Jumat, 03 April 2020

MEMILIKI PERSEPSI YESUS


MINGGU PALMARUM
Mzm 118:1-2, 19-29 | Matius 21:1-11
Panic buying, atau pembelian yang panik. Itulah fenomena yang ada di beberapa kota di Indonesia. Orang-orang bergegas membeli beras, mie instan, telur, gula, hand sanitizer, dan barang-barang lainnya. Untuk apa semua dilakukan? Persiapan menghadapi masa yang sulit persebaran virus corona, kalau-kalau semua bahan menjadi langka, dan kita punya stock yang cukup di rumah. Apakah anda salah satunya?
Teks Minggu ini, Minggu Palmarum, bercerita tentang Yesus yang memasuki Yerusalem. Memang benar Ia dielu-elukan. Tapi, apa tujuan Yesus? Satu-satunya alasan Yesus masuk ke Yerusalem adalah menghadapi masa sengsara, bahkan kematianNya sendiri! Kalau memang demikian, bukankah Yesus seharusnya bersiap untuk menghadapi itu? Masyarakat zaman sekarang saja panic buying, masakan Yesus tidak bersiap? Tapi coba kita lihat persiapan Yesus. Salah satu persiapan Yesus adalah perintahNya untuk para murid, mengambilkan seekor keledai betina yang tertambat atau terkekang tali untuk ditunggangiNya masuk Yerusalem. Lho? Yesus ini mau menghadapi peristiwa besar lho, sengsara, didera, bahkan mati di atas kayu salib? Inikah persiapan Yesus? Yesus ini main-main apa bercanda?
Hal ini demikian mengherankan kita. Apa yang ingin disampaikan Yesus? Pesan apa yang hendak dibawa Yesus dengan seekor keledai betina?
Memang, kedatangan Yesus adalah penggenapan dalam Zakaria 9:9. Tapi, apakah ini sekedar penggenapan nubuat? Saya yakin tidak. Apakah Yesus sedang melakukan upaya pencitraan di hadapan orang Yahudi yang menanti Mesias? Yesus tidak sepicik itu. Marilah kita berfokus pada pesan yang ingin disampaikan Yesus. Kita diajak untuk mendalami persepsi yang dimiliki Yesus. Salah satu makna persepsi menurut KBBI adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Sehingga, persepsi adalah sebuah respon atau tanggapan akan sesuatu yang dilihat dan dialami. Untuk itulah, Yesus melemparkan simbol, dan berharap kita berpersepsi sebagaimana yang Yesus harapkan. 
Saya mau tanya: adakah yang kangen gereja kita? Kalau kangen, warna liturgi kita sekarang apa? Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru? Bukan, warnanya ungu. Prapaskah dan Adven selalu ungu. Kenapa harus ungu, karena ungu menandakan penderitaan, kemuliaan Rajawi, pengharapan, pertobatan, keprihatinan. Jadi, peribadatan di gereja kita itu penuh dengan simbol, dan simbol itu selalu merujuk pada sebuah makna yang mendalam. Nah, saat ini, simbol yang akan kita renungkan adalah simbol Keledai yang ditunggangi.
Kembali pada keledai. Bukankah Yesus itu Mesias yang dinantikan? Bukankah Ia Sang Putra Daud, Raja yang digdaya tiada tanding? Mengapa Ia tidak menggunakan kuda? Bukankah Kuda itu melambangkan kejayaan, kekuatan, kecepatan?
Keledai seringkali menjadi simbol kedunguan. Kenapa, karena ia mau dituntun ke sana kemari oleh penuntunnya dan tidak pernah memberontak. Sebentar, itu kedunguan atau ketaatan? Itu ketaatan. Kalau boleh saya bahasakan ulang, keledai bukan simbol kedunguan, tapi ketaatan penuh pada sang penuntun. Ketika keledai itu diajak masuk ke Yerusalem, masuk ke jalan penderitaan, Yesus sedang mengirimkan pesan dan bertanya, “akankah engkau mau mengikut Aku masuk dalam penderitaan seperti keledai ini?” Pertanyaan untuk kita, apakah kita mau taat mengikut Dia masuk ke dalam penderitaanNya? Kalau kita gegabah menjawab MAU, tunggu dulu. Petrus, orang yang gegabah berkata bahwa ia akan mengikut Yesus dan setia, ia malah menjadi sosok yang menyangkal Yesus sebanyak 3x sebelum ayam berkokok! Dari hal ini, simbol pertama yang ingin Yesus sampaikan adalah, apakah kita mau taat? BENAR-BENAR TAAT?! Bukan hal yang mudah. TAAT adalah hal yang sangat sulit.
Kalau kita mau taat, apa yang harus kita miliki? Yang harus kita miliki adalah sikap kerendahan hati. Lho, kok kerendahan hati? Begini. Disebut rendah, karena ada tinggi. Berarti, kalau kita menyadari atau merasa bahwa kita adalah pribadi yang rendah hati, bisa jadi di satu titik, kita bisa berubah menjadi pribadi yang tinggi hati. Mungkin tidak? Sangat mungkin. Sehingga, apa yang harus kita lakukan untuk tidak menjadi pribadi yang tinggi hati? Kita harus tetap sadar dan waspada, supaya kita tetap menjadi pribadi yang rendah hati. Kita harus selalu sadar bahwa kita sangat mungkin terjatuh dalam sikap tinggi hati. Oleh sebab itu, jika kita bisa tetap ada dalam area rendah itu, secara otomatis kita akan menjadi umat yang taat? Mengapa? Karena kita tidak akan punya kesempatan untuk meninggikan diri kita di hadapan yang empunya otoritas tertinggi, yakni Tuhan. DAN, ITULAH KETAATAN. Untuk alasan itulah, Yesus menggunakan keledai untuk masuk ke Yerusalem. Di sini, kita diajak mengolah persepsi kita akan simbol keledai dan memunculkan pertanyaan; apakah kita mau taat dan rendah hati kepadanya meski dalam segala derita?
Menjadi pribadi yang taat dan rendah hati di tengah badai, bukanlah hal mudah. Namun, ketika kita berdoa supaya Tuhan menganugerahkan kepada kita ketaatan dan kerendahan hati, ia akan memberikan peristiwa dan pengalaman untuk kita mengasa ketaatan dan kerendahan hati itu. Jika kita adalah burung rajawali yang menginginkan sayap yang kokoh, Tuhan akan berikan badai untuk kita belajar. Jadi, jika kita meminta ketaatan dan kerendahan hati, Tuhan akan berikan kita ujian untuk bisa murid-murid yang taat dan rendah hati.
Simbol keledai yang lain yang umum pada zaman itu adalah hewan pembawa barang. Membawa barang, tentu membawa kebahagiaan, karena ia akan membawa makanan dan barang-barang lain yang ditunggu. Orang-orang pada zaman itu memiliki persepsi bahwa kedatangan keledai adalah datangnya kebahagiaan, sehingga mereka merasa bahagia ketika mereka melihat datangnya keledai dari kejauhan. Uniknya, Keledai lah yang dipilih Yesus untuk ditunggangiNya menuju Yerusalem. Di posisi ini, Yesus adalah ’sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu. Jika demikian, keledai itu kuat sekali menyimbolkan sosok yang membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada zaman itu. Jika Yesus adalah ‘sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu, seakan-akan mau menyampaikan bahwa Yesuslah yang ditunggu-tunggu, Yesuslah yang akan akan menghadirkan SHALOM bagi mereka.
Jika keledai itu ditunggu oleh orang-orang karena ia dipercaya akan selalu membawa sesuatu yg enak atau baik, bagaimana dengan kita? Pada situasi persebaran pandemic covid-19, kita semakin minim bertatap muka. Seluruh kegiatan gereja yang berbentuk perjumpaan fisik ditiadakan. Kita semua berkomunikasi melalui media sosial, salah satunya WA. Harus kita akui, banyak sekali pesan-pesan media sosial yang dibagikan, bukannya melegakan hati namun justru membuat kepanikan atau ketakutan. Belajar dari keledai itu, cerita atau berita apa yang bagikan melalui WA atau media sosial kita? Apakan berita itu membebani, atau melegakan? Sharing is caring. Berbagi itu peduli. Peduli itu mengasihi. Berarti, ketika kita mau berbagi, pertanyaan kita sebelum membagi adalah, apakah ini melahirkan sukacita atau ketakutan? Jangan sampai, maksud kita baik, namun itu menjadi kesesakan dalam persepsi sesama kita.
Masuk ke Yerusalem adalah gerbang untuk Yesus memasuki masa berat dalam hidupNya di dunia. Kita pun sebagai manusia, mengalami derita yang sungguh dahsyat. Sesuatu yang awalnya nampak biasa saja, kini menjadi sesuatu yang menakutkan. Covid-19 bukanlah hal yang main-main. Dan pertanyaan yang layak kita renungkan adalah; Di tengah situasi yang penuh derita ini, apakah kita tetap mau taat dan tetap rendah hati kepadaNya, dan setia membawa sukacita di tengah derita?
Selamat Merayakan Minggu Palmarum. Hosiana.
ftp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar