Kamis, 07 November 2019

“IMAN KEPADA ALLAH YANG HIDUP”


Ayub 19 : 23 – 27; Mazmur 17 : 1 – 9; 2 Tesalonika 2 : 1 – 5, 13 – 17; Lukas 20 : 27 – 38

Pernahkah saudara mengalami pergumulan yang membuat anda sempat berpikir, lebih baik mati dibandingkan hidup! Karena apa baiknya hidup? Ada begitu banyak kesusahan, penderitaan, maupun persoalan yang tak pernah habis menggerogoti pikiran, hati, waktu, tenaga, maupun rasa percaya kepada Sang Ilahi. Bahkan tak sedikit orang Kristen menjadi Christian Ateist[1] karena begitu lelah dengan pergumulan hidup yang membuatnya hidup tapi tak benar-benar menikmati hidup. Ketika kenyataan kehidupan tidak selalu seindah yang kita inginkan, mari kita belajar untuk terus beriman seperti para tokoh dalam leksionari hari ini.
Dalam bacaan pertama dari Ayb. 19 : 23 – 27, kita melihat kehidupan Ayub yang masih dalam penderitaan, kehilangan yang bukan hanya materi, tetapi juga keluarga dan kesehatan. Di tengah-tengah kehidupan yang hancur berkeping-keping dan berjuang sendirian, Ayub tetap memilih beriman kepada Allah yang hidup. Apakah dia bisa memilih untuk tidak memercayai Tuhan lagi? Tentu bisa. Tapi ia lebih memilih beriman kepada Allah yang hidup. Keyakinan itu ia ucapan di ayat 25
“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah, yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.”

Ayub yakin Penebusnya hidup. Penebus tentu identik dengan Penyelamat yang adalah Tuhan. Sementara, kata hidup dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja sebagaimana mestinya.[2] Artinya, Ayub yakin di tengah-tengah situasinya yang sulit, Allah yang ia percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya.
Keyakinan ini bukan semata-mata karena Ayub sudah lihat baru percaya, tetapi justru ia yakin sebelum ia melihat dan menyaksikan kebaikan Tuhan dengan matanya sendiri. Menarik, karena Ayub mengajarkan ketika dalam kondisi yang sulit dan entah kapan berakhirnya masa sulit itu, kita harus percaya dulu bukan bukti dulu. Percaya dengan iman kepada Allah yang hidup karena Ia ada dan besertamu dalam susah dan dukamu. Keyakinan Ayub ini bukan hanya soal rasa tetapi juga soal menyaksikan perbuatan Tuhan dalam perjumpaan pribadi bukan orang lain atau bukan hanya karena mendengar cerita tentang Allah dari orang lain.
Sementara itu, si pemazmur yaitu Daud dalam Mazmur 17 juga sedang mengalami proses hidup yang tak menyenangkan. Karena nama baik maupun nyawanya sedang terancam oleh musuh yang menekannya. Di tengah-tengah situasi yang terhimpit, Daud bukan lari dari Tuhan tetapi justru lari ke Tuhan. Ia memilih untuk berdoa dan meminta perlindungan Tuhan. Karena ia yakin, Tuhan itu hidup dengan melihat, mendengar dan menjadi hakim yang benar. 
Bukan hanya dalam konteks Perjanjian Lama (PL) yang mengisahkan iman akan Allah yang hidup, karena di Perjanjian Baru (PB) Yesus juga mempertegas hal itu. Dalam Lukas 19 : 27 – 38 bercerita tentang beberapa orang Saduki[3] yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka datang dan bertanya pada Yesus tentang kebangkitan dan Yesus dengan tegas menjawab Yesus menjawab di ay. 37 – 38
“Tentang bangkitnya orang-orang mati, Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup."

Dari bacaan hari ini kita belajar:
1.   Jadi orang yang percaya dan mengikut Tuhan, bukan berarti hidup akan sepenuhnya baik-baik saja dan tanpa persoalan.
2.   Di tengah persoalan hidup, belajarlah dari Ayub dan Daud yang memiliki iman kepada Allah yang hidup.
3.   Dalam hidup ini, teruslah hidup karena kita memiliki Allah yang hidup dalam suka dan susah kita.

Tuhan menganugerahkan pengharapan dan iman yang terus kepadaNya.
-mc-


[1] Dalam buku Craig Groeschel berjudul The Christian Atheist (TCA), TCA berarti bagaimana manusia percaya kepada Tuhan tapi hidup seakan-akan Dia tidak ada.
[3] Saduki dalam Kamus Alkitab: suatu golongan pemimpin agama Yahudi yang sebagian besar terdiri dari imam-imam. Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala adat istiadat yang ditambahkan kemudian. Mereka tidak percaya kepada kebangkitan dan kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar