MINGGU TRINITAS
Matius 28:16-20
Ibu
Bapak saudara semua yang terkasih dalam Tuhan, bagaimana kabarnya? Kita
senantiasa perlu menaikkan syukur kita atas pemeliharaan Allah dalam kehidupan.
Di tengah segala keterbatasan, kita tetap menguapayakan yang terbaik untuk
terus beribadah kepada Tuhan. Menurut kalender gerejawi, minggu ini kita
memasuki Minggu Trinitas, yakni satu minggu setelah Hari Pentakosta.
Sesungguhnya, Trinitas adalah pondasi utama dalam kekristenan, namun tak banyak
orang mengeluhkan konsep Trinitas itu sendiri, yang dirasa terlalu ruwet, filsafati, bahkan susah dinalar.
Saya sendiri ingat, kelas katekisasi yang diikuti belasan tahun silam. Kala
itu, pengajar katekisasi juga terkesan kebingungan dalam menganalogikan, dan
saya pun merasa tak puas akan diskusi di kelas. Bahkan sampai detik ini,
membincang perihal Trinitas bersama jemaat juga tak pernah menemui titik happy
ending, karena melihat mimik muka jemaat yang terkesan tidak lega. Namun,
timbul pertanyaan, apakah memang arah memahami Allah Trinitas adalah kepuasan
diskusi dan perbincangan?
Teks
kita minggu ini ada dalam balutan perikop terakhir Injil Matius. Teks ini
seringkali disebut sebagai Amanat Agung, seakan-akan amanat Yesus yang lain
bukan amanat yang agung. Saya rasa, kurang pas jika kita hanya menitikberatkan
keagungan amanat pada satu saja perintah Yesus. Ya, bisa jadi karena amanat ini
adalah amanat terakhir yang diucapkan Yesus sebelum Ia naik ke Sorga. Jika
memang demikian, ucapan Yesus ini seakan menjadi ‘pesan-pesan terakhir’ yang
dirasa begitu penting. Namun, jika kita terlalu mengistimewakan amanat ini
disanding amanat lain, kita akan terjebak pada model Pekabaran Injil klasik,
dimana kristenisasi menjadi goal utama dan terutama. Mengapa?
Yesus
menyuruh para murid untuk menjadikan semua bangsa menjadi muridNya. Pemahaman
ini mudah sekali ditafsirkan sebagai sebuah keharusan untuk melakukan kegiatan
Kristenisasi. Padahal, jika kita berpijak pada teks-teks Injil, kita akan
menemukan kenyataan yang lain. Misalkan saja Yohanes 13:33-34, “Aku memberikan perintah baru kepada
kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu
demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan
tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi.” Dari perkataan Yesus, kita tahu
bahwa menjadi murid Kristus adalah ketika seseorang mau mempraktikkan kasih
dalam hidupnya. Berarti, tujuan Yesus agar para murid melakukan pemuridan
adalah tersebarnya kasih di atas bumi. Bayangkan saja, ucapan Yesus 2000 tahun
yang lalu, masih harus kita lakukan sampai detik ini. Dunia seakan-akan
teralihkan perhatiannya dari pandemic covid-19, menuju kepada kasus rasisme di
Amerika, dimana seseorang bernama George Floyd, warga Amerika berkulit hitam
mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Saya membaca status Facebook salah
seorang pendeta GKI, Pdt. Nanang, kira-kira berucap begini, “apakah kita harus
membangunkan Martin Luther King kembali?” Ya, perjuangan MLK ternyata belum
selesai. Kasih itu seakan-akan padam oleh kepentingan politik. Untuk itulah,
proses pemuridan harus dilakukan. Bukan bertujuan memperbanyak orang Kristen,
namun bagaimana kasih Allah itu tumbuh mekar dengan indah di dunia yang gersang
ini.
Jemaat
terkasih, hal ini mungkin berkenaan pada pertanyaan yang seringkali ditujukan
pada GKI, bahwa GKI adalah gereja yang anti Pekabaran Injil (PI). Jika kita
melihat tujuan Yesus yakni kasih, GKI adalah gereja yang sangat PI, bahkan PI
yang radikal. Kenapa radikal? Injil yang dikabarkan GKI adalah Injil yang
berangkat dari akar (radis), yakni
kasih Allah yang merahmati seluruh ciptaan. Bukankah ini lebih sulit,
dibandingkan melakukan Kristenisasi dengan rayuan Sorga dan keselamatan? Untuk
itulah, gereja haruslah tetap setia melakukan pemuridan, dengan cara pertama,
menjadi murid yang baik. Kita tahu, sebagai murid, selalu ada kemungkinan untuk
menjadi bandel. Gereja yang bandel adalah gereja yang tidak mau mengerjakan
PR-nya, yakni pemuridan dalam rangka menyebar kasih dalam pelayanan di dunia.
Ingat ya, kita punya PR bersama, apakah kita masih rajin sebagai murid?
Lalu
bagaimana dengan “Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”? Ini
adalah sebuah keharusan bagi gereja untuk melayani siapapun yang menerima
Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan
Roh Kudus tidak bisa juga kita membacanya secara harafiah sebagai ukuran
keberhasilan gereja melakukan kristenisasi. Ada tafsiran yang mengatakan bahwa
teks ini dibuat dengan latar belakang sebuah keadaan sosial yang mengharuskan syarat
kuantitas, yakni banyaknya jumlah penganut kepercayaan. Namun kita perlu ingat,
Yesus sendiri dalam segala ajaranNya tidak pernah berbicara mengenai kuantitas,
namun kualitas. Sehingga, kita tidak akan membaca teks itu dengan tujuan
kuantitas.
Jemaat
terkasih, kita
perlu ingat, Allah Trinitas adalah Allah yang berkarya secara terus menerus.
Kurang pas apabila kita terlalu menghayati Allah Tritunggal dengan gaya
modalisme (Bapa sebagai pencipta, Anak Menyelamatkan, Roh Kudus memelihara).
Namun, sulit disangkal bahwa gaya beriman itulah yang ada dalam wajah
kekristenan pada umumnya. Allah Trinitas mewujudkan karyaNya secara dinamis dan
harmonis. Bapa, Anak, dan Roh Kudus senantiasa melakukan karya bersama, baik
itu penciptaan, penyelamatan, pemeliharaan. Hal itu bisa kita jumpai secara
jelas dalam pembukaan Kejadian 1:1-3, Pada mulanya Allah menciptakan langit dan
bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah:
"Jadilah terang." Lalu terang itu jadi. Dalam teks itu kita menemukan
ada Allah di sana, ada Sang Anak, dan Roh. Mungkin, Bapa bisa kita temui dengan
mudah ketika membaca ‘Allah’, begitu pula Roh Kudus, yakni ‘Roh Allah’. “Lha,
Sang Anak di mana?” Mungkin
pertanyaan itu ada. Bukankah Sang Anak pada mulanya adalah Firman (bdk. Yoh
1:1). Ya, ketiganya berkarya dalam kesatuan yang harmonis. Lalu, apa kaitannya
dengan membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus? Hal itu bisa kita baca
sebagai ajakan Yesus untuk setiap para pengikutnya agar menyadari bahwa
siapapun pada akhirnya akan dihisab masuk dalam persekutuanNya untuk melakukan
perkara yang baik. Ketika Allah Tritunggal itu berkarya bersama, kita sebagai
murid-murid Yesus diajak untuk menyadari bahwa kita juga masuk dalam
persekutuanNya dan berkarya. Proses KESADARAN inilah yang harus selalu
ditekankan dalam hidup bergereja. Hal ini menjawab pertanyaan di awal, apakah
membincang Trinitas itu hanya berbuah kepuasan diskusi? Saya rasa tidak.
Membincang (baca: merenungkan) Allah Trinitas tidak boleh didasarkan pada
motivasi INGIN MENGERTI SECARA NALAR, terlebih BISA MENJAWAB DEBAT ORANG LAIN.
Keinginan Yesus bukanlah seperti itu. Menyadari bahwa kita hidup dalam
penyertaan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sesuai tema, adalah sesuatu yang
harus kita yakini dan hidupi.
GKI
sudah menelurkan Pengakuan Iman (credo) secara pribadi pada tahun 2014, dan
perlu kita tahu, credo itu diawali dengan sebuah kesaksian yang berbunyi Dalam
persekutuan kasih yang akrab serta anugerah penciptaan, pemeliharaan,
penyelamatan, dan pembaruan oleh Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, kami sebagai
Gereja Kristen Indonesia hidup dan berkarya di tengah kekayaan dan kepelbagaian
warisan sejarah, budaya, dan lingkungan alam Indonesia. Kita sebagai GKI
mengakui adanya persekutuan kasih yang akrab dalam Allah Bapa, Anak, dan Roh
Kudus. Pembuka konfesi ini menjadi jantung dalam GKI mendaku imannya. Tidak
berhenti di situ, credo
GKI dipungkasi dengan pernyataan bahwa Kemuliaan bagi Allah Bapa, Anak, dan Roh
Kudus, yang tidak pernah memisahkan kami dari kasih-Nya sekarang dan
selama-lamanya. Amin. Bukankah ini menandakan bahwa kita mengaku, kita tidak
pernah terpisah dari kasih Allah Tritunggal? Itulah yang diyakini oleh Rasul
Paulus dalam Roma 8:38-39 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik
malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun
yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah,
ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih
Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
Dalam
Minggu Trinitas ini, kita diajak untuk kembali menyadari bahwa kita senantiasa
hidup dalam rangkulan kasih Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Meski kita tahu,
Allah Trinitas senantiasa memiliki sisi misteri. Bukan tujuan kita untuk
membedah misteri itu. Misteri bukanlah masalah yang harus diselesaikan, namun
kesediaan kita mengaku kemisteriusanNya, dan keberanian untuk menghidupi
panggilan di dalamnya. Selain harus memuridkan, kita juga adalah murid. Murid
yang selalu belajar mengejawantahkan kasih dalam laku konkret sehari-hari. Oleh
sebab itu, sebaik-baiknya cara untuk mensyukuri hidup dalam penyertaan Allah
Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah memastikan bahwa kita tidak lelah dan bosan
melakukan kebaikan, yakni kasih Allah yang merahmati semesta.
ftp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar