MINGGU PALMARUM
Mzm 118:1-2, 19-29 | Matius 21:1-11
Panic buying, atau pembelian yang panik. Itulah fenomena yang ada
di beberapa kota di Indonesia. Orang-orang bergegas membeli beras, mie instan,
telur, gula, hand sanitizer, dan barang-barang lainnya. Untuk apa semua
dilakukan? Persiapan menghadapi masa yang sulit persebaran virus corona,
kalau-kalau semua bahan menjadi langka, dan kita punya stock yang cukup di rumah.
Apakah anda salah satunya?
Teks Minggu ini,
Minggu Palmarum, bercerita tentang Yesus yang memasuki Yerusalem. Memang benar
Ia dielu-elukan. Tapi, apa tujuan Yesus? Satu-satunya alasan Yesus masuk ke
Yerusalem adalah menghadapi masa
sengsara, bahkan kematianNya sendiri! Kalau memang demikian, bukankah Yesus
seharusnya bersiap untuk menghadapi itu? Masyarakat zaman sekarang saja panic buying, masakan Yesus tidak
bersiap? Tapi coba kita lihat persiapan Yesus. Salah satu persiapan Yesus
adalah perintahNya untuk para murid, mengambilkan seekor keledai betina yang
tertambat atau terkekang tali untuk ditunggangiNya masuk Yerusalem. Lho? Yesus ini mau menghadapi peristiwa
besar lho, sengsara, didera, bahkan mati di atas kayu salib? Inikah persiapan
Yesus? Yesus ini main-main apa bercanda?
Hal ini demikian
mengherankan kita. Apa yang ingin disampaikan Yesus? Pesan apa yang hendak
dibawa Yesus dengan seekor keledai betina?
Memang, kedatangan
Yesus adalah penggenapan dalam Zakaria 9:9. Tapi, apakah ini sekedar
penggenapan nubuat? Saya yakin tidak. Apakah Yesus sedang melakukan upaya
pencitraan di hadapan orang Yahudi yang menanti Mesias? Yesus tidak sepicik
itu. Marilah kita berfokus pada pesan yang ingin disampaikan Yesus. Kita diajak
untuk mendalami persepsi yang dimiliki Yesus. Salah satu makna persepsi menurut
KBBI adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari
sesuatu. Sehingga,
persepsi adalah sebuah respon atau tanggapan akan sesuatu yang dilihat dan
dialami. Untuk itulah, Yesus melemparkan simbol, dan berharap kita berpersepsi
sebagaimana yang Yesus harapkan.
Saya mau tanya:
adakah yang kangen gereja kita? Kalau kangen, warna liturgi kita sekarang apa?
Hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru? Bukan, warnanya ungu. Prapaskah dan
Adven selalu ungu. Kenapa harus ungu, karena ungu menandakan penderitaan,
kemuliaan Rajawi, pengharapan, pertobatan, keprihatinan. Jadi, peribadatan di
gereja kita itu penuh dengan simbol, dan simbol itu selalu merujuk pada sebuah
makna yang mendalam. Nah, saat ini, simbol yang akan kita renungkan adalah
simbol Keledai yang ditunggangi.
Kembali pada
keledai. Bukankah Yesus itu Mesias yang dinantikan? Bukankah Ia Sang Putra
Daud, Raja yang digdaya tiada tanding? Mengapa Ia tidak menggunakan kuda?
Bukankah Kuda itu melambangkan kejayaan, kekuatan, kecepatan?
Keledai seringkali
menjadi simbol kedunguan. Kenapa, karena ia mau dituntun ke sana kemari oleh
penuntunnya dan tidak pernah memberontak. Sebentar, itu kedunguan atau
ketaatan? Itu ketaatan. Kalau boleh
saya bahasakan ulang, keledai bukan simbol kedunguan, tapi ketaatan penuh pada
sang penuntun. Ketika keledai itu diajak masuk ke Yerusalem, masuk ke jalan
penderitaan, Yesus sedang mengirimkan pesan dan bertanya, “akankah engkau mau mengikut Aku masuk dalam penderitaan seperti keledai
ini?” Pertanyaan untuk kita, apakah kita mau taat mengikut Dia masuk ke
dalam penderitaanNya? Kalau kita gegabah menjawab MAU, tunggu dulu. Petrus, orang yang gegabah berkata bahwa ia
akan mengikut Yesus dan setia, ia malah menjadi sosok yang menyangkal Yesus
sebanyak 3x sebelum ayam berkokok! Dari hal ini, simbol pertama yang ingin
Yesus sampaikan adalah, apakah kita mau taat? BENAR-BENAR TAAT?! Bukan hal yang mudah. TAAT adalah hal yang
sangat sulit.
Kalau kita mau taat,
apa yang harus kita miliki? Yang harus kita miliki adalah sikap kerendahan
hati. Lho, kok kerendahan hati?
Begini. Disebut rendah, karena ada tinggi. Berarti, kalau kita menyadari atau
merasa bahwa kita adalah pribadi yang rendah hati, bisa jadi di satu titik,
kita bisa berubah menjadi pribadi yang tinggi hati. Mungkin tidak? Sangat
mungkin. Sehingga, apa yang harus kita lakukan untuk tidak menjadi pribadi yang
tinggi hati? Kita harus tetap sadar dan waspada, supaya kita tetap menjadi
pribadi yang rendah hati. Kita harus selalu sadar bahwa kita sangat mungkin
terjatuh dalam sikap tinggi hati. Oleh sebab itu, jika kita bisa tetap ada
dalam area rendah itu, secara otomatis kita akan menjadi umat yang taat?
Mengapa? Karena kita tidak akan punya kesempatan untuk meninggikan diri kita di
hadapan yang empunya otoritas tertinggi, yakni Tuhan. DAN, ITULAH KETAATAN.
Untuk alasan itulah, Yesus menggunakan keledai untuk masuk ke Yerusalem. Di sini,
kita diajak mengolah persepsi kita akan simbol keledai dan memunculkan
pertanyaan; apakah kita mau taat dan rendah hati kepadanya meski dalam segala
derita?
Menjadi pribadi yang
taat dan rendah hati di tengah badai, bukanlah hal mudah. Namun, ketika kita
berdoa supaya Tuhan menganugerahkan kepada kita ketaatan dan kerendahan hati,
ia akan memberikan peristiwa dan pengalaman untuk kita mengasa ketaatan dan
kerendahan hati itu. Jika kita adalah burung rajawali yang menginginkan sayap
yang kokoh, Tuhan akan berikan badai untuk kita belajar. Jadi, jika kita
meminta ketaatan dan kerendahan hati, Tuhan akan berikan kita ujian untuk bisa
murid-murid yang taat dan rendah hati.
Simbol keledai yang
lain yang umum pada zaman itu adalah hewan pembawa barang. Membawa barang,
tentu membawa kebahagiaan, karena ia akan membawa makanan dan barang-barang
lain yang ditunggu. Orang-orang pada zaman itu memiliki persepsi bahwa
kedatangan keledai adalah datangnya kebahagiaan, sehingga mereka merasa bahagia
ketika mereka melihat datangnya keledai dari kejauhan. Uniknya, Keledai lah
yang dipilih Yesus untuk ditunggangiNya menuju Yerusalem. Di posisi ini, Yesus
adalah ’sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu. Jika demikian, keledai itu kuat
sekali menyimbolkan sosok yang membawa kebahagiaan bagi masyarakat pada zaman
itu. Jika Yesus adalah ‘sesuatu’ yang dibawa oleh keledai itu, seakan-akan mau
menyampaikan bahwa Yesuslah yang ditunggu-tunggu, Yesuslah yang akan akan
menghadirkan SHALOM bagi mereka.
Jika keledai itu
ditunggu oleh orang-orang karena ia dipercaya akan selalu membawa sesuatu yg
enak atau baik, bagaimana dengan kita? Pada situasi persebaran pandemic covid-19,
kita semakin minim bertatap muka. Seluruh kegiatan gereja yang berbentuk
perjumpaan fisik ditiadakan. Kita semua berkomunikasi melalui media sosial,
salah satunya WA. Harus kita akui, banyak sekali pesan-pesan media sosial yang
dibagikan, bukannya melegakan hati namun justru membuat kepanikan atau
ketakutan. Belajar dari keledai itu, cerita atau berita apa yang bagikan
melalui WA atau media sosial kita? Apakan berita itu membebani, atau melegakan?
Sharing is caring. Berbagi itu
peduli. Peduli itu mengasihi. Berarti, ketika kita mau berbagi, pertanyaan kita
sebelum membagi adalah, apakah ini melahirkan sukacita atau ketakutan? Jangan
sampai, maksud kita baik, namun itu menjadi kesesakan dalam persepsi sesama kita.
Masuk ke Yerusalem
adalah gerbang untuk Yesus memasuki masa berat dalam hidupNya di dunia. Kita
pun sebagai manusia, mengalami derita yang sungguh dahsyat. Sesuatu yang
awalnya nampak biasa saja, kini menjadi sesuatu yang menakutkan. Covid-19
bukanlah hal yang main-main. Dan pertanyaan yang layak kita renungkan adalah; Di
tengah situasi yang penuh derita ini, apakah kita tetap mau taat dan tetap
rendah hati kepadaNya, dan setia membawa sukacita di tengah derita?
Selamat Merayakan
Minggu Palmarum. Hosiana.
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar