Minggu Biasa XXII
Maleakhi 4:1-2 | Mazmur 98 | 2 Tesalonika 3:6-13 |
Lukas 21:5-19
Horatio G. Sapfford adalah adalah seorang pengacara dan pengusaha sukses di Chicago, Amerika Serikat. Ia dan istrinya, Anna, memiliki seorang putra dan empat orang putri. Tahun 1870, Horatio dan Anna harus mengalami pukulan hebat karena putranya meninggal akibat demam berdarah. Belum sepenuhnya pulih dari kehilangan, tahun 1871 mereka pun harus kehilangan rumah dan sebagian besar aset perusahaan Horatio akibat kebakaran besar yang melanda Chicago, yang dikenal dengan nama Great Chicago Fire. Ini menyebabkan perusahaan Horatio harus gulung tikar dan mereka memulai kembali dari awal.
Untuk menenangkan dirinya, Horatio mengajak Anna dan keempat putrinya pergi ke Inggris sekaligus menemui rekannya, Dwight L. Moody, seorang penginjil besar Amerika Serikat, yang berancana mengadakan pertemuan penginjilan di Inggris. Sesaat sebelum kapal yang akan mereka tumpangi berangkat, Horatio harus mengurusi beberapa masalah perusahaan yang mendesak. Akibatnya, Horatio berpisah dengan Anna dan keempat putri mereka yang berangkat duluan. Ia berjanji akan menyusl mereka sesegera mungkin. Akan tetapi, itu menjadi pertemuan terakhir Horatio dengan keempat putrinya. Malam tanggal 22 November 1873, kapal yang ditumpangi Anna dan keempat purinya mengalami kecelakaan dan tenggelam. Anna bersama 46 penumpang lain selamat, namun ia harus kehilangaan keempat putrinya yang ikut tengglam bersama 226 penumpang lain.
Dalam kesedihannya, Anna mengirimkan telegram kepada
Horatio berisi pesan “Hanya aku yang selamat. Aku harus berbuat apa?” Mendengar
kabar ini, Horatio bergegas menuju Inggris. Dalam perjalannnya ke Inggris, ia merenungkan
dan mengingat semua tragedi yang terjadi pada keluarganya dan keempat putrinya
yang meninggal di tengah-tengah samudera Atlantik itu. Dalam keadaan hati yang
hancur, Horatio menulis pada secarik kertas, "It is well, the will of God be done." Di atas kapal
inilah Horatio kemudian menulis kalimat yang kemudian digubah menjadi himne It
is Well with My Soul (Kendati Hidupku Tentram,
NKB 195). Di tengah hidupnya yang runtuh dan berantakan,
Horatio masih berpengharapan dan sanggup berkata “It is well with my soul;” "Jiwaku baik-baik saja." Kata-kata itu
sampai sekarang kita nyanyikan dan menjadi kesaksian yang menguatkan dan
meneguhkan di tengah hidup yang runtuh.
Banyak orang Kristen yang ketika mengalami penderitaan
dan kesusahan dalam hidupnya kemudian berputus asa dan kehilangan semangat
iman. Bahkan tidak jarang yang mengaitkan segala bencana dan malapetaka,
perang, terorisme, bencana ekologis, dan penganiayaan sebagai akhir dunia. Alih-alih berpengharapan, sebagian
komunitas Kristen malah ketakutan dengan spekulasi-sepkulasi yang mengiringi
kedatangan Tuhan kembali. Yang menyedihkan kemudian adalah kedatangan Tuhan
diindetikan dengan kehancuran dunia, sehingga banyak orang Kristen yang hidup
dalam ketakutan dan kehilangan semangat iman. Sesungguhnya krisis yang menimpa kehidupan manusia adalah bagian dari kehidupan yang terus berlangsung sepanjang sejarah.
Kekhawatian dan ketakutan ini dilandasi pada pembacaan
Alkitab tanpa memahami konteks. Salah satunya adalah bacaan Injil Minggu ini,
Lukas 21:5-19. Ketika itu
murid-murid terpesona dan tekagum dengan keindahan dan kemegahan Bait Suci.
Namun alih-alih kagum dan terpesona, Yesus justru menubuatkan kehancuran Bait
Suci, “…tidak ada satu batu pun akan
dibiarkan terletak di atas batu lain, semuanya akan diruntuhkan.” Murid-murid menjadi heran bertanya kapan waktunya. Yesus melanjutkan
dengan berkata bahwa akan datang nabi-nabi palsu yang memakai nama-Nya, diikuti
tanda-tanda seperti peperangan dan pemberontakan, gempa bumi, kelaparan, wabah
penyakit, penganiayaan, pengkhianatan, dan kebencian terhadap umat Tuhan.
Berbeda dengan yang dikatakan beberapa kalangan Kristen bahwa itu adalah
tanda-tanda akhir zaman, Yesus malah berkata “…. itu tidak berarti kesudahannya akan datang
segera." Selain itu,
Bait Suci yang dinubuatkan akan hancur, ternyata telah hancur than 70-an M,
namun sampai sekarang hari akhir itu belum juga datang. Di sinilah pembacaan Alkitab harus dipahami dalam konteks penulisannya.
Yesus di sini mau memaparkan bahwa hal-hal itu akan
terus terjadi dalam perjalanan hidup dan iman para murid. Oleh karena itu,
Yesus menegaskan agar para murid tetap bertahan di tengah segala malapetaka
yang membuat hidup mereka runtuh. Yesus mengajak para murid untuk tetap setia
dan percaya bahwa pemeliharaan Tuhan nyata dalam kehidupan mereka. Ini terlihat
dari perkataan-Nya “… tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang.” Karena itu, bacaan Injil Lukas ini tidak untuk ditafsirkan
sebagai akhir dunia, melainkan sebagai panggilan untuk memahami bahwa segala
kesengsaraan, penderitaan, dan melapetaka pasti selalu terjadi dalam kehidupan
manusia. Walaupun demikian kita memiliki pengharapan yang tetap setia memelihara dan
memampukan kita untuk bertahan. Bukan hanya bertahan, penyertaan Tuhan juga memampukan kita untuk melanjutkan hidup dan karya kita, tetap bersaksi di
tengah gurun penderitaan.
Senada dengan itu, Rasul Paulus juga mengajak jemaat Tesalonika
yang mengalami kesengsaraan dan penganiayaan. Keadaan ini membuat mereka merasa
bahwa Tuhan akan segera datang, dan karena itu mereka merasa tidak perlu
berbuat apa-apa. Beberapa orang malah menolak untuk bekerja dan memperjuangkan
kehidupan. Dalam keadaan seperti ini, Rasul Paulus mengajak umat untuk
bertanggung jawab atas kehidupan, tetap melakukan pekerjaannya, dan tidak
jemu-jemu berbuat baik.
Dari kedua perikop ini, kita dapat melihat bahwa ada
pihak-pihak tertentu yang dengan serampangan mengaitkan penderitaan,
penganiayaan, bencana, dan krisis dengan akhir zaman sehingga membawa ketakutan
dan kengerian kepada umat. Dalam kondisi seperti itu, kita diingatkan bahwa semua
penderitaan dan kesengsaraan itu adalah bagian dari kehidupan manusia yang
selalu terjadi sepanjang sejarah. Namun, dalam segala penderitaan dan
keruntuhan hidup itu kita diajak untuk terus bertahan dan tetap berkarya
sehingga kehidupan kita menjadi kesaksian. Sebagaimana Horatio Spafford yang dapat
mengatakan “jiwaku baik-baik saja” ketika ia mengalami segala keburukan yang
membuat hidupnya runtuh, kita pun diajak untuk terus teguh dan di tengah hidup
yang runtuh; Untuk menyatakan kasih dan penyertaan Allah melalui kesaksian
hidup kita. (ThN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar