Minggu Biasa IX
Yeremia 23:23-29 | Mazmur 82 |
Ibrani 11:29-12:2 | Lukas 12:49-56
Tujuh
puluh empat tahun sudah negara kita, Indonesia, merdeka dari penjajahan bangsa
lain. Namun, ternyata Indonesia belum merdeka dan bebas seutuhnya. Masyarakat
kita masih terbelenggu oleh kecurigaan, kebencian, dan konflik. Beberapa tahun
belakangan ini, konflik dan kecurigaan dalam masyarakat semakin meruncing,
masyarakat membentuk kubu-kubu karena perbedaan pandangan politik. Selain itu,
kepentingan para elit politik yang dibumbui sentimen agama semakin memperkuat
konflik dan perpecahan. Agama alih-alih menjadi urusan privat untuk mengatur
kehidupan moral masyarakat, menjadi alat politik sementara pihak untuk mencapai
kekuasaan. Alih-alih membawa damai, agama justru menimbulkan perpecahan karena
kepentingan-kepentingan politik.
Banyak
orang yang mengaku beragama di Indonesia ini, bahkan Indonesia bisa dikatakan
sebagai salah satu negara paling beragama di dunia. Tetapi, bukan berarti
karena beragama lalu Indonesia terhindar dari kebencian, kecurigaan, dan
konflik. Masyarakat yang beragama ternyata sekadar memahami ajaran agama, tanpa
menghidupinya. Agama dan ajaran-ajaran keagamaan hanya menjadi informasi,
tetapi tidak mentransformasi kehidupan. Mungkin kita akan berkata, “Yang
seperti itu kan kebanyakan dari agama tetangga.” Ya, karena memang jumlah penganut
agamanya jauh lebih banyak. Tetapi bukan berarti bahwa orang-orang Kristen
tidak ada yang seperti itu. Ternyata banyak juga orang Kristen yang
kehidupannya tidak sesuai dengan status keberagamaannya. Ternyata banyak juga
orang Kristen yang terjerat kasus korupsi, suap, penipuan, dan lain-lain. Ada
juga orang-orang Kristen yang membenci orang lain yang berbeda agama. Bahkan
ada juga orang-orang Kristen yang menggunakan teks-teks Alkitab untuk
melegitimasi tindakan korup, kebencian dan kecurigaan, juga kepentingan politik
kekuasaan.
Penginjil
asal Amerika Serikat, Dwight L. Moody (1837-1899) pernah mengatakan, “The Bible was not
given for our information, but for our transformation.” Kitab suci
seharusnya tidak hanya dibaca atau dipelajari, tetapi dihidupi. Atau lebih dari
itu, Kitab Suci mentransformasi kehidupan kita. Pembacaan dan pemahaman akan
Kitab Suci seharusnya membawa orang kepada hidup yang lebih baik. Begitu juga
dengan segala ajaran agama yang ada, seharusnya mentransformasi kehidupan kita,
bukan malah menjadi alat legitimasi kekuasaan dan menanamkan kebencian. Tidak
ada gunanya Kitab Suci dan ajaran agama jika hanya diketahui tanpa berusaha
untuk dihidupi.
Ternyata
kecenderungan politisasi agama telah terjadi sejak zaman Nabi Yeremia. Yeremia
23 menggambarkan bagaimana nama Tuhan dipakai oleh nabi-nabi dan para imam
untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dikatakan bahwa janji-janji para nabi
palsu yang mengatasnamakan Tuhan ini seperti jerami, sementara firman Tuhan
sendiri ibarat api (ay. 29). Mereka mengetahui tentang firman Tuhan namun
kehidupan mereka jauh dari firman Tuhan. Ini juga yang menjadi kritik Yesus
kepada orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui dan memahami banyak hal, namun
mereka tidak dapat melakukan hal yang benar (Luk. 12:54-57). Karena itu,
sebelumnya Yesus pun menegaskan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk melemparkan
api dan membawa pertentangan (Luk. 12:49-51). Apa maksudnya ini? Bukankah yang
kita ketahui selama ini bahwa Yesus datang dengan kasih untuk membawa damai? Lalu
bagaimana mungkin Yesus membawa pertentangan?
Ada
beberapa tafsiran mengenai perkataan Yesus yang kontroversial ini, namun jika
melihat bagaimana Nabi Yeremia mengumpamakan Firman Tuhan sebagai api, maka
kita dapat membacanya dengan pemahaman bahwa Yesus Kristus adalah Sang Firman,
yang memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia hadir bagaikan api yang memurnikan,
memisahkan yang murni dari yang tidak murni. Api yang memberikan dampak berbeda
kepada materi yang berbeda, logam dimurnikan tetapi kayu dihanguskan. Berita
Injil yang dibawa oleh Kristus juga punya dampak yang berbeda bagi banyak
orang. Kedatangan Yesus dengan Injil Kerajaan Allah yang mentransformasi
kehidupan beragama dan berpolitik membuat banyak orang tertarik dan mengikut
Dia, namun di lain pihak ada juga orang-orang yang merasa terganggu dengan
kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang yang nyaman dengan kehidupan
beragama dan berpolitik status quo,
sehingga kehadiran Yesus dianggap sebagai ancaman. Demikinlah berita
Injil Kerajaan Allah yang dibawa Kristus itu membawa pertentangan dalam
masyarakat. Pertentangan ini juga kemudian terjadi dalam keluarga (Luk.
12:52-53). Ada anggota yang mempertahankan status quo, ada
juga yang tergugah dengan gerakan transformasi Yesus.
Sampai,
di sini kita memahami berita Injil yang dibawa Yesus Kristus sebenarnya membawa
pembebasan dan perdamaian, namun pihak-pihak yang hidup beragamanya sekadar
tahu dan pahamlah yang justru menimbulkan pertentangan kerena menolak
transformasi yang dibawa oleh Yesus Kristus. Ada orang yang hidupnya mengalami
transformasi, ada orang yang hanya berhenti pada sekadar tahu dan paham, bahkan
tak jarang menggunakan berita Injil itu untuk melegitimasi kepentingan mereka.
Jika melihat masyarakat kita sekarang ini, banyak orang yang memahami dan
mengaku diri beragama, namun tidak memiliki kontribusi untuk mentransformasi
bangsa ini. Bagaimana bangsa ini bisa ditransformasi, jika diri sendiri belum
mengalami transformasi. Orang-orang yang mengaku beragama masih hidup dalam
kecurigaan dan kebencian terhadap yang lain, kesombongan dan arogansi merasa
diri paling benar, korupsi dan tipu daya untuk meraih kekuasaan dan kekayaan
pribadi, keserakahan dan ketamakan yang menghancurkan alam semesta.
Pada momen peringatan kemerdekaan ini, kita perlu menyadari
bahwa kita bukanlah orang-orang beragama Kristen yang numpang lahir dan hidup
di Indonesia, tetapi kita adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Kita adalah
orang Indonesia yang beragama Kristen. Karena itu, gereja dan orang Kristen
Indonesia seharusnya memiliki peran untuk mentransformasi bangsa dengan memberi
kontribusi yang baik bagi bangsa ini. Untuk itu, kita harus memulainya dari
diri kita sendiri terlebih dulu. Mari bertanya kepada diri sendiri, apakah
berita Injil yang kita dengarkan sudah mentransformasi diri kita, atau hanya
menjadi informasi? Apakah kehidupan beragama kita hanya sekadar tahu dan paham
atau berbuah dalam tindakan kita terhadap sesama ciptaan? Apakah pengajaran
Kristus membantu kita untuk mengubah hidup kita ke arah yang lebih baik atau
hanya menjadi doktrin yang kita bela mati-matian dengan segala cara, termasuk
menyingkirkan mereka yang berbeda? Marilah selalu bergerak untuk
mentransformasi diri dan bangsa. (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar