Kamis, 30 Januari 2020

KEBAHAGIAAN DALAM KERAJAAN ALLAH

Minggu Biasa
Mikha 6:1-8 | Mzm 15 | 1 Kor 1:18-31 | Mat 5:1-12
Kebahagiaan kadang begitu rumit. Di sisi lain, kebahagiaan kadang begitu sederhana. Ada yang harus berusaha mengumpulkan harta dan investasi demi jaminan kebahagiaan, namun ada yang merasa bahagia meski tak punya apa-apa. Pada minggu ini, kita diajak merenungkan tentang kebahagiaan. Mungkin kita bisa mendapatkan perspektif baru mengenai kebahagiaan, meski belum tentu bisa mengubah cara kita menghayati kebahagiaan. Entah, ketika membaca tulisan ini, kita sedang bahagia atau berduka. Seorang Bapa gereja, Agustinus, berpendapat bahwa apapun yang diinginkan manusia selalu memiliki alasan dibaliknya, yakni untuk mendapatkan kebahagiaan. Meski kita harus sadari, bahwa bahagiaku belum tentu bahagiamu. Kebahagiaan jomblo adalah pasangan. Kebahagiaan pesakitan adalah pulih. Bahkan, satu bungkus mie instan di akhir bulan adalah kebahagiaan HQQ untuk anak kos. Ya, kebahagiaan sedemikian rumit dan sederhana. 
Yesus mengajar murid-muridNya di atas bukit. Matius 5-7 adalah rangkaian Khotbah Di Bukit yang juga digemari oleh seorang Mahatma Gandhi.  Yesus adalah tokoh yang unik, karena memang gaya dan ajaranNya seringkali berbenturan dengan kultur masyarakat pada zaman itu, bahkan dengan Torah. Banyak teks-teks dalam injil yang menunjukkan bahwa Yesus punya sudut pandang yang berbeda. Misalkan saja, orang-orang yang dijauhi oleh masyarakat, justru Ia dekati. Peraturan yang sebaiknya terus dijaga, Yesus melanggarnya dengan alasan (kasih). Coba lihat apa yang pertama Ia ajarkan. Yesus mengajar tentang kebahagiaan, namun begitu bertolak belakang dengan apa yang seringkali dipikirkan orang zaman itu, bahkan zaman ini. Yesus mengucapkan bahwa mereka yang miskin, berdukacita, lemah-lembut, dicela dan dianiaya adalah orang yang berbahagia. Tak usah berfilosofi terlalu panjang, tentu ini tak masuk akal. Namun, apa maksud Yesus?
Matius 5:3 berbunyi "Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.” Perlu kebijaksanaan membaca teks ini. Yesus tidak bermaksud kita membuang semua harta benda yang kita punya, lalu hidup miskin secara total. Bukannya mendapat kebahagiaan, kita akan berurusan dengan perut lapar, penyakit, dll. Kita perlu mengingat, Khotbah di Bukit ini disampaikan Yesus pada orang-orang Yahudi yang sedang ada dalam penindasan. Yesus ingin menekankan bahwa ‘kemiskinan’ adalah sebuah kondisi yang tidak selamanya buruk. Alkitab versi KJV dan NIV kompak menerjemahkan Matius 5:3 demikian, Blessed are the poor in spirit: for theirs is the kingdom of heaven. Miskin yang dimaksud bukanlah miskin harta, namun miskin secara spiritual. Hal ini menarik untuk dirasakan lebih dalam. Mengapa Yesus mengatakan bahwa yang berbahagia adalah mereka yang miskin (secara spiritual) di hadapan Allah adalah yang empunya Kerajaan Sorga?
Jika berbicara miskin secara material di hadapan Allah, hal ini akan sulit dihayati oleh orang kaya yang saleh dan baik hatinya. Sebaliknya, pemalas yang tak punya apa-apa tertawa ketika memandang teks ini dari segi material. Bukan secara material, namun secara spiritual. Apa maksudnya? Yesus menawarkan sebuah gaya hidup yang begitu medasar, yakni miskin secara spiritual di hadapan Allah. Miskin adalah kondisi dimana seseorang tidak berharta, atau serba berkekurangan (KBBI). Jadi, ketika manusia merasa miskin secara spiritual, ia tak akan pernah merasa diri suci dan lebih baik dari yang lain. Lihat saja, dunia ini sering kacau karena orang merasa lebih baik atau lebih hebat dari yang lain. Menjadi pribadi yang miskin secara spiritual akan menjadikannya sosok yang rendah hati, tulus, juga berhikmat. Merasa miskin di hadapan Allah membuat seseorang benar-benar mampu menggantungkan hidupnya pada kasih dan karunia Allah. Dari situlah, akan timbul sebuah kebahagiaan sejati yang tidak akan pernah digoyahkan oleh siapapun. 
Kalau teks Injil hari ini adalah ajaran pertama Yesus pada murid-muridNya, nampaknya hal berbahagia untuk menjadi miskin di hadapan Allah adalah pondasi yang ingin Yesus tanamkan dalam sanubari mereka. Mengikut Yesus bukan perihal melihat segala mujizatNya, namun mau hidup bersama denganNya. Yesus menginginkan agar para murid menjadi manusia yang mampu menerima jalan dan rencana Allah sebagai yang utama dan terutama. 
Ketika kita mengaitkan spiritualitas yang Yesus tawarkan dengan tema kita, kita akan mengiyakannya dengan mudah. Mengapa? Inti dari Kerajaan Allah adalah damai sejahtera bagi seluruh ciptaan, sehingga kita tahu bahwa kebahagiaan itu ada dan berasal dari Allah dalam KerajaanNya. Sehingga, miskin di hadapan Allah adalah berserah kepada segala rancangan dan karya Allah yang penuh kebahagiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar