Kamis, 18 April 2019

Menghadirkan Kehidupan

| MINGGU PASKAH |

| Yesaya 65:17-25 | Mazmur 118:1-2, 14-24 | Kisah Para Rasul 10:34-43 | Lukas 24:1-12 |


Menjelang Paska tahun lalu, dirilis sebuah film berjudul Mary Magdalene. Film ini berkisah tentang Yesus Kristus, namun dari sudut pandang seorang Maria Magdalena. Film ini menggambarkan Maria Magdalena sebagai seorang pemikir bebas yang melawan budaya patriarki. Film Mary Magdalene berusaha memulihkan nama baik Maria Magdalena yang telah mengalami pembunuhan karakter selama berabad-abad. Pembunuhan karakter itu telah terjadi sejak tahun 591, ketika Paus Gregorius I menyebutnya sebagai perempuan pendosa yang terlibat dalam praktik prostitusi. Selama berabad-abad banyak orang Kristen meyakini hal itu, sekalipun tidak ada penjelasannya dalam Perjanjian Baru. Tahun 2016 lalu, Paus Fransiskus secara resmi menghapus anggapan yang menyebut Maria Magdalena sebagai seorang pelacur. Bahkan kesaksian Injil justru memperlihatkan bahwa Maria Magdalena adalah perempuan istimewa. Semua Injil mencatat bahwa Maria Magdalena adalah saksi (atau salah satu saksi) pertama dari kebangkitan Kristus.
Semua Injil memberi kesaksian bahwa yang menjadi saksi kebangkitan Kristus pertama kali adalah para perempuan. Namun demikian, selain sosok Maria Magdalena yang mengalami peyorasi, peran perempuan setelah kebangkitan seperti terlupakan, bahkan hilang dari catatan-catatan Perjanjian Baru. PB memperlihatkan peran yang begitu besar dari para murid laki-laki. David Hayward, seorang pastor dan seniman menggambar sebuah kartun yang memperlihatkan para murid laki-laki berkata pada para murid perempuan, “So ladies, thanks for being the first witness and report the resurrection and we’ll take it from here.” Kartun ini mau menunjukkan bahwa setelah kebangkitan Kristus, yang disaksikan pertama kali oleh perempuan, justru peran perempuan semakin tenggelam dalam gereja. Peran itu diambil alih oleh para murid laki-laki.


Injil Lukas bahkan mencatat bahwa ketika para perempuan memberitahukan berita kebangkitan kepada para rasul yang laki-laki itu, perkataan mereka dianggap omong kosong oleh para rasul (Luk. 24:11). Para murid laki-laki itu tidak percaya kepada para perempuan itu. Pada masa itu memang perempuan mengalami diskriminasi. Selain tidak diberi tempat dalam masyarkat, mereka juga kerap dianggap pembohong dan berbicara omong kosong. Tidak heran jika peran perempuan dalam gereja mula-mula pun tidak terlalu disorot. Ini memperlihatkan bahwa dalam gereja mula-mula terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Pengaruh budaya Yahudi ternyata cukup kuat dalam gereja. Ini terlihat ketika gerejalah yang melakukan pembunuhan karakter terhadap tokoh perempuan yang penting dalam Injil. Namun demikian, kisah kebangkitan dan penampakan diri Yesus pertama kali memperlihatkan bahwa Allah merangkul mereka yang terdiskriminasi dan direndahkan dalam masyarakat. Sebagaimana Allah menyapa para gembala melalui kelahiran Kristus, Ia pun menyapa dan merangkul para perempuan melalui kebangkitan Kristus.
Pengaruh budaya Yahudi yang cukup kuat adalah juga yang melatarbelakangi kisah pengakuan Petrus dalam bacaan kedua (Kis. 10:34-43). Sebelumnya, Petrus diberi penglihatan  berulang akan hewan-hewan haram yang disuruh untuk dia sembelih dan makan (Kis. 10:-16). Awalnya ia ragu-ragu karena ia memegang teguh trasidi Yahudi tentang makanan halal dan haram. Namun dia diberitahu bahwa apa yang telah dinyatakan halal oleh Allah tidak boleh dinyatakan haram olehnya. Penglihatan itu ternyata juga berkaitan dengan panggilan dia untuk melayani seorang non-Yahudi, yakni Kornelius. Petrus pun kemudian tidak ragu untuk bertamu dan masuk ke rumah Kornelius, seorang non-Yahudi yang dianggap najis oleh orang-orang Yahudi. Keputusan Petrus untuk melayani Kornelius ternyata didasarkan pada penglihatannya yang membuat ia paham bahwa Allah tidak membeda-bedakan orang berdasarkan bangsanya. Allah pun menyapa mereka yang bukan Yahudi, orang-orang disingkirkan dan didiskriminasi oleh masyarakat Yahudi.
Pada momen Paska ini, kita diajak untuk menghadirkan kehidupan. Dunia saat ini berproses ke arah kematian. Kematian itu bukanlah kematian fisik melainkan kekerasan, diskriminasi, permusuhan, ketidakadilan, penindasan, juga ekploitasi dan pencemaran lingkungan hidup. Bebarapa pekan belakangan ini, kita melihat banyak sekali permusuhan dan kebencian akibat perbedaan pilihan politik, baik cebong vs kampret maupun golput vs no-golput; Ada diskriminasi terhadap mereka yang memilih untuk tidak memilih; Ada juga arogansi karena mereka yang tidak memilih merasa lebih idealis. Kita pun melihat kekerasan dalam kalangan pelajar yang berujung pidana, atau terorisme akibat kebencian terhadap kelompok lain yang berbeda. Kematian dan kehancuran yang lain pun kita saksisan sehari-hari, sampah-sampah plastik mengotori dan merusak lingkungan darat dan laut, bahkan membawa kematian pada hewan-hewan dan tumbuhan.
Kebangkitan Kristus adalah juga kebangkitan semesta, karena Ia menghadirkan kehidupan untuk semesta. KebangkitanNya memberikan kehidupan yang melawan ketidakadilan, diskriminasi, kekrasan penindasan dan eksploitasi. Ia merangkul mereka yang disingkirkan dari masyarakat, Ia mendamaikan dan memulihkan relasi yang rusak, Ia memberikan keberanian dan pengharapan bagi mereka yang ketakutan. Melalui momen kebangkitan Kristus, kita pun diajak untuk menghadirkan kehidupan serta memperjuangkan keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan. Kita dipanggil untuk membawa perdamaian di tengah permusuhan, memperjuangkan keadilan dan melawan diskriminasi, menolak kekerasan dan terorisme, serta berjuang untuk kelestarian dan pemulihan lingkungan hidup.
(TWN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar