Kamis, 15 Agustus 2019

BERITA INJIL: INFORMASI ATAU TRANSFORMASI?

Minggu Biasa IX
Yeremia 23:23-29 | Mazmur 82 | Ibrani 11:29-12:2 | Lukas 12:49-56


Tujuh puluh empat tahun sudah negara kita, Indonesia, merdeka dari penjajahan bangsa lain. Namun, ternyata Indonesia belum merdeka dan bebas seutuhnya. Masyarakat kita masih terbelenggu oleh kecurigaan, kebencian, dan konflik. Beberapa tahun belakangan ini, konflik dan kecurigaan dalam masyarakat semakin meruncing, masyarakat membentuk kubu-kubu karena perbedaan pandangan politik. Selain itu, kepentingan para elit politik yang dibumbui sentimen agama semakin memperkuat konflik dan perpecahan. Agama alih-alih menjadi urusan privat untuk mengatur kehidupan moral masyarakat, menjadi alat politik sementara pihak untuk mencapai kekuasaan. Alih-alih membawa damai, agama justru menimbulkan perpecahan karena kepentingan-kepentingan politik.

Banyak orang yang mengaku beragama di Indonesia ini, bahkan Indonesia bisa dikatakan sebagai salah satu negara paling beragama di dunia. Tetapi, bukan berarti karena beragama lalu Indonesia terhindar dari kebencian, kecurigaan, dan konflik. Masyarakat yang beragama ternyata sekadar memahami ajaran agama, tanpa menghidupinya. Agama dan ajaran-ajaran keagamaan hanya menjadi informasi, tetapi tidak mentransformasi kehidupan. Mungkin kita akan berkata, “Yang seperti itu kan kebanyakan dari agama tetangga.” Ya, karena memang jumlah penganut agamanya jauh lebih banyak. Tetapi bukan berarti bahwa orang-orang Kristen tidak ada yang seperti itu. Ternyata banyak juga orang Kristen yang kehidupannya tidak sesuai dengan status keberagamaannya. Ternyata banyak juga orang Kristen yang terjerat kasus korupsi, suap, penipuan, dan lain-lain. Ada juga orang-orang Kristen yang membenci orang lain yang berbeda agama. Bahkan ada juga orang-orang Kristen yang menggunakan teks-teks Alkitab untuk melegitimasi tindakan korup, kebencian dan kecurigaan, juga kepentingan politik kekuasaan.

Penginjil asal Amerika Serikat, Dwight L. Moody (1837-1899) pernah mengatakan, “The Bible was not given for our information, but for our transformation.” Kitab suci seharusnya tidak hanya dibaca atau dipelajari, tetapi dihidupi. Atau lebih dari itu, Kitab Suci mentransformasi kehidupan kita. Pembacaan dan pemahaman akan Kitab Suci seharusnya membawa orang kepada hidup yang lebih baik. Begitu juga dengan segala ajaran agama yang ada, seharusnya mentransformasi kehidupan kita, bukan malah menjadi alat legitimasi kekuasaan dan menanamkan kebencian. Tidak ada gunanya Kitab Suci dan ajaran agama jika hanya diketahui tanpa berusaha untuk dihidupi.

Ternyata kecenderungan politisasi agama telah terjadi sejak zaman Nabi Yeremia. Yeremia 23 menggambarkan bagaimana nama Tuhan dipakai oleh nabi-nabi dan para imam untuk melanggengkan kekuasaan mereka. Dikatakan bahwa janji-janji para nabi palsu yang mengatasnamakan Tuhan ini seperti jerami, sementara firman Tuhan sendiri ibarat api (ay. 29). Mereka mengetahui tentang firman Tuhan namun kehidupan mereka jauh dari firman Tuhan. Ini juga yang menjadi kritik Yesus kepada orang-orang Yahudi. Mereka mengetahui dan memahami banyak hal, namun mereka tidak dapat melakukan hal yang benar (Luk. 12:54-57). Karena itu, sebelumnya Yesus pun menegaskan bahwa kedatangan-Nya adalah untuk melemparkan api dan membawa pertentangan (Luk. 12:49-51). Apa maksudnya ini? Bukankah yang kita ketahui selama ini bahwa Yesus datang dengan kasih untuk membawa damai? Lalu bagaimana mungkin Yesus membawa pertentangan?

Ada beberapa tafsiran mengenai perkataan Yesus yang kontroversial ini, namun jika melihat bagaimana Nabi Yeremia mengumpamakan Firman Tuhan sebagai api, maka kita dapat membacanya dengan pemahaman bahwa Yesus Kristus adalah Sang Firman, yang memberitakan Injil Kerajaan Allah. Ia hadir bagaikan api yang memurnikan, memisahkan yang murni dari yang tidak murni. Api yang memberikan dampak berbeda kepada materi yang berbeda, logam dimurnikan tetapi kayu dihanguskan. Berita Injil yang dibawa oleh Kristus juga punya dampak yang berbeda bagi banyak orang. Kedatangan Yesus dengan Injil Kerajaan Allah yang mentransformasi kehidupan beragama dan berpolitik membuat banyak orang tertarik dan mengikut Dia, namun di lain pihak ada juga orang-orang yang merasa terganggu dengan kehadiran Yesus. Mereka adalah orang-orang yang nyaman dengan kehidupan beragama dan berpolitik status quo, sehingga kehadiran Yesus dianggap  sebagai ancaman. Demikinlah berita Injil Kerajaan Allah yang dibawa Kristus itu membawa pertentangan dalam masyarakat. Pertentangan ini juga kemudian terjadi dalam keluarga (Luk. 12:52-53). Ada anggota yang mempertahankan status quo, ada juga yang tergugah dengan gerakan transformasi Yesus.

Sampai, di sini kita memahami berita Injil yang dibawa Yesus Kristus sebenarnya membawa pembebasan dan perdamaian, namun pihak-pihak yang hidup beragamanya sekadar tahu dan pahamlah yang justru menimbulkan pertentangan kerena menolak transformasi yang dibawa oleh Yesus Kristus. Ada orang yang hidupnya mengalami transformasi, ada orang yang hanya berhenti pada sekadar tahu dan paham, bahkan tak jarang menggunakan berita Injil itu untuk melegitimasi kepentingan mereka. Jika melihat masyarakat kita sekarang ini, banyak orang yang memahami dan mengaku diri beragama, namun tidak memiliki kontribusi untuk mentransformasi bangsa ini. Bagaimana bangsa ini bisa ditransformasi, jika diri sendiri belum mengalami transformasi. Orang-orang yang mengaku beragama masih hidup dalam kecurigaan dan kebencian terhadap yang lain, kesombongan dan arogansi merasa diri paling benar, korupsi dan tipu daya untuk meraih kekuasaan dan kekayaan pribadi, keserakahan dan ketamakan yang menghancurkan alam semesta.

Pada momen peringatan kemerdekaan ini, kita perlu menyadari bahwa kita bukanlah orang-orang beragama Kristen yang numpang lahir dan hidup di Indonesia, tetapi kita adalah bagian dari Bangsa Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang beragama Kristen. Karena itu, gereja dan orang Kristen Indonesia seharusnya memiliki peran untuk mentransformasi bangsa dengan memberi kontribusi yang baik bagi bangsa ini. Untuk itu, kita harus memulainya dari diri kita sendiri terlebih dulu. Mari bertanya kepada diri sendiri, apakah berita Injil yang kita dengarkan sudah mentransformasi diri kita, atau hanya menjadi informasi? Apakah kehidupan beragama kita hanya sekadar tahu dan paham atau berbuah dalam tindakan kita terhadap sesama ciptaan? Apakah pengajaran Kristus membantu kita untuk mengubah hidup kita ke arah yang lebih baik atau hanya menjadi doktrin yang kita bela mati-matian dengan segala cara, termasuk menyingkirkan mereka yang berbeda? Marilah selalu bergerak untuk mentransformasi diri dan bangsa. (ThN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar