Minggu Biasa 7
Pkh 1:2, 12-12, 2:18-23 | Mzm 49:2-13 | Kol
3:1-11 | Luk 12:13-21
Ada sebuah kisah nyata.
Seorang laki-laki yang berpenghasilan 130 USD/detik. Ya. Setiap detik. Orang
itu bernama Bill Gates. Meskipun ia bukan orang terkaya di dunia, namun
kekayaannya diperkirakan tidak pernah berkurang namun terus bertambah.
Sampai-sampai, ada yang menuliskan anekdot tentangnya. Kira-kira begini; jika
Gates berjalan dan mengantongi uang 500 USD dan ia menjatuhkannya di jalan, ia
tidak perlu berhenti dan mengambilnya. Ia hanya cukup melanjutkan
perjalanannya. Jika Gates berhenti, jongkok, mengambil uang itu dan
memasukkannya kembali ke kantongnya, itu memakan waktu lebih dati 4 detik, dan
ia rugi. WOW! Namun, tokoh yang super kaya bukan hanya ada di zaman sekarang.
Raja Salomo adalah orang yang dikenal begitu kaya raya (lih. 1 Raj 10:14-29). Selain dia adalah anak dari Raja yang juga
kaya, yakni Daud, dia juga merupakan Raja yang begitu hebat dengan segala
pekerjaannya. Akan tetapi, kitab
Pengkhotbah sebagai kitab yang dipercaya ditulis oleh Salomo sendiri, dia
menuliskan hal yang unik; Apakah faedahnya yang diperoleh manusia
dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan
dari keinginan hatinya? (Pkh 2:22).
Bukankah Salomo seharusnya berbangga dengan apa yang menjadi pencapaiannya?
Bergelimang harta, tahta, dan wanita. Demikianlah Salomo. Namun itu semua
ternyata sia-sia.
Sulit untuk
memahami bahwa hidup tidak melulu tentang
uang, terlebih menghidupinya. Bagaimana tidak! Zaman sekarang, kencing aja bayar, bro! Apa-apa butuh
uang. Uang yang dulunya menjadi alat tukar dalam berdagang, sekarang berevolusi
menjadi barang yang dianggap mampu memberikan rasa aman dan tentram. Lifestyle menuntut manusia mengekor
kepadanya menjadi kian tak masuk akal. Istilah anak muda zaman now adalah OOTD (Outfit Of The Day), yakni pakaian yang dipakai hari ini haruslah
mempunyai brand tertentu yang
harganya begitu so high in the sky.
Berbagai instrumen investasi tercipta dan terus berkembang. Menabung dalam gaya
konvensional, sudah dianggap terlalu kuno dan tidak memiliki prospek baik. Tapi
coba, sesekali kita bertanya kepada orang yang sudah tua, kebanyakan dari
mereka akan menjawab bahwa bukanlah uang yang menjadi tujuan hidup. Namun, kita
pasti sepakat bahwa tidak harus menunggu menjadi tua untuk tahu apa yang harus
kita hidupi.
Rasul Paulus
mengingatkan jemaat di Kolose dalam Kol 3:5 “..keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”. Paulus menganggap bahwa
keserakahan itu sama dengan melakukan pemujaan. Ada pergeseran makna yang
ditangkap oleh Paulus dan itu meresahkannya. Ternyata, problematika tentang
uang sudah ada zaman dahulu, dan perkataan Paulus kian relevan untuk
direnungkan bersama di zaman ini. Pdt. Iwan Sukmono
pernah mengatakan dalam khotbahnya, “untuk
orang serakah, satu isi dunia diberikan padanya akan tetap merasa kurang”.
Dalam bacaan Injil
kita minggu ini yang diambil dari Luka 12:13-21, Yesus sampai-sampai harus
memberikan perumpamaan panjang karena masalah satu orang, yakni warisan. Orang
yang bertanya pada Yesus itu besar kemungkinan adalah bukan anak sulung. Dalam
tradisi Yahudi, anak sulung laki-lakilah yang berhak atas warisan orangtuanya
(ingat kisah Esau dan Yakub). Yesuspun mengingatkan orang banyak pada saat itu
untuk berjaga-jaga dan waspada terhadap ketamakan. Yesus tidak berbicara
padanya secara personal, tapi pada kerumunan, karena Yesus tahu permasalahan
warisan (uang) pasti juga dialami oleh semua orang pada zaman itu. Yesus
memberikan perumpamaan bahwa ada orang kaya dengan hasil tanah berlimpah. Orang
itu bingung, karena lumbungnya tidak cukup besar untuk menampung hasil
tanahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk merombak lumbungnya menjadi lebih besar
supaya cukup menampung semua gandum dan barang-barangnya. Lalu, orang kaya itu
berkata pada jiwanya bahwa persediaan makanan itu cukup. Yesus merespon sikap
orang itu dengan menyebutnya sebagai ORANG BODOH. Kenapa Yesus demikian keras?
Kita harus tahu, bahwa teks ini ada dalam rangkaian besar Injil Lukas dimana
sinisme kepada orang kaya itu terasa kuat. Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah
itu nanti? (Luk 12:20). Apa yang
dikatakan Yesus begitu mendasar. Ketika orang kaya itu ingin menyenangkan
jiwanya, Tuhan justru mengambil jiwanya pada malam hari. Orang kaya itu lupa,
sebesar apapun lumbungnya, itu bukanlah jaminan bisa mengamankan nyawanya dari
Tuhan sang Pemilik segalanya. Orang kaya itu mungkin menguasai harta, tapi
tidak untuk jiwa. Jelas, dia adalah orang bodoh. Bodoh karena uang, dia lupa
kepada siapa dia harus menggantungkan ketentraman jiwa. Untuk siapakah itu nanti? Pertanyaan Yesus mengandung makna. Kenapa
harus nanti, dan bukan sekarang? Bukankah hasil tanah itu bisa dibagikan
sekarang kepada mereka yang papa?
Seringkali, manusia terjebak
pada definisi berkat. Berkat adalah sesuatu yang didapat lalu disimpan.
Padahal, bukankah hidup ini adalah berkat Tuhan? Ketika manusia mampu memaknai
hidup sebagai berkat dari Tuhan, ia akan mensyukuri hidupnya, dan tidak akan
merasa berat untu membagi berkatnya bagi yang lain. Berkat bukanlah apa yang
kita miliki, tapi ketika kita mau berbagi. Itulah berkat. Tidak harus menunggu
NANTI, tapi SEKARANG.
Narayanan Khrisnan, seorang
yang mau membagi diri untuk orang lain. https://www.youtube.com/watch?v=VXyr0kAgrVU dalam video itu, Khrisnan
berkata ; I’m just a human being. What is the ultimate purpose of life? Start
giving. See the joy of giving. Khrisnan adalah manusia biasa, sama seperti
kita, namun ia mau menggapai tujuan sejati hidupnya, yakni berbagi kepada siapa
saja. Jika orang kaya dalam perumpamaan itu MEMPERBESAR LUMBUNG, bagaimana
dengan kita? Melakukan hal yang sama, atau MEMBUKA LUMBUNG DAN MEMBAGIKANNYA?
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar