelius. Petrus pun kemudian tidak ragu untuk bertamu dan masuk ke rumah
Kornelius, seorang non-Yahudi yang dianggap najis oleh orang-orang Yahudi.
Keputusan Petrus untuk melayani Kornelius ternyata didasarkan pada
penglihatannya yang membuat ia paham bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang
berdasarkan bangsanya. Allah pun menyapa mereka yang bukan Yahudi, orang-orang disingkirkan
dan didiskriminasi oleh masyarakat Yahudi.
Pada momen Paska ini, kita diajak untuk menghadirkan kehidupan. Dunia
saat ini berproses ke arah kematian. Kematian itu bukanlah kematian fisik
melainkan kekerasan, diskriminasi, permusuhan, ketidakadilan, penindasan,
juga ekploitasi dan pencemaran lingkungan hidup. Bebarapa pekan belakangan
ini, kita melihat banyak sekali permusuhan dan kebencian akibat perbedaan
pilihan politik, baik cebong vs kampret maupun golput vs no-golput; Ada
diskriminasi terhadap mereka yang memilih untuk tidak memilih; Ada juga
arogansi karena mereka yang tidak memilih merasa lebih idealis. Kita pun
melihat kekerasan dalam kalangan pelajar yang berujung pidana, atau terorisme
akibat kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Kematian dan kehancuran
yang lain pun kita saksisan sehari-hari, sampah-sampah plastik mengotori dan
merusak lingkungan darat dan laut, bahkan membawa kematian pada hewan-hewan dan tumbuhan.
Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan semesta, karena Ia
menghadirkan kehidupan untuk semesta. KebangkitanNya memberikan kehidupan yang
melawan ketidakadilan, diskriminasi, kekrasan penindasan dan eksploitasi. Ia
merangkul mereka yang disingkirkan dari masyarakat, Ia mendamaikan dan
memulihkan relasi yang rusak, Ia memberikan keberanian dan pengharapan bagi
mereka yang ketakutan. Melalui momen kebangkitan Kristus, kita pun diajak untuk
menghadirkan kehidupan serta memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan
ciptaan. Kita dipanggil untuk membawa perdamaian di tengah permusuhan,
memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi, menolak kekerasan dan
terorisme, serta berjuang untuk kelestarian dan pemulihan lingkungan hidup.
(TWN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar