Selasa, 23 Juni 2020

“Upah” di dalam Tuhan

Minggu Biasa, 28 Juni 2020

Yeremia 28:5-9 Mazmur 89:2-5, 16-19 │ Roma 6:12-23 │ Matius 10:40-42

Konon, orang yang hidup dalam generasi setelah Perang Dunia II memandang pekerjaan – jenis apapun – sebagai sesuatu yang harus disyukuri keberadaannya sebab pekerjaan menolong ia dan keluarganya bertahan hidup. Tetapi orang yang hidup dewasa ini berpendapat bahwa pekerjaannya harus memuaskan, harus sesuai dengan talenta dan impian mereka, bahkan harus menghasilkan sesuatu yang mengagumkan bagi dunia. Nampaklah bahwa bagi generasi terdahulu upah adalah untuk bertahan hidup, sementara bagi generasi kemudian upah adalah untuk menghasilkan sesuatu yang mengagumkan. Namun dari perbedaan ini ada kesamaan, seorang yang telah bekerja tentu menantikan upahnya.

Demikian pula halnya kehidupan kita di dalam Tuhan. Yesus menyadari benar bahwa murid-murid-Nya menantikan penjelasan mengenai upah yang akan diterima mereka setelah mereka mengikut dan diutus Yesus. Lantas, apakah upah di dalam Tuhan? Bacaan Injil hari ini, memuat jaminan dan janji Tuhan kepada para murid. Keduanya menjadi upah yang diberikan Allah bagi manusia yang berbuat baik seturut kehendak-Nya. Bila merujuk pada Matius 10:32, maka “upah”-nya adalah: “Aku akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di surga” dan di dalam Matius 10:40-42 ini “upah”-nya adalah: kehidupan yang dipelihara dan dijaga Tuhan, sebagaimana yang dialami para nabi, orang benar, dan para murid.

Pada umumnya, upah ada setelah pekerjaan diselesaikan. Namun kita sudah diberitahu jaminan alias upah sebelum bekerja. Maka upah di dalam Tuhan justru membebaskan kita dari keinginan untuk mendapatkan upah serta membebaskan kita untuk terus bekerja.

Marilah kita melihat dari Matius 10:40-42. Bagian ini menunjukkan bahwa penulis Injil Matius bukan hanya berbicara mengenai bagaimana seorang harus pergi bekerja memperdengarkan ataupun mendengarkan Injil melainkan tentang menyambut dan menerima para pembawa Injil. Menyambut di sini memiliki keluasan makna dari pada soal “menerima tamu” saja, sebab dalam kata “menyambut” terdapat unsur kesiapsediaan untuk menaati pesan yang yang dibawa oleh para utusan. Sehingga dapat dikatakan hal yang harus dilakukan adalah membawa pesan Injil dengan kesetiaan dan kesediaan untuk menyambut pesan Injil.

Kedua hal ini yang harusnya terus dipelihara oleh komunitas pengikut Kristus. Setiap orang di dalamnya harus bersiap melakoni tugas perutusan sekaligus siap untuk menyambut baik para nabi, orang benar, maupun orang kecil. Mungkin kita akan bertanya mengapa dituliskan penerimaan terhadap orang kecil. Di sini nampaknya penulis Matius ingin secara spesifik berbicara mengenai realita bahwa di setiap komunitas terdapat mereka yang sering dianggap kecil/sederhana/terabaikan, mereka yang mungkin tidak berbuat lain dari pada “percaya saja”. Namun mereka juga harus disambut dengan sepenuh hati karena ia murid Yesus. Pesan Matius ini memang khas, kita pun juga akan menjumpai pesan serupa di Matius 25:40 dan 45 ketika berbicara mengenai hari penghakiman. Di sana dituliskan bahwa kita semua harus mempertanggungjawabkan hidup kita di hadapan Tuhan, Tuhan akan menyatakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan untuk setiap saudara, yang paling hina, berarti kita telah melakukannya untuk Tuhan. Dan segala sesuatu yang tidak kita lakukan kepada salah seorang saudara kita yang paling hina, berarti kita tidak melakukannya untuk Tuhan.

Pesan ini kiranya menyadarkan kita bahwa setiap kita, apapun kedudukan kita, ketika kita percaya maka kita mendapatkan pemeliharaan Tuhan dan perutusan dari-Nya. Kesadaran ini mesti kita miliki, sebab Roma 6:12-23 juga menuliskan bahwa sebagai umat Tuhan kita adalah umat yang telah dimerdekakan dari dosa dan karena itu hidup berdasarkan kasih karunia (ayat 14). Sebagai orang-orang yang hidup dalam kasih karunia maka ada panggilan untuk menyerahkan diri sebagai hamba kebenaran. Seorang hamba kebenaran, hidupnya tak lagi dikuasai oleh keinginan akan upah apalagi kerakusan, melainkan selalu memerjuangkan agar kasih dan kehidupan dapat dirasakan oleh siapa saja termasuk mereka yang kecil, lemah, dan terabaikan.

Sebagaimana sebuah kisah yang dituliskan oleh Anthony de Mello dalam Doa Sang Katak 1 berikut ini:
Seorang ayah berjanji mau membayar upah pada putrinya yang berumur duabelas tahun, kalau ia memotong rumput di halaman. Putri itu mengerjakan tugasnya dengan amat rajin dan pada suatu sore hari seluruh halaman sudah dipotong bersih – ya setiap sudut kecuali ada gundukan tanah cukup besar berumput yang tidak dipotong. Ketika ayahnya berkata, bahwa ia tidak bisa membayarkan upah yang telah dijanjikan, karena tidak seluruh halaman nyata sudah dipotong rumputnya, gadis kecil berkata bahwa ia mau merelakan uang, tetapi ia tidak mau memotong rumput di gundukan itu.

Ingin tahu apa sebabnya, sang ayah memeriksa gundukan yang tak dipotong. Di sana, di tengah-tengah gundukan itu ada katak besar. Gadis itu begitu merasa sayang untuk menerjang rumput dengan mesinnya.

Di mana ada cinta, ada ketidak-teraturan. Keteraturan sempurna membuat dunia menjadi seperti pemakaman. – Anthony de Mello, Doa Sang Katak 1, h. 237

Amin.

ypp


Tidak ada komentar:

Posting Komentar