Selasa, 02 Juni 2020

HIDUP DALAM PENYERTAAN BAPA, ANAK, DAN ROH KUDUS


MINGGU TRINITAS
Matius 28:16-20

Ibu Bapak saudara semua yang terkasih dalam Tuhan, bagaimana kabarnya? Kita senantiasa perlu menaikkan syukur kita atas pemeliharaan Allah dalam kehidupan. Di tengah segala keterbatasan, kita tetap menguapayakan yang terbaik untuk terus beribadah kepada Tuhan. Menurut kalender gerejawi, minggu ini kita memasuki Minggu Trinitas, yakni satu minggu setelah Hari Pentakosta. Sesungguhnya, Trinitas adalah pondasi utama dalam kekristenan, namun tak banyak orang mengeluhkan konsep Trinitas itu sendiri, yang dirasa terlalu ruwet, filsafati, bahkan susah dinalar. Saya sendiri ingat, kelas katekisasi yang diikuti belasan tahun silam. Kala itu, pengajar katekisasi juga terkesan kebingungan dalam menganalogikan, dan saya pun merasa tak puas akan diskusi di kelas. Bahkan sampai detik ini, membincang perihal Trinitas bersama jemaat juga tak pernah menemui titik happy ending, karena melihat mimik muka jemaat yang terkesan tidak lega. Namun, timbul pertanyaan, apakah memang arah memahami Allah Trinitas adalah kepuasan diskusi dan perbincangan?

Teks kita minggu ini ada dalam balutan perikop terakhir Injil Matius. Teks ini seringkali disebut sebagai Amanat Agung, seakan-akan amanat Yesus yang lain bukan amanat yang agung. Saya rasa, kurang pas jika kita hanya menitikberatkan keagungan amanat pada satu saja perintah Yesus. Ya, bisa jadi karena amanat ini adalah amanat terakhir yang diucapkan Yesus sebelum Ia naik ke Sorga. Jika memang demikian, ucapan Yesus ini seakan menjadi ‘pesan-pesan terakhir’ yang dirasa begitu penting. Namun, jika kita terlalu mengistimewakan amanat ini disanding amanat lain, kita akan terjebak pada model Pekabaran Injil klasik, dimana kristenisasi menjadi goal utama dan terutama. Mengapa?

Yesus menyuruh para murid untuk menjadikan semua bangsa menjadi muridNya. Pemahaman ini mudah sekali ditafsirkan sebagai sebuah keharusan untuk melakukan kegiatan Kristenisasi. Padahal, jika kita berpijak pada teks-teks Injil, kita akan menemukan kenyataan yang lain. Misalkan saja Yohanes 13:33-34, Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi. Dari perkataan Yesus, kita tahu bahwa menjadi murid Kristus adalah ketika seseorang mau mempraktikkan kasih dalam hidupnya. Berarti, tujuan Yesus agar para murid melakukan pemuridan adalah tersebarnya kasih di atas bumi. Bayangkan saja, ucapan Yesus 2000 tahun yang lalu, masih harus kita lakukan sampai detik ini. Dunia seakan-akan teralihkan perhatiannya dari pandemic covid-19, menuju kepada kasus rasisme di Amerika, dimana seseorang bernama George Floyd, warga Amerika berkulit hitam mendapat perlakuan yang tidak semestinya. Saya membaca status Facebook salah seorang pendeta GKI, Pdt. Nanang, kira-kira berucap begini, “apakah kita harus membangunkan Martin Luther King kembali?” Ya, perjuangan MLK ternyata belum selesai. Kasih itu seakan-akan padam oleh kepentingan politik. Untuk itulah, proses pemuridan harus dilakukan. Bukan bertujuan memperbanyak orang Kristen, namun bagaimana kasih Allah itu tumbuh mekar dengan indah di dunia yang gersang ini.

Jemaat terkasih, hal ini mungkin berkenaan pada pertanyaan yang seringkali ditujukan pada GKI, bahwa GKI adalah gereja yang anti Pekabaran Injil (PI). Jika kita melihat tujuan Yesus yakni kasih, GKI adalah gereja yang sangat PI, bahkan PI yang radikal. Kenapa radikal? Injil yang dikabarkan GKI adalah Injil yang berangkat dari akar (radis), yakni kasih Allah yang merahmati seluruh ciptaan. Bukankah ini lebih sulit, dibandingkan melakukan Kristenisasi dengan rayuan Sorga dan keselamatan? Untuk itulah, gereja haruslah tetap setia melakukan pemuridan, dengan cara pertama, menjadi murid yang baik. Kita tahu, sebagai murid, selalu ada kemungkinan untuk menjadi bandel. Gereja yang bandel adalah gereja yang tidak mau mengerjakan PR-nya, yakni pemuridan dalam rangka menyebar kasih dalam pelayanan di dunia. Ingat ya, kita punya PR bersama, apakah kita masih rajin sebagai murid?

Lalu bagaimana dengan “Baptislah mereka dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus”? Ini adalah sebuah keharusan bagi gereja untuk melayani siapapun yang menerima Kristus sebagai Tuhan dan juruselamatnya. Membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus tidak bisa juga kita membacanya secara harafiah sebagai ukuran keberhasilan gereja melakukan kristenisasi. Ada tafsiran yang mengatakan bahwa teks ini dibuat dengan latar belakang sebuah keadaan sosial yang mengharuskan syarat kuantitas, yakni banyaknya jumlah penganut kepercayaan. Namun kita perlu ingat, Yesus sendiri dalam segala ajaranNya tidak pernah berbicara mengenai kuantitas, namun kualitas. Sehingga, kita tidak akan membaca teks itu dengan tujuan kuantitas.

Jemaat terkasih, kita perlu ingat, Allah Trinitas adalah Allah yang berkarya secara terus menerus. Kurang pas apabila kita terlalu menghayati Allah Tritunggal dengan gaya modalisme (Bapa sebagai pencipta, Anak Menyelamatkan, Roh Kudus memelihara). Namun, sulit disangkal bahwa gaya beriman itulah yang ada dalam wajah kekristenan pada umumnya. Allah Trinitas mewujudkan karyaNya secara dinamis dan harmonis. Bapa, Anak, dan Roh Kudus senantiasa melakukan karya bersama, baik itu penciptaan, penyelamatan, pemeliharaan. Hal itu bisa kita jumpai secara jelas dalam pembukaan Kejadian 1:1-3, Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air. Berfirmanlah Allah: "Jadilah terang." Lalu terang itu jadi. Dalam teks itu kita menemukan ada Allah di sana, ada Sang Anak, dan Roh. Mungkin, Bapa bisa kita temui dengan mudah ketika membaca ‘Allah’, begitu pula Roh Kudus, yakni ‘Roh Allah’. “Lha, Sang Anak di mana?” Mungkin pertanyaan itu ada. Bukankah Sang Anak pada mulanya adalah Firman (bdk. Yoh 1:1). Ya, ketiganya berkarya dalam kesatuan yang harmonis. Lalu, apa kaitannya dengan membaptis dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus? Hal itu bisa kita baca sebagai ajakan Yesus untuk setiap para pengikutnya agar menyadari bahwa siapapun pada akhirnya akan dihisab masuk dalam persekutuanNya untuk melakukan perkara yang baik. Ketika Allah Tritunggal itu berkarya bersama, kita sebagai murid-murid Yesus diajak untuk menyadari bahwa kita juga masuk dalam persekutuanNya dan berkarya. Proses KESADARAN inilah yang harus selalu ditekankan dalam hidup bergereja. Hal ini menjawab pertanyaan di awal, apakah membincang Trinitas itu hanya berbuah kepuasan diskusi? Saya rasa tidak. Membincang (baca: merenungkan) Allah Trinitas tidak boleh didasarkan pada motivasi INGIN MENGERTI SECARA NALAR, terlebih BISA MENJAWAB DEBAT ORANG LAIN. Keinginan Yesus bukanlah seperti itu. Menyadari bahwa kita hidup dalam penyertaan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sesuai tema, adalah sesuatu yang harus kita yakini dan hidupi.

GKI sudah menelurkan Pengakuan Iman (credo) secara pribadi pada tahun 2014, dan perlu kita tahu, credo itu diawali dengan sebuah kesaksian yang berbunyi Dalam persekutuan kasih yang akrab serta anugerah penciptaan, pemeliharaan, penyelamatan, dan pembaruan oleh Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, kami sebagai Gereja Kristen Indonesia hidup dan berkarya di tengah kekayaan dan kepelbagaian warisan sejarah, budaya, dan lingkungan alam Indonesia. Kita sebagai GKI mengakui adanya persekutuan kasih yang akrab dalam Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Pembuka konfesi ini menjadi jantung dalam GKI mendaku imannya. Tidak berhenti di situ, credo GKI dipungkasi dengan pernyataan bahwa Kemuliaan bagi Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang tidak pernah memisahkan kami dari kasih-Nya sekarang dan selama-lamanya. Amin. Bukankah ini menandakan bahwa kita mengaku, kita tidak pernah terpisah dari kasih Allah Tritunggal? Itulah yang diyakini oleh Rasul Paulus dalam Roma 8:38-39 Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.

Dalam Minggu Trinitas ini, kita diajak untuk kembali menyadari bahwa kita senantiasa hidup dalam rangkulan kasih Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Meski kita tahu, Allah Trinitas senantiasa memiliki sisi misteri. Bukan tujuan kita untuk membedah misteri itu. Misteri bukanlah masalah yang harus diselesaikan, namun kesediaan kita mengaku kemisteriusanNya, dan keberanian untuk menghidupi panggilan di dalamnya. Selain harus memuridkan, kita juga adalah murid. Murid yang selalu belajar mengejawantahkan kasih dalam laku konkret sehari-hari. Oleh sebab itu, sebaik-baiknya cara untuk mensyukuri hidup dalam penyertaan Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah memastikan bahwa kita tidak lelah dan bosan melakukan kebaikan, yakni kasih Allah yang merahmati semesta.

ftp


Tidak ada komentar:

Posting Komentar