Jumat, 23 Agustus 2019

Tuhan, Pulihkan Kami


Minggu Biasa 10 – HUT ke-31 GKI


Yesaya 58:9-14 ǀ Mazmur 103:1-8 ǀ Ibrani 12:18-29 ǀ Lukas 13:10-17

Carl Honore, adalah seorang koresponden The Economist dan pelbagai surat kabar. Ia mengejar berita dari kota ke kota, masuk keluar bandara dan pesawat, terus menerus menelepon editor dan sumber-sumber berita, sehingga ia tak sempat bercerita panjang untuk mengantar tidur anak-anaknya.

Pada suat saat, ketika ia sedang antre di sebuah bandara, terbaca olehnya sebuah tulisan,”The One-Minute Bedtime Story”. Eureka! Ia bergembira: akhirnya orang bisa membuat dongeng yang cuma satu menit panjangnya. Ia perlu kemudahan seperti itu, sebab ia tak bisa melayani permintaan anak-anaknya untuk membawakan cerita yang asyik. Hampir tiap malam ia harus menulis, mengirim artikelnya, menjawab surel, membaca kabar, dan berdiskusi.

Tapi bagaimana membawakan dongeng Hans Christian Andersen dalam 60 detik?

Suatu ketika Honore menyadari bahwa hidup Si Thumbelina (dan berbagai karya Hans Christian Andersen) hanya dapat disusuri dengan gerak yang pelan. Hingga ia menulis buku In Praise of Slowness. Ada hubungan gerak yang tak terburu-buru dengan karunia kesunyian, keheningan dan kebebasan – sesuatu yang telah rusak karena zaman berubah dan manusia resah untuk sekadar bekerja, bekerja dan bekerja.

Goenawan Mohamad mensinyalir dewasa ini orang makin kehilangan kemampuan menghayati waktu sebagai ketakjuban yang selalu baru. Orang terus berbicara soal “kurang waktu”, bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada!

Pada ulang tahun ke-31 ini GKI perlu sejenak menoleh, bergembira mensyukuri anugrah Allah atas setiap peziarahan yang sudah dialami, sekaligus tanpa terburu-buru menggunakan waktu untuk memeriksa diri atas kegagalan dan kekurangan yang masih perlu untuk dibenahi bersama. Itulah jiwa dari tema “Tuhan, Pulihkan kami”. Tema ini mengajak kita, GKI, untuk senantiasa merindukan pemulihan dari Tuhan Sang Kepala Gereja sehingga kita dimampukan untuk tak sekadar menggebrak namun terus berdaya guna bagi Tuhan dan sesama.

Yesus sendiri adalah sosok pekerja. Dalam bacaan Injil hari ini kita melihat Ia mengajar dan menyembuhkan. Untuk itu mari kita cermati pesan Yesus melalui karya-Nya tersebut.

  • Yesus mengajar dan menyembuhkan untuk memulihkan

Di salah satu sinagoge pada hari Sabat, Yesus mengajar untuk mengarahkan, memeringatkan dan menegur murid-murid-Nya bila sedang melakukan hal yang tidak benar. Sebagai murid-Nya, gereja seharusnya sadar bahwa dalam menjalani hidup ini diperlukan arahan dan pengajaran dari Tuhan sendiri. Dengan kesadaran akan keterbatasan itu seorang murid akan memiliki kerinduan untuk mencari serta menerima pengajaran Yesus walaupun terkadang pengajaran Yesus menegur keras laku hidup secara personal maupun komunal. Sebab tanpa kesadaran dan kerinduan untuk diajar, gereja bisa saja menjadi “sekarat” karena kehilangan dayanya untuk melanjutkan karya secara optimal dan otentik (murni).

Sebab bukan tidak mungkin sebagai pribadi maupun institusi, para murid terkena roh jahat sebagaimana dialami oleh perempuan yang telah 18 tahun sakit bungkuk. Roh jahat yang dimaksud di sini adalah kuasa yang melemahkan dan mendatangkan penyakit yang menyebabkan penderita tidak bisa hidup berdaya guna secara optimal. Perempuan itu sudah dikuasai oleh kuasa tersebut, ia menjadi bungkuk punggungnya dan tentu menghambat dirinya dalam karya sehari-harinya. Perempuan ini menyadari kelemahannya itu maka ia rindu untuk dipulihkan, menjadi sembuh dan mampu berkarya dengan lebih optimal.

Kerinduan itu berjumpa dengan Yesus. Maka setelah Yesus melepaskan dan membebaskan perempuan itu dari sakitnya, sang perempuan itu kembali berdaya. Ia menggunakan dayanya untuk berdiri memuliakan Allah.

Yesus tidak pernah membiarkan murid-murid-Nya tersesat, maka Ia mengarahkan; Yesus tidak membiarkan pula murid-murid-Nya dikuasai spirit yang melemahkan maka Ia memutuskan ikatan yang melemahkan dan memulihkan dengan daya yang baru. Maka gereja pun perlu menyadari dan mengakui keberadaan dirinya yang terkadang berada dalam kungkungan spirit yang melemahkan bahkan saling melemahkan dengan menjaga ketat segala ritual formal dan hukum gerejawi. Hal ini bukan suatu yang mengerikan namun perlu dipulihkan Yesus.

  • Dipulihkan agar ritual formal tercermin melalui kesalehan sosial.

Saat Yesus memulihkan si perempuan bungkuk itu, Ia menerima kecaman dari mereka yang sibuk dengan ritual formal menjaga hari Sabat. Mereka bersikukuh dengan menjaga hari Sabat namun dengan kemunafikan. Sebab, ada banyak pemakluman untuk kepentingan mereka sendiri. Misalnya saja, mereka nyatanya sering melakukan pekerjaan di hari Sabat dengan melepaskan lembu dan membawanya ke tempat minum.

Untuk itu, penyembuhan yang Yesus lakukan sebenarnya bukan hanya bagi perempuan yang bungkuk punggungnya namun juga bagi mereka yang bungkuk hati dan pikirannya. Yesus ingin setiap orang terbebas dari kebungkukan mereka atas hukum/ritual formal demi kenyamanan diri. Yesus ingin setiap orang menjadi pulih dan dengan optimal melakukan ritual formalnya demi memuliakan Tuhan. Yesus ingin ritual formal menjadi jalan bagi umat untuk memelihara spiritualitas dan religiositasnya sehingga kemudian mampu mencapai tujuan sejati berkarya nyata bagi Tuhan dan sesama dalam berbagai bentuk kesalehan sosial.

Yesus tak ingin para murid-Nya terjebak bekerja-bekerja-bekerja di lingkup ritual formal melulu. Terlebih bila ritual formal itu diberlakukan demi kesenangan diri, mencari keuntungan bagi diri dengan melakukan urusan pribadi belaka, tanpa peduli pada Tuhan dan sesama. Sehingga muncul ribuan alasan “kurang waktu” untuk agenda Allah menjadi umat/menjadi gereja yang berdaya guna bersama sesama memuliakan nama-Nya.

Jemaat Tuhan, di tengah-tengah perayaan kita akan penyertaan Tuhan atas GKI, mari kita merendahkan hati dan keseluruhan diri kita di hadapan Tuhan. Marilah menyadari keterbatasan kita sebagai umat Allah, sebagai gereja-Nya. Memang kita harus bersegera bekerja menghadapi berbagai percepatan di sekitar kita. Kecepatan dan kekuatan bisa efektif seperti peluru. Akan tetapi peluru tak menumbuhkan sasarannya. Apalagi bila sekadar terburu-buru, itu tentu tak akan menjamin roh yang melemahkan itu pergi menjauh. Malah mungkin dengan keterburu-buruan roh melemahkan itu hadir dalam wujud jemaat atau penatua atau pendeta yang bersaing cepat, berlomba menarik perhatian, bersaing mau diakui, berlomba teriak. Aku menggebrak, maka aku ada!

Karena itu periksalah diri, sadarilah keterbatasan diri, akuilah di hadapan Tuhan, mohonlah “Tuhan, pulihkan kami”. Sehingga kita dimampukan membangun gereja yang berdiri tegak berlandas Cinta Kasih Kristus, mendorong gerakan pelayanan nyata di tengah Indonesia sesuai kehendak-Nya dengan kegembiraan Illahi.

Selamat Ulang Tahun GKI!
ypp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar