Minggu III Sesudah Epifani
Yesaya 9:1-4 │
Mazmur 27:1, 4-9 │ 1 Korintus 1:10-18 │ Matius 4:12-23
Juminten baru-baru ini
menuntaskan kuliahnya di Washington, saat ini ia sedang bersiap diwisuda. Namun
ada kegelisahan dalam hatinya, sehingga ia bergegas menjumpai dosen walinya.
Disampaikanlah segala ke-galau-annya kepada sang dosen, “Bu, aku sangat galau
mau diwisuda besok.” “Kenapa?” sahut dosennya, “Apakah karena orang tuamu tak
dapat hadir?” “Bukan, bu, bukan karena itu.” “Lantas, mengapa menjelang wisuda
justru kamu menjadi galau? Sementara saat bimbingan skripsi lalu, kamu begitu
bergembira akan segera menyelesaikan studimu?” kata sang dosen. “Jadi begini
bu, iya saya antusias menyambut situasi baru yang lebih luas dari ruang kelas
kita, saya bergembira akan segera menerapkan teori-teori kekinian di lapangan,
dan saya ini sudah di terima di sebuah start
up yang sedang berkembang. Tapi bu…begini lho, di sana saya langsung
diminta untuk menjalani approbation
sebagai staff khusus direktur keuangan dan manajemen resiko. Itu suatu
pekerjaan yang tak mudah kan bu!?” jawabnya dengan kegelisahan yang makin
berkobar. Ibu dosen ini cukup bingung, namun memahami bahwa memang ada
mahasiswa yang justru gelisah menjelang wisuda, bukan karena tak tahu masa depannya
akan menjadi seperti apa, namun justru karena tahu ada tantangan besar di depan
sana.
Tantangan memang senantiasa
menghadirkan ketegangan bagi yang menghadapinya. Ketegangan antara rasa
antusias dan rasa kuatir, sebab tantangan itu ada di depan, dan yang di depan
selalu tak dapat sepenuhnya dipastikan.
Yesus Kritus, Tuhan kita pun
menghadapi tantangan ketika Ia mengawali karya di Galilea. Sejak ayat 12 pun kita
tahu bahwa Yesus menghadapi tantangan adanya penangkapan terhadap Yohanes
Pembaptis oleh Herodes Antipas, sang penguasa, akibat pemberitaan yang
dibuatnya, yakni, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” Yesus memilih menyingkir. Akan tetapi nampaknya
penyingkiran yang dilakukan Yesus bukan langkah menjauh jauh dari tantangan
ditangkap oleh Herodes Antipas, sebab pada ayat 17, di saat penyingkiran itu,
Yesus menyampaikan berita yang sama dengan Yohanes Pembaptis. Ya! Yesus
menyuarakan yang sama! Tidakkah Ia menyingkir? Tidakkah Ia sedang menghindari
kemungkinan untuk ditangkap oleh Herodes Antipas? Nyatanya Yesus menyingkir
bukan untuk menghindar, namun sedang berjalan ke tepian Danau Galilea untuk
melanjutkan karya-Nya mewartakan, “Bertobatlah dari dosa-dosamu, karena Allah akan
segera memerintah sebagai Raja!” Yesus menyingkir ke Galilea untuk menghadapi
tantangan sekalipun membahayakan diri-Nya.
Galilea itu daerah penuh
tantangan bagi Yesus, dan Ia mengelilingi daerah penuh tantangan itu. Sebab Ia
melihat tantangan itu sebagai peluang. Bagaimana tidak, Galilea adalah daerah
yang dikenal paling subur di daratan Palestina. Kesuburan Galilea menjadi buah
bibir orang-orang Timur Tengah Kuno. Kondisi tersebut membuat Galilea yang kecil menjadi
daerah yang padat penduduk dan menjadi wilayah yang paling terbuka bagi hal-hal
yang baru. Yosefus, seorang mantan Gubernur Galilea bahkan pernah menyatakan
bahwa masyarakatnya adalah orang yang senang pada hal-hal baru dan bersedia
berubah dan menyenangi hal-hal yang bersifat menghasut.
Maka Galilea adalah lahan yang
memiliki peluang besar untuk diajak membarui diri, bertobat, bersiap menyambut
Kerajaan Sorga, dimana Allah sendiri yang akan memerintah. Bisa kita bayangkan
bahwa Yesus masuk ke galilea dengan menyuarakan ajakan perubahan dengan #saatnyaberubah
#bertobatlahAllahsegeramemerintah. Yesus tidak memilih jalan sebagai Rambo
dengan senjata yang menebarkan kengerian dan menimbulkan kerusakan. Yesus
memilih aksi nyata, bak pendemo, yang mendemonstrasikan kehendak Allah bagi
diri-Nya dan bagi umat manusia. Ia berdemonstrasi dengan mengajar dalam
rumah-rumah ibadat, memberitakan Kerajaan Sorga, dan menyembuhkan orang yang
menderita - sengsara. Yesus melakoninya dengan yakin, sebagaimana keyakinan
pemazmur dalam Mazmur 27:6 yang yakin Allah membantunya menghadapi
musuh-musuhnya.
Yesus melihat tantangan sebagai
peluang, dan Ia mengajak kita “Mari, ikutlah Aku!” ingatlah bahwa ajakan ini
berarti ajakan untuk berjalan di belakang-Nya. Berjalan di belakang-Nya
mengandung arti mengiringi, menaati, mencintai, menyerahkan diri dan
mengabdikan diri dengan segala akibatnya. Ya, menjadi pengikut Yesus dan
berjalan di belakang Tuhan Yesus membuat hidup kita mau tidak mau akan berubah.
Berjalan di belakang Yesus ke sana ke mari, melakukan ini dan itu, berjumpa
dengan berbagai orang pastinya membuat kita akan terpesona melihat prioritas-Nya,
keprihatinan-Nya, dan orientasi hidup-Nya, yang membuat kita pun belajar
membarui hal yang perlu kita prioritaskan/utamakan, membarui hal yang kita
prihatinkan, membarui arah hidup kita demi menjadi sesuai dengan prioritas,
keprihatinan, dan arah hidup Yesus. Akan janggal bila kita berjalan
dibelakang-Nya namun hidup kita masih sama saja. Akan janggal bila kita mengikut
Yesus Kristus yang melihat tantangan sebagai peluang namun kita tetap meilhat
tantangan sebagai hambatan yang merisaukan.
Yesus tak memberikan tuntutan,
syarat, ketentuan, pun larangan bagi kita untuk melihat tantangan. Yesus hanya memberikan
ajakan, berupa contoh bagaimana kita harus melihat tantangan di depan. Tempat
kerja kita, lingkungan studi kita, gereja dan masyarakat sekitar kita akan
tetap memiliki tantangannya tersendiri. Mungkin tantangannya akan makin luas,
makin rumit, dan makin berat. Bentuknya bisa berupa kesempatan untuk melewati
tantangan-tantangan di depan dengan jalan pendek: penipuan, korupsi, pemerasan,
pemanfaatan ketidaktahuan orang lain, perselingkuhan ataupun kesempatan untuk
meraih kekuasaan dengan berkompromi dengan penguasa-penguasa yang menindas dan
tidak berpihak pada kepentingan orang banyak atau juga dengan mamanfaatkan
kedudukan demi kenyamanan diri sendiri.
Tetapi jika kita sadar siapa yang
di depan kita, bagaimana contoh yang diberikan-Nya, dan status kita sebagai
pengikut-Nya, maka kita akan sadar Yesus tetap berjalan di depan kita, mengajak
kita untuk berjalan terus bersama Dia, mengikuti cara-Nya melihat dan melewati
tantangan sebagai peluang dengan gembira. Sebab tidak ada yang lebih menggembirakan
daripada hidup setia pada Tuhan dan kehendak-Nya. Amin.
ypp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar