Jumat, 02 Agustus 2019

BERBAGI ADALAH BERKAT

Minggu Biasa 7 
Pkh 1:2, 12-12, 2:18-23 | Mzm 49:2-13 | Kol 3:1-11 | Luk 12:13-21


Ada sebuah kisah nyata. Seorang laki-laki yang berpenghasilan 130 USD/detik. Ya. Setiap detik. Orang itu bernama Bill Gates. Meskipun ia bukan orang terkaya di dunia, namun kekayaannya diperkirakan tidak pernah berkurang namun terus bertambah. Sampai-sampai, ada yang menuliskan anekdot tentangnya. Kira-kira begini; jika Gates berjalan dan mengantongi uang 500 USD dan ia menjatuhkannya di jalan, ia tidak perlu berhenti dan mengambilnya. Ia hanya cukup melanjutkan perjalanannya. Jika Gates berhenti, jongkok, mengambil uang itu dan memasukkannya kembali ke kantongnya, itu memakan waktu lebih dati 4 detik, dan ia rugi. WOW! Namun, tokoh yang super kaya bukan hanya ada di zaman sekarang. Raja Salomo adalah orang yang dikenal begitu kaya raya (lih. 1 Raj 10:14-29). Selain dia adalah anak dari Raja yang juga kaya, yakni Daud, dia juga merupakan Raja yang begitu hebat dengan segala pekerjaannya.  Akan tetapi, kitab Pengkhotbah sebagai kitab yang dipercaya ditulis oleh Salomo sendiri, dia menuliskan hal yang unik; Apakah faedahnya yang diperoleh manusia dari segala usaha yang dilakukannya dengan jerih payah di bawah matahari dan dari keinginan hatinya? (Pkh 2:22). Bukankah Salomo seharusnya berbangga dengan apa yang menjadi pencapaiannya? Bergelimang harta, tahta, dan wanita. Demikianlah Salomo. Namun itu semua ternyata sia-sia.


Sulit untuk memahami bahwa hidup tidak melulu tentang uang, terlebih menghidupinya. Bagaimana tidak! Zaman sekarang, kencing aja bayar, bro! Apa-apa butuh uang. Uang yang dulunya menjadi alat tukar dalam berdagang, sekarang berevolusi menjadi barang yang dianggap mampu memberikan rasa aman dan tentram. Lifestyle menuntut manusia mengekor kepadanya menjadi kian tak masuk akal. Istilah anak muda zaman now adalah OOTD (Outfit Of The Day), yakni pakaian yang dipakai hari ini haruslah mempunyai brand tertentu yang harganya begitu so high in the sky. Berbagai instrumen investasi tercipta dan terus berkembang. Menabung dalam gaya konvensional, sudah dianggap terlalu kuno dan tidak memiliki prospek baik. Tapi coba, sesekali kita bertanya kepada orang yang sudah tua, kebanyakan dari mereka akan menjawab bahwa bukanlah uang yang menjadi tujuan hidup. Namun, kita pasti sepakat bahwa tidak harus menunggu menjadi tua untuk tahu apa yang harus kita hidupi.


Rasul Paulus mengingatkan jemaat di Kolose dalam Kol 3:5 “..keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala”. Paulus menganggap bahwa keserakahan itu sama dengan melakukan pemujaan. Ada pergeseran makna yang ditangkap oleh Paulus dan itu meresahkannya. Ternyata, problematika tentang uang sudah ada zaman dahulu, dan perkataan Paulus kian relevan untuk direnungkan bersama di zaman ini. Pdt. Iwan Sukmono pernah mengatakan dalam khotbahnya, “untuk orang serakah, satu isi dunia diberikan padanya akan tetap merasa kurang”. 


Dalam bacaan Injil kita minggu ini yang diambil dari Luka 12:13-21, Yesus sampai-sampai harus memberikan perumpamaan panjang karena masalah satu orang, yakni warisan. Orang yang bertanya pada Yesus itu besar kemungkinan adalah bukan anak sulung. Dalam tradisi Yahudi, anak sulung laki-lakilah yang berhak atas warisan orangtuanya (ingat kisah Esau dan Yakub). Yesuspun mengingatkan orang banyak pada saat itu untuk berjaga-jaga dan waspada terhadap ketamakan. Yesus tidak berbicara padanya secara personal, tapi pada kerumunan, karena Yesus tahu permasalahan warisan (uang) pasti juga dialami oleh semua orang pada zaman itu. Yesus memberikan perumpamaan bahwa ada orang kaya dengan hasil tanah berlimpah. Orang itu bingung, karena lumbungnya tidak cukup besar untuk menampung hasil tanahnya. Akhirnya ia memutuskan untuk merombak lumbungnya menjadi lebih besar supaya cukup menampung semua gandum dan barang-barangnya. Lalu, orang kaya itu berkata pada jiwanya bahwa persediaan makanan itu cukup. Yesus merespon sikap orang itu dengan menyebutnya sebagai ORANG BODOH. Kenapa Yesus demikian keras? Kita harus tahu, bahwa teks ini ada dalam rangkaian besar Injil Lukas dimana sinisme kepada orang kaya itu terasa kuat. Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? (Luk 12:20). Apa yang dikatakan Yesus begitu mendasar. Ketika orang kaya itu ingin menyenangkan jiwanya, Tuhan justru mengambil jiwanya pada malam hari. Orang kaya itu lupa, sebesar apapun lumbungnya, itu bukanlah jaminan bisa mengamankan nyawanya dari Tuhan sang Pemilik segalanya. Orang kaya itu mungkin menguasai harta, tapi tidak untuk jiwa. Jelas, dia adalah orang bodoh. Bodoh karena uang, dia lupa kepada siapa dia harus menggantungkan ketentraman jiwa. Untuk siapakah itu nanti? Pertanyaan Yesus mengandung makna. Kenapa harus nanti, dan bukan sekarang? Bukankah hasil tanah itu bisa dibagikan sekarang kepada mereka yang papa?


Seringkali, manusia terjebak pada definisi berkat. Berkat adalah sesuatu yang didapat lalu disimpan. Padahal, bukankah hidup ini adalah berkat Tuhan? Ketika manusia mampu memaknai hidup sebagai berkat dari Tuhan, ia akan mensyukuri hidupnya, dan tidak akan merasa berat untu membagi berkatnya bagi yang lain. Berkat bukanlah apa yang kita miliki, tapi ketika kita mau berbagi. Itulah berkat. Tidak harus menunggu NANTI, tapi SEKARANG. 


Narayanan Khrisnan, seorang yang mau membagi diri untuk orang lain. https://www.youtube.com/watch?v=VXyr0kAgrVU dalam video itu, Khrisnan berkata ; I’m just a human being. What is the ultimate purpose of life? Start giving. See the joy of giving. Khrisnan adalah manusia biasa, sama seperti kita, namun ia mau menggapai tujuan sejati hidupnya, yakni berbagi kepada siapa saja. Jika orang kaya dalam perumpamaan itu MEMPERBESAR LUMBUNG, bagaimana dengan kita? Melakukan hal yang sama, atau MEMBUKA LUMBUNG DAN MEMBAGIKANNYA?
ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar