Minggu Biasa, 28 Juni 2020
Yeremia 28:5-9 │ Mazmur 89:2-5, 16-19 │ Roma 6:12-23
│ Matius 10:40-42
Konon, orang yang hidup dalam generasi setelah Perang Dunia II memandang
pekerjaan – jenis apapun – sebagai sesuatu yang harus disyukuri keberadaannya
sebab pekerjaan menolong ia dan keluarganya bertahan hidup. Tetapi orang yang
hidup dewasa ini berpendapat bahwa pekerjaannya harus memuaskan, harus sesuai
dengan talenta dan impian mereka, bahkan harus menghasilkan sesuatu yang
mengagumkan bagi dunia. Nampaklah bahwa bagi generasi terdahulu upah adalah
untuk bertahan hidup, sementara bagi generasi kemudian upah adalah untuk
menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Namun dari perbedaan ini ada kesamaan,
seorang yang telah bekerja tentu menantikan upahnya.
Demikian pula halnya kehidupan kita di dalam Tuhan. Yesus
menyadari benar bahwa murid-murid-Nya menantikan penjelasan mengenai upah yang
akan diterima mereka setelah mereka mengikut dan diutus Yesus. Lantas, apakah upah
di dalam Tuhan? Bacaan Injil hari ini, memuat jaminan dan janji Tuhan kepada
para murid. Keduanya menjadi upah yang diberikan Allah bagi manusia yang
berbuat baik seturut kehendak-Nya. Bila merujuk pada Matius 10:32, maka “upah”-nya adalah: “Aku akan mengakuinya di
depan Bapa-Ku yang di surga” dan di dalam Matius 10:40-42 ini “upah”-nya adalah: kehidupan yang
dipelihara dan dijaga Tuhan, sebagaimana yang dialami para nabi, orang
benar, dan para murid.
Pada umumnya, upah
ada setelah pekerjaan diselesaikan. Namun kita sudah diberitahu jaminan alias
upah sebelum bekerja. Maka upah di dalam Tuhan justru membebaskan kita dari keinginan untuk mendapatkan upah serta membebaskan kita untuk terus bekerja.
Marilah kita melihat dari Matius 10:40-42. Bagian ini menunjukkan
bahwa penulis Injil Matius bukan hanya berbicara mengenai bagaimana seorang
harus pergi bekerja memperdengarkan ataupun mendengarkan Injil melainkan tentang
menyambut dan menerima para pembawa Injil. Menyambut di sini memiliki keluasan
makna dari pada soal “menerima tamu” saja, sebab dalam kata “menyambut”
terdapat unsur kesiapsediaan untuk menaati pesan yang yang dibawa oleh para
utusan. Sehingga dapat dikatakan hal
yang harus dilakukan adalah membawa
pesan Injil dengan kesetiaan dan kesediaan
untuk menyambut pesan Injil.
Kedua hal ini yang harusnya terus dipelihara oleh komunitas
pengikut Kristus. Setiap orang di dalamnya harus bersiap melakoni tugas
perutusan sekaligus siap untuk menyambut baik para nabi, orang benar, maupun
orang kecil. Mungkin kita akan bertanya mengapa dituliskan penerimaan terhadap
orang kecil. Di sini nampaknya penulis Matius ingin secara spesifik berbicara
mengenai realita bahwa di setiap komunitas terdapat mereka yang sering dianggap
kecil/sederhana/terabaikan, mereka yang mungkin tidak berbuat lain dari pada “percaya
saja”. Namun mereka juga harus disambut dengan sepenuh hati karena ia murid
Yesus. Pesan Matius ini memang khas, kita pun juga akan menjumpai pesan serupa
di Matius 25:40 dan 45 ketika berbicara mengenai hari penghakiman. Di sana
dituliskan bahwa kita semua harus mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan
Tuhan, Tuhan akan menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk
setiap saudara, yang paling hina, berarti kita telah melakukannya untuk Tuhan.
Dan segala sesuatu yang tidak kita lakukan kepada salah seorang saudara kita
yang paling hina, berarti kita tidak melakukannya untuk Tuhan.
Pesan ini kiranya menyadarkan kita bahwa setiap kita, apapun
kedudukan kita, ketika kita percaya maka kita mendapatkan pemeliharaan Tuhan
dan perutusan dari-Nya. Kesadaran ini mesti kita miliki, sebab Roma 6:12-23 juga
menuliskan bahwa sebagai umat Tuhan kita adalah umat yang telah dimerdekakan
dari dosa dan karena itu hidup berdasarkan kasih karunia (ayat 14). Sebagai
orang-orang yang hidup dalam kasih karunia maka ada panggilan untuk menyerahkan
diri sebagai hamba kebenaran. Seorang hamba kebenaran, hidupnya tak lagi
dikuasai oleh keinginan akan upah apalagi kerakusan, melainkan selalu memerjuangkan
agar kasih dan kehidupan dapat dirasakan oleh siapa saja termasuk mereka yang
kecil, lemah, dan terabaikan.
Sebagaimana sebuah kisah yang dituliskan oleh Anthony de Mello
dalam Doa Sang Katak 1 berikut ini:
Seorang ayah berjanji mau membayar
upah pada putrinya yang berumur duabelas tahun, kalau ia memotong rumput di
halaman. Putri itu mengerjakan tugasnya dengan amat rajin dan pada suatu sore
hari seluruh halaman sudah dipotong bersih – ya setiap sudut kecuali ada
gundukan tanah cukup besar berumput yang tidak dipotong. Ketika ayahnya
berkata, bahwa ia tidak bisa membayarkan upah yang telah dijanjikan, karena
tidak seluruh halaman nyata sudah dipotong rumputnya, gadis kecil berkata bahwa
ia mau merelakan uang, tetapi ia tidak mau memotong rumput di gundukan itu.
Ingin tahu apa sebabnya, sang ayah
memeriksa gundukan yang tak dipotong. Di sana, di tengah-tengah gundukan itu
ada katak besar. Gadis itu begitu merasa sayang untuk menerjang rumput dengan
mesinnya.
Di mana ada cinta, ada
ketidak-teraturan. Keteraturan sempurna membuat dunia menjadi seperti
pemakaman. – Anthony de Mello, Doa Sang
Katak 1, h. 237
Amin.
ypp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar