Ayub
19 : 23 – 27; Mazmur 17 : 1 – 9; 2
Tesalonika 2 : 1 – 5, 13 – 17; Lukas 20 : 27 – 38
Pernahkah saudara mengalami pergumulan yang
membuat anda sempat berpikir, lebih baik mati dibandingkan hidup! Karena apa
baiknya hidup? Ada begitu banyak kesusahan, penderitaan, maupun persoalan yang
tak pernah habis menggerogoti pikiran, hati, waktu, tenaga, maupun rasa percaya
kepada Sang Ilahi. Bahkan tak sedikit orang Kristen menjadi Christian Ateist[1]
karena begitu lelah dengan pergumulan hidup yang membuatnya hidup tapi tak
benar-benar menikmati hidup. Ketika kenyataan kehidupan tidak selalu seindah
yang kita inginkan, mari kita belajar untuk terus beriman seperti para tokoh
dalam leksionari hari ini.
Dalam bacaan pertama dari Ayb. 19 : 23 – 27, kita melihat
kehidupan Ayub yang masih dalam penderitaan, kehilangan yang bukan hanya
materi, tetapi juga keluarga dan kesehatan. Di tengah-tengah kehidupan yang
hancur berkeping-keping dan berjuang sendirian, Ayub tetap memilih beriman kepada Allah yang hidup. Apakah dia bisa
memilih untuk tidak memercayai Tuhan lagi? Tentu bisa. Tapi ia lebih memilih
beriman kepada Allah yang hidup. Keyakinan itu ia ucapan di ayat 25
“Tetapi aku tahu: Penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan
bangkit di atas debu. Juga sesudah kulit tubuhku sangat rusak, tanpa dagingku pun aku akan melihat Allah,
yang aku sendiri akan melihat memihak kepadaku; mataku sendiri menyaksikan-Nya
dan bukan orang lain. Hati sanubariku merana karena rindu.”
Ayub yakin Penebusnya hidup. Penebus tentu
identik dengan Penyelamat yang adalah Tuhan. Sementara, kata hidup dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti masih terus ada, bergerak dan bekerja
sebagaimana mestinya.[2]
Artinya, Ayub yakin di tengah-tengah situasinya yang sulit, Allah yang ia
percayai itu hidup, masih ada dan berkarya dalam hidupnya.
Keyakinan ini bukan semata-mata karena Ayub
sudah lihat baru percaya, tetapi justru ia yakin sebelum ia melihat dan
menyaksikan kebaikan Tuhan dengan matanya sendiri. Menarik, karena Ayub
mengajarkan ketika dalam kondisi yang sulit dan entah kapan berakhirnya masa
sulit itu, kita harus percaya dulu bukan bukti dulu. Percaya dengan iman kepada
Allah yang hidup karena Ia ada dan besertamu dalam susah dan dukamu. Keyakinan
Ayub ini bukan hanya soal rasa tetapi juga soal menyaksikan perbuatan Tuhan
dalam perjumpaan pribadi bukan orang lain atau bukan hanya karena mendengar
cerita tentang Allah dari orang lain.
Sementara itu, si pemazmur yaitu Daud dalam
Mazmur 17 juga sedang mengalami proses hidup yang tak menyenangkan. Karena nama
baik maupun nyawanya sedang terancam oleh musuh yang menekannya. Di
tengah-tengah situasi yang terhimpit, Daud
bukan lari dari Tuhan tetapi justru lari ke Tuhan. Ia memilih untuk berdoa
dan meminta perlindungan Tuhan. Karena ia yakin, Tuhan itu hidup dengan
melihat, mendengar dan menjadi hakim yang benar.
Bukan
hanya dalam konteks Perjanjian Lama (PL) yang mengisahkan iman akan Allah yang
hidup, karena di Perjanjian Baru (PB) Yesus juga mempertegas hal itu. Dalam
Lukas 19 : 27 – 38 bercerita tentang beberapa orang Saduki[3]
yang tidak mengakui adanya kebangkitan. Mereka datang dan bertanya pada Yesus
tentang kebangkitan dan Yesus dengan tegas menjawab Yesus menjawab di ay. 37 –
38
“Tentang bangkitnya orang-orang mati,
Musa telah memberitahukannya dalam nas tentang semak duri, di mana Tuhan
disebut Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Ia bukan Allah orang mati,
melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup."
Dari
bacaan hari ini kita belajar:
1.
Jadi orang yang percaya dan mengikut Tuhan,
bukan berarti hidup akan sepenuhnya baik-baik saja dan tanpa persoalan.
2.
Di tengah persoalan hidup, belajarlah dari
Ayub dan Daud yang memiliki iman kepada Allah yang hidup.
3.
Dalam hidup ini, teruslah hidup karena kita
memiliki Allah yang hidup dalam suka dan susah kita.
Tuhan
menganugerahkan pengharapan dan iman yang terus kepadaNya.
-mc-
[1] Dalam buku Craig Groeschel berjudul The
Christian Atheist (TCA), TCA berarti bagaimana manusia percaya kepada Tuhan
tapi hidup seakan-akan Dia tidak ada.
[3] Saduki dalam Kamus Alkitab: suatu
golongan pemimpin agama Yahudi yang sebagian besar terdiri dari imam-imam.
Mereka mendasarkan pengajarannya pada kelima kitab Musa dan menolak segala adat
istiadat yang ditambahkan kemudian. Mereka tidak percaya kepada kebangkitan dan
kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar